Praktik poligami di Minangkabau jadi sorotan di masa kolonial Belanda. Hal ini karena di masa itu praktik poligami sangat merajalela. Fenomena tersebut pun memunculkan beragam penolakan, terutama dari pemerintah kolonial Belanda.
Baca juga: Bangsawan Madura Abad 19, Senang Pesta dan Poligami
Terkait hal itu, sebagian besar masyarakat saat ini menganggap praktik tersebut sebagai tabu. Bahkan sebagian masyarakat menilai bahwa fenomena ini hanya akan memunculkan permasalahan dalam rumah tangga. Namun menurut kacamata Islam, pria boleh berpoligami jika mampu adil.
Poligami di Minangkabau pada Masa Kolonial
Maraknya praktik poligami pada masa kolonial di Sumatera bukanlah isapan jempol semata. Hal ini lantaran faktanya sudah tertuang dalam data laporan Indisch Verslag pada tahun 1931 silam.
Menurut data dari kolonial Belanda tersebut, ada 20.127 laki-laki yang memiliki 2 istri. Lalu tercatat pula ada 2.371 laki-laki yang istrinya 3.
Bahkan ada 455 laki-laki yang istrinya 4. Sementara untuk laki-laki yang menikah secara monogami sebanyak 271.901 orang.
Dari data tersebut, Sumatera Barat menjadi wilayah yang memperlihatkan praktik poligami lebih banyak. Hal ini juga mencangkup Minangkabau.
Penyebab Poligami di Masa Kolonial Belanda
Ada banyak hal yang menyebabkan maraknya poligami di Minangkabau saat masa pemerintahan kolonial Belanda. Berikut penyebabnya.
Tekanan Kaum Reformis Islam
Maraknya poligami di Minangkabau dipengaruhi oleh tekanan kaum reformis Islam terkait adat yang tak optimal. Hal ini semakin jelas terlihat di pedesaan.
Baca juga: Tien Soeharto, Ibu Negara yang Menolak Keras PNS Poligami
Kaum reformis Islam ingin meniadakan sistem matrilineal. Sistem ini sendiri ialah garis keturunan dengan posisi ibu sebagai penentunya.
Selain menghapus sistem tersebut, kaum reformis Islam ingin menggantinya dengan ajaran Islam. Dalam Islam, pria boleh berpoligami dengan 4 istri.
Status Sumando
Tak berhenti di situ saja karena penyebab poligami di Minangkabau juga karena status pria sesudah menikah. Dalam adat Minangkabau, pria yang telah menikah akan berstatus sumando.
Hal ini berarti pria tersebut tak boleh lagi menetap terlalu lama di rumah istrinya. Pria dengan status sumando hanya memiliki tujuan untuk menghasilkan keturunan atau biologis. Karenanya, pria sering beristri lagi.
Status Datuak
Faktor lainnya yakni kebutuhan ekonomi. Lebih tepatnya hal ini berlaku untuk laki-laki dengan status datuak atau penghulu.
Prestise penghulu bisa meningkat apabila memiliki lebih dari satu istri. Posisinya juga bisa semakin tinggi di masyarakat.
Faktor Sosial
Rupanya faktor sosial juga mempengaruhi tingginya poligami di Minangkabau kala itu. Pria mapan cenderung menginginkan selalu mendapatkan layanan terbaik dari istrinya.
Baca juga: Mitos “Poligami” di Astana Gede Kawali Ciamis
Hal ini seringkali menyulut perselisihan dengan istrinya. Karena hal itu, pria lebih suka beristri lagi agar keinginannya terpenuhi.
Masih soal faktor sosial, orangtua ingin anak perempuannya menikahi pria kaya meski usianya baru belasan tahun. Usia muda tersebut membuatnya tak bisa melayani suaminya dengan baik sehingga terjadilah poligami.
Belanda Melarang Poligami
Belanda mulai menjajah dan menguasai Minangkabau sejak abad ke-19. Kala itu pemerintah Belanda tidak mendukung adanya perkembangan hukum Islam, khususnya poligami di Minangkabau.
Karena hal itu, pemerintahan kolonial Belanda di Minangkabau cenderung anti-Islam. Di dalam ajaran Islam sendiri memang memperbolehkan pria untuk memiliki 4 istri.
Akan tetapi, ada ketentuan tersendiri. Seorang pria boleh berpoligami asalkan mampu adil kepada semua istrinya. Jika tak bisa berlaku adil, lebih baik memiliki satu istri saja.
Dengan menerapkan hukum anti-Islam, Belanda melarang adanya poligami. Bentuk larangan tersebut terlihat dari keluarnya ordonasi nikah tercatat pada tahun 1937.
Peraturan ini mencatat siapa saja pria yang sudah menikah. Dari pencatatan tersebut, pria dengan status sudah menikah otomatis berjanji tak akan berpoligami. Belanda memang menentang poligami di Minangkabau.
Penjelasan Ust. Drs. H. Afif Hamka
Mengenai poligami dalam adat Minang ini, ada penjelasan dari Ust. Drs. H. Afif Hamka yang terlihat di salah satu postingan akun Instagram @gemainsaniofficial. Ia menjelaskan bahwa praktik ini sebenarnya tak selalu karena faktor si laki-laki.
Hal ini lantaran ada kalanya calon mertua atau pemuka adat yang memintanya untuk menikah lagi. Dalam artian, pria beristri dipinang oleh keluarga perempuan lain.
Baca juga: Kisah Sukarno dengan Gadis Belanda, Lamaran Ditolak hingga Diusir
Usai simak uraian di atas, pastinya bisa tahu bagaimana praktik poligami di Minangkabau. Nyatanya ada banyak penyebab yang melatarbelakanginya. Pemerintah Belanda juga pernah melarangnya. (R10/HR-Online)