Berita Ciamis (harapanrakyat.com).- Pembangunan Sistem Pengolahan Air Limbah Domestik (SPALD) di Desa Ciherang, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, diduga kuat syarat permasalahan.
Pasalnya, selain diduga terjadi penyelewengan anggaran oleh panitia, lokasi tempat dimana pembangunan SPALD dilaksanakan pun kini menuai kontroversi dengan ahli waris tanah.
Informasi yang berhasil dihimpun Koran HR di lapangan, pembangunan SPALD tersebut dibiayai oleh anggaran Bantuan Provinsi (Banprov) tahun 2019 senilai Rp. 425.000.000.
Penggunaan anggaran itupun dinilai tidak tranparan dan terkesan dipaksakan. Bahkan sebelumnya, warga sempat menolak pembangunan tersebut diterapkan di beberapa titik lokasi.
Hingga akhirnya, pembangunan SPALD baru bisa dilaksanakan di tahun 2020 di sebuah lokasi tanah wakaf yang dalam hal ini masih dalam status sengketa.
Enceng, warga sekaligus keturunan ahli waris pemilik lahan, kepada Koran HR, Selasa (14/04/2020), mengatakan, dirinya mengaku kecewa dan tidak setuju dengan adanya pembangunan SPALD di lokasi tanah waqaf tersebut.
“Selaku ahli waris, terus terang saja saya tidak pernah diajak musyawarah, apalagi dimintai ijin oleh panitia pembangunan. Padahal mestinya panitia jangan asal bangun saja, tapi hargai kami disini selaku ahli waris tanah tersebut,” katanya.
Menurut Enceng, dari dulu tanah tersebut sudah diwakafkan oleh leluhurnya untuk lahan pemakaman keluarga, bukan pemakaman umum. Jadi tidak dibenarkan jika desa tiba-tiba mendirikan bangunan SPALD di lahan hak milik keluarga.
Lebih lanjut, Enceng menjelaskan, sejak awal SPALD dibangun, dirinya mengaku tidak pernah diikutsertakan dalam musyawarah. Terlebih ketika lahan waqaf keluarganya akan dijadikan lokasi penanaman septiktank raksasa.
“Dulu memang saya pernah diajak rapat. Tapi rapat itu bukan membahas soal lahan ini. Dulu katanya panitia masih mencari lokasi. Saat itu, saya sempat dimanta tanda tangan di atas kertas kosong. Saya tidak tahu tanda tangan saya untuk apa. Nah tiba-tiba sekarang malah seperti ini. Saya juga bingung kemana saya harus protes,” katanya.
Senada dengan itu, Soleh, ahli waris lainnya, mengaku kecewa atas pembangunan SPALD di batas lahan wakaf milik keluarganya.
“Pokoknya saya tidak rela dan tidak akan mengijinkan jika lahan waqaf untuk pemakaman keluarga ini dijadikan SPALD. Saya sudah berkoordinasi dengan keluarga lainnya, termasuk yang paling tua di Tasik. Dan dalam hal ini kami tidak menerima lahan kami diserobot begitu saja oleh desa,” katanya.
Yang paling membuatnya kaget, kata Soleh, pihak desa ataupun panitia main serobot saja tanpa terlebih dahulu melakukan musyawarah dengan para ahli waris tanah yang kini dijadikan lokasi pembangunan SPALD.
“Mestinya kami itu dipanggil dulu, musyawarah dulu biar sama-sama enak. Jika sudah begini, jelas kami tidak akan terima. Dan kami akan mengajukan keberatan,” imbuhnya.
Hingga berita ini dibuat, Koran HR sudah mencoba mendatangi Pemerintah Desa Ciherang guna melakukan konfirmasi. Namun sayang, perangkat desa yang berwenang dalam hal ini malah pergi dan enggan menemui wartawan. (Suherman/Koran HR)