Berita Ciamis, (harapanrakyat.com),- Penetapan S yang merupakan anggota DPRD Kabupaten Ciamis, menjadi tersangka dugaan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), bisa berdampak terhadap kinerja yang dilakukannya.
Menurut Direktur LSM INPAM, Endin Lidinilah, yang juga akademisi hukum, ketika ditemui HR Online, Jum’at (20/3/2020), proses hukum yang dilalui S, pasti sedikit banyak akan mempengaruhi kinerja dalam melayani rakyat.
“Jadi, salah satunya kinerjanya adalah melayani rakyat. Sementara kini ditetapkan tersangka, artinya S sudah tidak bekerja secara maksimal, karena harus membagi waktu dengan proses hukum yang dijalaninya sekarang,” ungkapnya.
Berita Terkait : Anggota DPRD Ciamis Berinisial S Ditetapkan sebagai Tersangka Kasus KDRT
Lebih lanjut kata Endin, keberanian pihak Polres Ciamis menetapkan S sebagai tersangka, pastinya sudah mempunyai alat bukti yang cukup.
“Makanya proses dilanjutkan dengan penetapan dari terlapor jadi tersangka,” katanya.
Endin menambahkan, kejadian ini menjadi warning bagi seluruh anggota DPRD Ciamis lainnya. Supaya lebih hati-hati dalam bersikap dan bertindak, agar tidak terjerat tindak pidana, baik tindak pidana umum apalagi tindak pidana khusus seperti korupsi.
Meski seseorang anggota DPRD ditetapkan sebagai tersangka akan berdampak pada kinerjanya, karena harus memikirkan proses hukum yang dihadapinya, tetapi sesuai ketentuan dalam peraturan perundang-undangan terkait, tidak mengharuskan anggota DPRD tersebut diberhentikan.
“Baik sementara maupun pemberhentian antar waktu (permanen). Akan tetapi, partai yang lebih berhak mengatasi permasalahan ini,” jelasnya.
Menurutnya, wakil rakyat tersebut baru diberhentikan sementara kalau ia sudah menjadi terdakwa. Namun, lanjutnya, itu dikembalikan kepada partai yang memiliki aturan tersendiri.
“Pasalnya, partai yang lebih berhak mengatasi permasalahan apakah S tetap jadi anggota DPRD Ciamis atau diberhentikan,” tuturnya.
Aturan Pemberhentian Anggota DPRD
Endin menerangkan, pemberhentian anggota DPRD salah satunya diatur Pasal 200 ayat (1) a UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemda, sebagaimana diubah terakhir dengan UU No. 9 tahun 2015, dimana disebutkan bahwa “Anggota DPRD kabupaten/kota diberhentikan sementara karena menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana umum yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun”.
Selain itu, disebutkan pula pada Pasal 412 ayat (1) a UU No. 17 Tahun 2014 tentang MD3, sebagaimana diubah terakhir dengan UU 13 tahun 2019.
Wakil rakyat tersebut baru diberhentikan antar waktu, kalau dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, karena melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun.
Ketentuan itu diatur juga pada Pasal 192 ayat (2) c UU No. 23 tahun 2014 dan Pasal 405 ayat (2) c UU No. 17 tahun 2014 tentang MD3.
“Sebenarnya bisa saja wakil rakyat tersebut berhenti antar waktu, dengan mekanisme mengundurkan diri, tetapi di Indonesia hal ini jarang terjadi,” terangnya.
Kebanyakan, sambungnya, lebih menggunakan azas praduga tidak bersalah. Sehingga tetap bertahan sampai ada putusan inkracht, ketimbang asas public trust (kepercayaan publik) yang sudah menurun akibat status tersebut.
Menurut Endin, terkait hal ini partai politik yang menaungi anggota DPRD tersebut, seyogyanya ikut melakukan langkah-langkah. Pasalnya, citra partai juga akan kena getahnya, apalagi kalau kasusnya sudah muncul di media dan menjadi perbincangan publik. (Es/R5/HR-Online)