Berita Banjar (harapanrakyat.com),- Sebelum era reformasi, tepatnya sebelum Presiden RI ke empat, K.H. Abdurrahman Wahid atau Gusdur, mencabut Inpres No.47 Tahun 1967 yang membatasi semua aktivitas berbau China/Tionghoa, Tahun Baru Imlek tidak diminati oleh banyak kalangan, termasuk orang dari etnis Tionghoa sendiri.
Hal itu dikatakan Ketua Ketua Majelis Konghucu Indonesia (Makin) Kota Banjar, Jawa Barat, Budi Kurniawan, Minggu (26/01/2020), kepada HR Online.
“Hanya etnis Tionghoa yang beragama Khonghucu yang tetap merayakannya, meskipun sambil dihantui rasa takut,” kata Budi, saat ditemui di sela-sela perayaan Tahun Baru Imlek di Klenteng Kong Miao Litang, Kota Banjar.
Ia juga menuturkan, setelah era reformasi, dengan adanya Keppres No.6 Tahun 2000, maka Tahun Baru Imlek bisa dirayakan oleh seluruh etnis Tionghoa tanpa memandang agamanya.
Terlebih setelah Hari Raya Imlek diresmikan sebagai hari libur nasional, sebutan Imlek pun menjadi begitu akrab di telinga semua orang.
Baca Berita Terkait :
Memaknai Tahun Baru Imlek Bersama Ketua Makin Kota Banjar
Ketua Makin Kota Banjar; Sejarah Imlek Sudah Ada Sejak Dinasti Xia
“Berita tentang makna dan sejarah Tahun Baru Imlek bertebaran di mana-mana. Media sosial menjadi wahana untuk mengungkapkan rasa yang selama ini terpendam sangat dalam di lubuk hati orang Tionghoa,” jelasnya.
Menyebut Imlek dan mengucapkan Gong Xi Fa Cai, lanjut Budi, menjadi begitu ringan di bibir banyak orang. Atraksi barongsay, lampion, dan segala pernak-pernik Imlek ada di mana-mana.
“Kegembiraan terpancar di wajah orang-orang. Tionghoa tak ada lagi beban seperti dulu. Kemeriahan Tahun Baru Imlek nampak di setiap sudut di mana komunitas Tionghoa berada. Semua warga Tionghoa, apapun agamanya ikut merayakan Imlek,” katanya.
Menurut Budi, kondisi tersebut adalah salah satu dampak positif dari dicabutnya Inpres No.14 Tahun 1967, dan diberlakukannya Keppres Nomor 6 Tahun 2000 oleh Presiden Abdurrahman Wahid. (Muhlisin/R3/HR-Online)