Berita Pangandaran, (harapanrakyat.com),- Gunung Kutu atau Gunung Singkup menjadi saksi bisu sejarah kemerdakaan Indonesia di wilayah Kecamatan Langkaplancar. Sebab, di lokasi tersebut terdapat tempat yang dijadikan untuk bermunajat dan mengatur strategi oleh Kai Abdul Hamid Pangandaran dan tentara Hizbulloh.
Diketahui, Kai Abdul Hamid Pangandaran atau yang akrab disebut Ajengan Pangkalan ini merupakan pendiri Ponpes Al-Hamidiyah Cicau yang berada di Desa Pangkalan.
Ucu Saeful Aziz, Cucu Kai Abdul Hamid, mengatakan, kakeknya diperkirakan lahir pada tahu 1908 dari pasangan KH. Abdul Ghani dan Iti. Di usia 6 tahun, Kiai Hamid kecil diasuh oleh Tarsijem yang merupakan kerabat ibunya.
“Dulu beliau mengenyam pendidikan Sekolah Rakyat (SR) 3 tahun di Langkaplancar. Di usia 12 tahun mengaji di pesantren Cianjur selama 10 tahun kembali ke sini saat usia 22 tahun. Namun beliau kembali mesantren di Pesantren Sumelap Tasikmalaya,” jelasnya kepada Koran HR, Selasa (13/8/2019).
Di tahun 1933, Kiai Hamid menikah dengan Nyai Raden Enok Umi Salamah yang merupakan puteri Na’ib Raden Abdullah Gaos Cijulang. Dari pernikahannya itu, dikaruniai 4 putera. Sedangkan dari pernikahan dengan istrinya yang kedua, dihadiahi 2 puteri. Sementara dari istri ketiga tidak dikaruniai anak.
Selama bermukim di Cicau, kata Ucu, Kiai Hamid tak pernah berhenti melakukan dakwah Islam dan memberantas berbagai bentuk kemusyrikan yang saat itu masih sangat kental dalam masyarakat. Bahkan, pusat sesembahan berhala yang terkenal dengan nama Panyembahan atau Karantenan mampu dihacurkan berkah karomah Kai Abdul Hamid.
“Pada tahun 1944, ia bergabung dengan Partai Masyumi. Pada tahun 1946 pasca Proklamasi Kemerdekaan RI, ia membentuk laskar perjuangan, yaitu Hizbullah dan Sabilillah yang berlatih selama kurang lebih 5 bulan di Pesantren Cicau sebelum berangkat ke Bandung untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan NKRI,” ungkap Ucu.
Kembalinya dari Bandung, lanjutnya, pasukan Hizbullah dan Sabilillah memutuskan untuk kembali ke Langkaplancar. Namun karena kondisi masyarakat sudah berubah dengan masuknya paham baru, yaitu Darul Islam (DI) yang tidak sejalan dengan pemikiran dan pemahaman Kiai Abdul Hamid dan sebagian besar Pasukan, maka Kiai Abdul Hamid bersama laskarnya memutuskan untuk tinggal di Gunung Singkup sebagai tempat riyadhoh dan mengatur berbagai strategi.
Karena Kiai Abdul Hamid menolak untuk bergabung dengan DI, sambungnya, akhirnya dituduh berpihak pada Belanda dan dimusuhi. Di sisi lain pasukan Belanda sendiri terus berupaya mencari keberadaan Kiai Abdul Hamid. Bahkan, mereka membunuh siapa saja yang dianggap Kiai dengan harapan salah satunya adalah Kiai Abdul Hamid.
Melihat gelombang fitnah semakin menjadi-jadi, para sahabat Kiai Abdul Hamid menyarankan agar ia pindah ke daerah karang Gedang Ciamis.
“Atas usulan tersebut, Kiai Abdul Hamid Pangandaran hijrah ke Karang Gedang Ciamis dan bermukim di sana selama sekira 7 bulan sampai akhirnya meninggal dibunuh gerombolan PKI bersama 3 santrinya, yaitu Ajengan Sa’aduddin, Kyai Zaenal Arifin dan Kyai Zaenal Mutaqin. Mereka semua difitnah bergabung dengan Belanda lalu diculik dan dibawa ke daerah Cigembor Ciamis. Kakek saya meninggal tahun 1949 dan dimakamkan bersama ketiga di Karang Gedang Ciamis,” pungkasnya. (Enceng/Koran HR)