Berita Gaya Hidup, (harapanrakyat.com),- Bahaya kecanduan smartphone pada anak-anak kini semakin jelas terlihat. Namun demikian, manfaat dan perkembangan zaman tak dapat dielakkan untuk menghentikan kebiasaan ini.
Penggunaan smartphone yang cerdas jadi kunci utama dari permasalah tersebut. Peringatan para ahli terkait bahaya kecanduan smartphone bagi anak-anak pun harus menjadi perhatian semua orang tua, untuk selanjutnya mempertimbangkan lagi pemberian ponsel pintas bagi si kecil.
Berbicara mengenai bahaya smartphone, salah satu dampak yang mengkhawatirkan adalah risiko obesitas. Ini berkaitan dengan si anak yang menjadi pasif karena terlalu asik bersama teman digitalnya.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilansir Daily Mail, menjelaskan, kecanduan smartphone mempunyai dampak langsung terhadap berat badan berlebih. Kondisi ini memicu munculnya masalah kanker seperti usus besar, payudara, ginjal, serviks, hati, prostat dan pankreas.
Selain itu, kecanduan smartphone juga mengakibatkan peningkatan masalah mata pada anak-anak. Berdasarkan data, sejak 50 tahun terakhir, jumlah anak-anak yang mengalami mata rabun meningkat dua kali lipat.
Para peneliti juga menjelaskan, temuan ini diharapkan dapat menjadi perhatian khusus pada produsen makanan cepat saji yang sering menampilkan iklan di ponsel. Hal ini tentunya sangat mengkhawatirkan karena memperburuk kondisi anak-anak yang menjadi malas bergerak, dan lebih memilih makan makanan yang tidak sehat.
Sophia Lowes dari Cancer Research UK kepada The Telegraph, mengatakan, laporan ini menyoroti pentingnya bertindak lebih awal untuk membantu mencegah kanker.
“Anak-anak obesitas lima kali lebih mungkin mengalami obesitas ketika dewasa. Hal ini yang kemudian meningkatkan risiko masalah serius, bahkan mematikan pada anak-anak di kemudian hari akibat candu smartphone,” terang Sophia.
Bukan cuma ponsel pintar, akhir-akhir ini banyak juga anak remaja yang kecanduan game. Ahli kejiwaan, dr. Dewa Gde Basudewa, SpKJ., menjelaskan, masyarakat perlu mewaspadai dampak negatif dari adiksi maupun kecanduan teknologi ini.
Karena, kecanduan teknologi yang tidak terkontrol bisa memicu perubahan perilaku, seperti anak menjadi mudah marah saat kesenangannya terganggu.
“Saya menyebutnya sebagai gangguan jiwa kekinian. Diharapkan spektrum kategori gangguan kejiwaan dapat diubah, sehingga fenomena kekinian dapat masuk dalam aturan dan bisa tertangani sedini mungkin,” ungkapnya.
Basudewa juga menyinggung soal gangguan jiwa sebagai pemicu tingginya angka bunuh diri. Dia menyebut, angka kematian akibat bunuh diri di Bali cukup tinggi, dan puncaknya terjadi di tahun 2004, yakni sebanyak 180 orang. Sedangkan, di tahun 2017 dapat ditahan di angka 99 orang.
Meski grafiknya menurun, tetapi menurutnya angka tersebut masih terbilang tinggi. Menurut Basudewa, lingkungan keluarga memiliki andil yang sangat besar dalam mencegah tindak bunuh diri.
Untuk itu, jauhkan pola asuh anak dari kekerasan psikis seperti memarahi, merendahkan dan selalu menuntut mereka menjadi yang terbaik. Selain itu, buka ruang komunikasi antar anggota keluarga.
Basudewa juga mengimbau supaya pihak keluarga tidak menganggap Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) sebagai aib yang terkesan ditutup-tutupi. Sikap tertutup ini menyebabkan hampir 80 persen pasien ODGJ belum terakses layanan kesehatan yang mereka butuhkan.
Dalam hal ini, pemerintah menyediakan layanan khusus bagi ODGJ secara berjenjang mulai dari Puskesmas. Untuk itu, manfaatkan seoptimal mungkin layanan ini. (Eva/R3/HR-Online)