Calon gubernur nomor urut 3, Dede Yusuf yang berpasangan dengan Lex Laksamana menjadi korban pertama kisruh partai Demokrat. Efek elektoral buruk prahara partai berlogo mercy tersebut berimbas pada elektabilitas Dede yang suaranya tergerus pasangan Rieke Diyah Pitaloka-Teten Masduki. Kejutan perolehan suara Rieke di nomor 2 setelah pasangan Ahmad Heryawan-Deddy Mizwar karena Rieke mendapat limpahan berkah suara dari Dede yang anjlok.
Demikian analisis Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang disampaikan saat melaunching hasil hitung cepat (quick count) LSI dalam perolehan suara Pilkada Propinsi Jabar di kantor LSI, Jakarta, Minggu (24/2). Seperti biasa, QC LSI menggunakan metodologi standar, penarikan sample melalui cara acak ( multistage random sampling) terhadap 400 TPS dengan margin of error plus minus 1 %.
Dari data QC LSI yang masuk 100% per pukul 15.40 WIB, pasangan nomor 4, Ahmad Heryawan- Deddy Mizwar unggul di posisi pertama dengan perolehan suara 33,14%, kedua diduduki pasangan Rieke Diyah Pitaloka â Teten Masduki dengan 27,92%, Ketiga Dede Yusuf-Lex Laksamana dengan 25,23%, lalu pasangan Irianto MS Syafiudin-Tatang Farhanul 11,81% dan terakhir pasangan Dikdik-Cecep memperoleh 1,89%.
Menurut Direktur Eksekutif Citra Komunikasi Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Toto Izul Fatah, 24 Februari 2013, yang menarik dari Pilgub Jabar kali ini bukan kemenangan Ahmad Heryawan yang memang sudah diprediksi sebelumnya sebagai cagub potensial menang selain Dede Yusuf, tapi lebih karena adanya kejutan kenaikan suara pasangan nomor urut 5, Rieke Diyah Pitaloka ke posisi nomor dua menggeser Dede Yusuf di survei sebelumnya. Dan dalam analisis LSI, kejutan itu terjadi sebagai akibat dari efek domino kisruh partai Demokrat, khususnya pasca ketua umumnya, Anas Urbaningrum ditetapkan sebagai tersangka, kepada elektabilitas Dede Yusuf.
Dari data survei terakhir LSI, terungkap bahwa Dede Yusuf terasosiasi cukup kuat dan massif dengan Demokrat sebagai partai pengusung yang sedang dipersepsi buruk oleh mayoritas publik. Hal ini diperkuat oleh aneka kemasan media ruang publik Dede Yusuf seperti baliho, spanduk, stiker dan sejenisnya yang selalu mencantumkan logo partai Demokrat. Berbeda dengan Ahmad Heryawan- Deddy Mizwar yang tidak mencantumkan embel-embel logo PKS. Mungkin, karena Aher sadar bahwa pencantuman itu secara strategis tidak menguntungkannya.
Setidaknya, sekitar 50% publik mengaku tahu kalau Dede diusung Demokrat. Mungkin ini juga dilatarbelakangi oleh panjang dan lamanya usia pemberitaan gonjang ganjing partai yang didirikan SBY tersebut. Sedangkan hanya 30% saja publik yang tahu Aher diusung PKS. Sehingga, begitu muncul berita penetapan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaq sebagai tersangka, publik tidak terlalu terpengaruh.
Tsunami politik yang sedang terjadi di Demokrat itu tentu bukan faktor tunggal kemerosotan Dede dan kenaikan Rieke. Ada juga faktor Jokowi yang ikut menyumbang suara melalui statemen dan iklan dukungannya kepada Rieke. Namun, dalam analisis LSI tidak terlalu besar.
Dede Yusuf sebenarnya hanya diselamatkan oleh keunggulan pemilih militan (strong supporternya) sekitar 25%. Sehingga, bisa jadi, suara yang diperoleh Dede saat ini memang suara riilnya selama ini yang terekam di beberapa kali survei. Walaupun, jika dilihat dari trend nya, Dede memang mengalami penurunan yang terus menerus dalam tracking survei yang dilakukan LSI. Mulai dari 41,1%, (Mei 2012) turun ke 35,7% (Januari 2013) dan terakhir (Februari 2013) turun lagi ke angka 34%. Dari pengalaman LSI melakukan ratusan kali survei, calon yang elektabilitasnya turun selalu sulit untuk bangkit dan berakhir dengan kekalahan.
Faktor lain yang juga menyumbang kekalahan Dede Yusuf adalah karena tak berjalannya mesin partai, khususnya Demokrat yang kader-kadernya dibawah mengalami demoralisasi. Sehingga, mereka tidak cukup percaya diri turun ke bawah untuk mensosialisasikan calonnya. Padahal, tim Dede sebenarnya bisa memanfaatkan partai pengusung lain seperti PAN dan Gerindra melalui Prabowo nya. Sehingga, Dede tidak terasosiasi terlalu kuat ke Demokrat. Misalnya, seperti yang dilakukan Prabowo ke Jokowi di Pilkada DKI Jakarta. Sayangnya, potensi Prabowo tidak dimanfaatkan secara maksimal. ***