Berita Ciamis, (harapanrakyat.com),- Ketua Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kabupaten Ciamis, Uce Kurniawan, mengingatkan kepada kedua pasangan calon (paslon) bupati-wakil bupati Ciamis, yakni Herdiat- Yana D Putra dan Iing Syam Arifin- Oih Burhanudin, beserta tim suksesnya, agar tidak memberikan uang atau barang kepada masyarakat sebagai bentuk tradisi yang lazim dilakukan pada setiap jelang Hari Raya Idul Fitri. Menurutnya, apapun dalihnya, membagi-bagikan barang atau uang sepanjang tahapan kampanye tetap saja masuk kategori politik uang (money politik).
Uce menjelaskan, hari raya Idul Fitri jatuh pada tanggal 15 dan 16 Juni 2018. Sementara pelaksanaan pencoblosan Pilkada Serentak dilakukan pada tanggal 27 Juni 2018. Dengan begitu, kata dia, selama bulan ramadhan atau menjelang hari raya Idul Fitri masih dalam jadwal tahapan kampanye Pilkada Ciamis.
“Seperti diketahui, sudah menjadi tradisi di masyarakat muslim Indonesia bahwa setiap Lebaran atau hari Raya Idul Fitri selalu ada kebiasaan memberikan hadiah berupa uang maupun barang dari individu satu ke individu lainnya atau yang lazim disebut THR. Nah, untuk paslon kami tegaskan tidak boleh. Memberikan THR dalam bentuk apapun sama saja melakukan money politik. Dan hal itu akan kami tindak,” tegasnya, kepada awak media, Kamis (29/03/2018).
Uce menambahkan, pihaknya sudah mengintruksikan kepada seluruh jajaran pengawas Pemilu, terutama petugas pengawas lapangan, agar ekstra melakukan pengawasan selama bulan ramadhan dan menjelang hari raya Idul Fitri.
“Kami khawatir selama bulan ramadhan dan menjelang Idul Fitri dijadikan celah oleh Paslon untuk melakukan money politik. Dan potensi untuk terjadi money politik pada moment itu kemungkinan besar sekali. Karena tanpa Paslon berniat memberi pun bisa saja masyarakat yang meminta. Artinya, Paslon harus memiliki sikap bahwa tidak akan memberi dalam bentuk apapun ke masyarakat saat menjelang Idul Fitri nanti,”ujarnya.
Menurut Uce, sanksi hukum money politik pada Undang-undang no 10 tahun 2016 tentang Pilkada sangat berat. Selain bisa terjerat sanksi pidana, kata dia, juga bisa mendiskualifikasi pasangan calon dari keikutsertaan Pilkada apabila terbukti praktek money politik tersebut dilakukan secara sistematis, terstruktur dan massif yang melibatkan pasangan calon dan tim suksesnya.
Disamping itu, terang Uce, pasal yang mengatur sanksi hukum money politik (politik uang) pada Undang-undang no 10 tahun 2016 tentang Pilkada menjabarkan konteks pelaku yang lebih luas. Yang bisa dijerat pasal tersebut, tak hanya pasangan calon kepala daerah-wakil kepala daerah dan tim suksesnya, tetapi masyarakat biasa pun bisa dijerat apabila terbukti melakukan tindakan money politik dengan tujuan mempengaruhi orang lain untuk memilih pasangan calon tertentu.
“Kalau pada undang-undang Pilkada sebelumnya, memang pelaku money politik yang bisa dijerat hukum hanya pasangan calon dan tim suksesnya yang tercatat di KPUD. Masyarakat biasa atau orang tidak tercatat sebagai tim sukses di KPUD tidak bisa dijerat hukum. Tetapi undang-undang Pilkada yang sekarang mengatur lebih luas dengan menyebut pihak manapun. Artinya, masyarakat pun bisa dijerat hukum apabila melakukan money politik untuk mempengaruhi orang lain memilih pasangan calon tertentu,” ujarnya.
Untuk itu, Uce mengingatkan masyarakat agar berani menolak apabila ada pihak tertentu menyuruh membagikan uang untuk tujuan money politik. Karena, menurutnya, sanksi hukumnya cukup berat, yakni ancaman penjara selama 36 bulan atau paling lama 72 bulan dan/atau denda sebanyak Rp. 200 juta atau paling banyak Rp. 1 milyar.
“Artinya, tindakan money politik jangan dianggap suatu hal biasa. Karena resikonya besar dan bisa berurusan hukum dengan ancaman penjara yang cukup lama,” tegasnya.
Dalam undang-undang itupun, kata Uce, sanksi hukumnya tak hanya menjerat si pemberi uang saja, tetapi orang yang menerima uang dari maksud money politik pun sama bisa terjerat hukum.
“Sanksi hukumnya pun sama dengan si pemberi, yakni ancaman penjara selama 36 bulan atau paling lama 72 bulan dan/atau denda sebanyak Rp. 200 juta atau paling banyak Rp. 1 milyar. Artinya, masyarakat harus berani menolak apabila ada pihak tertentu memberi uang dengan tujuan money politik,” ujarnya. (R2/HR-Online)