Berita Ciamis, (harapanrakyat.com),- Ketua DPRD Ciamis, Nanang Permana, mengaku tidak sepakat dengan rekonsiliasi budaya terkait sejarah perang bubat. Menurutnya, rekonsiliasi tersebut hanya akan mengingatkan kembali sejarah kelam dan sekaligus memberitahu kepada generasi muda bahwa suku sunda dengan suku jawa pernah berseteru dalam sebuah peperangan berdarah.
“Menurut pandangan saya, rekonsiliasi sudah terwujud ketika suku sunda, jawa dan suku lainnya di Indonesia, mengikrarkan sumpah pemuda pada tahun 1928. Hal itu kembali dipertegas saat Soekarno dan Hatta membacakan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Jadi, ketika Indonesia merdeka, kita adalah satu nusa dan satu bangsa dalam wadah NKRI. Kini tidak ada lagi sekat suku, agama dan budaya,” tegasnya, ketika dihubungi Koran HR, Senin (13/03/2018).
Berita Terkait: Budayawan Minta Ada Nama Jalan di Ciamis Pakai Simbol Majapahit
Nanang juga mengaku tidak setuju dengan penerapan simbol Majapahit digunakan sebagai nama jalan di Kabupaten Ciamis. Dia pun khawatir ketika dilakukan perubahan nama jalan, malah nantinya memunculkan permasalahan baru. “Nama jalan di Kabupaten Ciamis, khususnya di wilayah kota, sudah memiliki makna dan filosofisnya masing-masing. Jadi, perlu dipertimbangkan lagi apabila ingin mengubah nama jalan di Kabupaten Ciamis dengan menggunakan simbol Majapahit,” tegasnya.
Nanang mengatakan, masyarakat sunda dan jawa saat ini sudah melupakan sejarah kelam perang bubat. Buktinya, lanjut dia, dari sejak dulu banyak orang sunda yang melakukan pernikahan dengan orang jawa. Begitupun dari sisi kehidupan sosial lainnya.
“Tapi usulan itu pasti akan kami terima. Siapapun yang mengusulkan aspirasi pasti akan kami tampung. Namun, kami pun perlu mendengar masukan dari berbagai tokoh dan kalangan lainnya di Kabupaten Ciamis,”ujarnya.
Sebelumnya, budayawan Ciamis meminta Pemkab dan DPRD Ciamis untuk segera menerapkan simbol Kerajaan Majapahit pada nama jalan di Kabupaten Ciamis. Hal itu sebagai tindaklanjut dari kesepakatan rekonsiliasi budaya suku Sunda dan suku Jawa yang diprakarsai Gubernur Jawa Timur Soekarwo dan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, pada acara yang bertajuk, “Rekonsiliasi Budaya Harmoni Sunda-Jawa,” yang digelar di Hotel Bumi Surabaya, Selasa (6/3/2018) lalu.
Rekonsilisasi tersebut merupakan bentuk komitmen guna mengakhiri serta menghapuskan berbagai mitos yang berkembang di masyarakat kedua suku ini yang berkaitan dengan tragedi Perang Bubat yang terjadi pada tahun 1357 Masehi atau sekitar 661 tahun silam.
Tindaklanjut dari rekonsiliasi tersebut, yakni melakukan pertukaran simbol kedaerahan yang diterapkan pada nama jalan di beberapa daerah di Jawa Timur dan Jawa Barat. Seperti diketahui, di seluruh daerah di Jawa Barat, sampai saat ini belum ada satupun nama jalan yang menggunakan simbol Kerajaan Majapahit atau leluhur masyarakat Jawa Timur. Begitupun di seluruh daerah di Jawa Timur, belum ada satupun nama jalan yang menggunakan simbol Kerajaan Sunda, Padjadjaran atau Galuh yang merupakan leluhur masyarakat Jawa Barat.
Tidak adanya pertukaran simbol kedaerahan pada nama jalan di dua provinsi tersebut, diduga dipicu dari masih berkembangnya mitos di masyarakat suku Sunda dan suku Jawa yang berkaitan dengan perseteruan sejarah Perang Bubat. Tak hanya itu, akibat dendam lama ini pun berkembang ke hubungan kemanusiaan, perkawinan, pendidikan dan lainnya. Seperti contoh, sebagian masyarakat Sunda, hingga saat ini masih ada yang mempercayai mitos bahwa tidak bagus orang sunda menikah dengan orang jawa. Begitupun sebaliknya. (Bgj/Koran HR)