Berita Ciamis, (harapanrakyat.com),- Budayawan Ciamis meminta Pemkab dan DPRD Ciamis untuk segera menerapkan simbol Kerajaan Majapahit pada nama jalan di Kabupaten Ciamis. Hal itu sebagai tindaklanjut dari kesepakatan rekonsiliasi budaya suku Sunda dan suku Jawa yang diprakarsai Gubernur Jawa Timur Soekarwo dan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, pada acara yang bertajuk, “Rekonsiliasi Budaya Harmoni Sunda-Jawa,” yang digelar di Hotel Bumi Surabaya, Selasa (6/3/2018) lalu.
Rekonsilisasi tersebut merupakan bentuk komitmen guna mengakhiri serta menghapuskan berbagai mitos yang berkembang di masyarakat kedua suku ini yang berkaitan dengan tragedi Perang Bubat yang terjadi pada tahun 1357 Masehi atau sekitar 661 tahun silam.
Tindaklanjut dari rekonsiliasi tersebut, yakni melakukan pertukaran simbol kedaerahan yang diterapkan pada nama jalan di beberapa daerah di Jawa Timur dan Jawa Barat. Seperti diketahui, di seluruh daerah di Jawa Barat, sampai saat ini belum ada satupun nama jalan yang menggunakan simbol Kerajaan Majapahit atau leluhur masyarakat Jawa Timur. Begitupun di seluruh daerah di Jawa Timur, belum ada satupun nama jalan yang menggunakan simbol Kerajaan Sunda, Padjadjaran atau Galuh yang merupakan leluhur masyarakat Jawa Barat.
Tidak adanya pertukaran simbol kedaerahan pada nama jalan di dua provinsi tersebut, diduga dipicu dari masih berkembangnya mitos di masyarakat suku Sunda dan suku Jawa yang berkaitan dengan perseteruan sejarah Perang Bubat. Tak hanya itu, akibat dendam lama ini pun berkembang ke hubungan kemanusiaan, perkawinan, pendidikan dan lainnya. Seperti contoh, sebagian masyarakat Sunda, hingga saat ini masih ada yang mempercayai mitos bahwa tidak bagus orang sunda menikah dengan orang jawa. Begitupun sebaliknya.
Berita Terkait: Ketua DPRD Ciamis Tak Sepakat Rekonsiliasi Budaya Terkait Sejarah Perang Bubat
Budayawan Ciamis, Daday Hendarman Praja, mengatakan, dari hasil pertemuan antara unsur pemerintahan dan budayawan kedua provinsi (Jabar-Jatim), penggantian nama jalan dengan menggunakan simbol Majapahit untuk di daerah Jawa Barat, tak hanya diterapkan di Kota Bandung sebagai ibukota provinsi, tetapi diterapkan pula di Kabupaten Ciamis dan Kota Bogor.
“Karena Kabupaten Ciamis dan Kota Bogor memiliki sejarah perjalanan Kerajaan Sunda hingga masa terjadinya perang bubat. Seperti diketahui bahwa kraton Kerajaan Sunda yang dipimpin Prabu Maharaja Linggabuana berada di Kecamatan Kawali, Kabupaten Ciamis,” ujarnya, kepada Koran HR, Senin (12/03/2018).
Daday menambahkan, para budayawan Ciamis sudah berencana untuk menemui Pemkab dan DPRD Ciamis untuk membahas terkait tindaklanjut dari rekonsiliasi budaya tersebut. “Namun, kami akan mengusulkan nama Hayam Wuruk dan Raden Wijaya sebagai nama jalan yang digunakan di Kabupaten Ciamis,” katanya.
Dipilihnya nama Hayam Wuruk dan Raden Wijaya, lanjut Daday, selain sebagai simbol kebesaran Majapahit, juga karena kedua tokoh itu merupakan keturunan dari Kerajaan Sunda. “Seperti diketahui bahwa Raden Wijaya adalah cucu dari Raja Sunda Prabu Guru Dharmasiksa. Sementara Hayam Wuruk adalah anak dari Raden Wijaya. Dengan begitu, selain ada keterkaitan dengan suku sunda, juga nama Hayam Wuruk dan Raden Wijaya dapat diterima oleh masyarakat Sunda,” ujarnya.
Daday mengatakan, para budayawan Sunda masih menolak menggunakan nama Gajah Mada untuk penggunaan nama jalan di daerah Jawa Barat. Karena, menurutnya, berdasarkan berbagai literatur sejarah, Gajah Mada merupakan otak dari pembantaian rombongan Kerajaan Sunda saat terjadi tragedi perang bubat pada 661 tahun silam tersebut.
“Dalam sejarah disebutkan bahwa perang bubat adalah insiatif pribadi dari Gajah Mada yang ingin mewujudkan mimpinya mengusai nusantara. Sementara Hayam Wuruk yang ingin menikahi putri kerajaan sunda, menyesalkan tindakan Gajah Mada. Jadi, selain memiliki garis keturunan Sunda, Hayam Wuruk pun tidak merestui terjadinya perang bubat,” terangnya.
Daday menjelaskan, untuk merealisasikan penerapan nama jalan dengan simbol Majapahit di Kabupaten Ciamis, harus ada persetejuan dari Pemkab dan DPRD. Karena dalam penetapan sebuah jalan, kata dia, harus ditetapkan dalam sebuah Peraturan Daerah (Perda).
“Makanya kami berencana bertemu dengan Pemkab dan DPRD. Kami meminta dukungan kepada Pemkab dan DPRD agar menerima penerapan nama jalan dengan simbol Majapahit sebagai tindaklanjut dari rekonsiliasi budaya tersebut,” katanya. (Bgj/Koran HR)