Sejarah Syekh Bela Belu sangat menarik untuk kita ulas. Siapa kira, di balik keindahan Pantai Parangtritis, Yogyakarta, ternyata tersimpan kisah menarik yang berkaitan dengan penyebaran Islam di tanah Jawa. Salah satu tokoh sentral dalam kisah ini adalah Syekh Bela Belu.
Baca Juga: Peran Ibu Ruswo Asal Yogyakarta, Pahlawan Pengatur Logistik Makanan di Masa Perang Kemerdekaan RI
Syekh Bela Belu sendiri merupakan seorang ulama yang memiliki latar belakang bangsawan dari Kerajaan Majapahit. Kisahnya penuh dengan laku spiritual yang unik. Seperti perpindahan keyakinan hingga menjadi sosok penting dalam penyebaran agama Islam di kawasan selatan Yogyakarta.
Menyingkap Tabir Sejarah Syekh Bela Belu, Ulama Pelarian dari Majapahit di Parangtritis
Kisah historis Syekh Bela Belu bermula dari seorang bangsawan. Bangsawan itu bernama Raden Jaka Bandem, atau dalam versi lain terkenal pula dengan sebutan Joko Dander. Ia merupakan putra dari Prabu Brawijaya V, raja terakhir Majapahit.
Ketika kerajaan mengalami pergeseran politik dan agama, Raden Jaka Bandem memilih mengasingkan diri. Bersama para pengikutnya, ia menyingkir ke wilayah pesisir selatan, dan menetap di sebuah bukit yang kelak dikenal sebagai Bukit Pemancingan, dekat Parangtritis.
Pertemuan dengan Syekh Maulana Maghribi
Di tempat pelarian itu, Jaka Bandem bertemu dengan Syekh Maulana Maghribi. Syekh Maulana Maghribi ini ialah seorang ulama dari Persia. Ia adalah utusan Raden Patah dari Demak untuk menyebarkan Islam. Awalnya, Jaka Bandem masih memegang ajaran Buddha.
Namun setelah banyak perenungan dan melihat keistimewaan ajaran Islam yang disampaikan Syekh Maghribi, ia akhirnya memutuskan untuk memeluk Islam. Nah, sejak saat itulah ia populer sebagai Syekh Bela Belu.
Laku Spiritual yang Tidak Lazim
Salah satu aspek menarik dalam sejarah Syekh Bela Belu adalah metode bertapanya yang berbeda dari para ulama kebanyakan. Ia terkenal memiliki kebiasaan unik, yakni gemar makan meski sedang menjalani tirakat. Konon, ia bisa makan hingga tiga hingga empat kali sehari, dan memiliki kesukaan terhadap nasi ayam liwet.
Keunikan ini sempat menjadi pertanyaan bagi Syekh Maulana Maghribi. Namun dalam sebuah peristiwa adu kesaktian, Bela Belu berhasil membuktikan keistimewaannya. Dalam cerita tutur rakyat, saat mereka berlomba untuk sholat Jumat di Masjidil Haram di Mekkah, Syekh Bela Belu mampu tiba lebih dahulu meski sempat menanak nasi. Peristiwa tersebut membuat Syekh Maulana Maghribi mengakui kesaktian dan kedalaman spiritual Syekh Bela Belu.
Penempaan Diri Melalui Tirakat
Meski gemar makan, Syekh Bela Belu menjalani laku prihatin yang cukup berat. Ia pernah diajarkan oleh Panembahan Selohening, seorang kerabat dari Majapahit yang lebih dahulu masuk Islam, untuk mencuci beras di Sungai Beji yang jaraknya sekitar 5 km dari tempat tinggalnya. Latihan ini memiliki tujuan agar ia bisa mengendalikan hawa nafsu, khususnya soal makan. Cara ini berhasil, dan Syekh Bela Belu akhirnya hanya makan sekali sehari.
Bahkan dalam beberapa cerita, ia pernah memasak nasi yang dicampur dengan pasir pantai sebagai bentuk ujian kesabaran dan spiritualitas. Ia memilih nasi satu per satu dari antara pasir sebelum memakannya. Cara ekstrem ini menunjukkan betapa seriusnya beliau dalam menempa batin dan menempuh jalan sufi ala Jawa.
Baca Juga: Mengenal Sosok Jenderal Soekarno Djojonegoro, Banjarnegara yang Tegas dan Pemberani
Makam dan Pengakuan Sultan
Sejarah Syekh Bela Belu tak berhenti pada masa hidupnya. Setelah wafat, makamnya menjadi tempat ziarah penting. Letaknya berada di kawasan Gunung Banteng, Parangtritis. Makam tersebut berhasil ketemu berkat petunjuk gaib dari seorang keturunan Kyai Selohening, yang saat itu menjabat sebagai Demang Pemaosan.
Tempat tersebut kemudian ditandai dan dipastikan sebagai makam Syekh Bela Belu dan adiknya, Syekh Gagang Aking atau Damiaking. Penemuan batu hitam berbentuk kipas dan tampah dari anyaman bambu semakin menguatkan penetapan lokasi tersebut. Sultan Hamengku Buwono IV kemudian membangun cungkup dari kayu jati dan melapisinya dengan batu hitam sebagai bentuk penghormatan.
Jejak Pemikiran dan Pengaruh Budaya
Kisah Sejarah Syekh Bela Belu juga menjadi bukti betapa uniknya proses islamisasi di tanah Jawa. Tidak melulu soal dakwah formal atau dominasi kekuasaan politik, namun juga lewat peristiwa-peristiwa spiritual yang penuh simbol dan kisah ajaib. M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern menyebut bahwa penyebaran Islam di Jawa lebih banyak ditopang oleh pengalaman religius dan tokoh-tokoh kharismatik seperti Bela Belu.
De Graaf, dalam karyanya, bahkan menyebut Syekh Bela Belu dan Damiaking sebagai tokoh yang “aneh” karena metode tirakat mereka yang tidak biasa. Namun keanehan tersebut justru memperkaya warna spiritualitas Islam lokal yang sarat dengan akulturasi budaya Jawa-Hindu-Buddha.
Kesimpulan
Kisah Sejarah Syekh Bela Belu adalah fragmen penting dari mozaik sejarah Islam di Jawa. Dari seorang pelarian kerajaan, ia menjelma menjadi tokoh sufi yang disegani dan dikenang hingga kini. Laku tirakatnya yang unik, hubungannya dengan tokoh penting seperti Maulana Maghribi, serta pengakuan dari keraton Yogyakarta menjadi bukti bahwa eksistensinya bukan sekadar mitos, tetapi bagian dari warisan spiritual bangsa.
Baca Juga: Sejarah Makam Ki Lobama Cirebon, Sosok Penyebar Agama Islam Sebelum Hadirnya Wali Songo
Bagi para peziarah dan peneliti sejarah, sejarah Syekh Bela Belu bukan hanya narasi masa lalu saja. Akan tetapi cermin kebijaksanaan dan keunikan penyebaran Islam yang membumi di tanah Jawa. Makamnya yang masih ramai oleh peziarah hingga kini menjadi saksi bisu perjalanan seorang bangsawan yang memilih jalan spiritual untuk menyatu dengan Sang Ilahi. (R10/HR-Online)