Upacara adat Ngalaksa merupakan upacara yang biasa dilakukan oleh masyarakat Sumedang, Jawa Barat tepatnya di wilayah Kecamatan Rancakalong. Upacara ini merupakan warisan adat turun-temurun sejak zaman dahulu kala, sehingga sudah menjadi tradisi dan kebiasaan bagi masyarakat Jawa Barat tersebut.
Tradisi ini memiliki makna sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan, Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya terhadap hasil panen padi yang melimpah.
Baca Juga: Sejarah Tradisi Padusan yang Lahir dari Tanah Jawa
Nah, apabila ingin mengetahui lebih lanjut terkait upacara adat di atas, berikut ini akan mengulas terkait sejarah, pelaksanaan, dan proses kegiatannya. Untuk itu, simak selengkapnya dalam artikel di bawah ini.
Sejarah Upacara Adat Ngalaksa di Sumedang, Jawa Barat
Tradisi Ngalaksa di Rancakalong, Sumedang, memiliki sejarah panjang yang bermula pada abad ke-17. Saat itu, masyarakat Rancakalong mengalami musibah gagal panen, di mana tanaman padi mereka tidak berbuah. Biji padi yang dihasilkan kosong dan hanya tersisa kulitnya, menyebabkan kelaparan di kalangan warga.
Dalam menghadapi situasi sulit ini, para tokoh masyarakat berinisiatif melakukan perjalanan ke Kerajaan Mataram untuk mencari bibit padi yang lebih baik. Wilayah Mataram saat itu terkenal sebagai lumbung padi, sehingga besar harapan mereka bisa mendapatkan benih unggul untuk mereka tanam kembali di Rancakalong.
Namun, perjalanan menuju Mataram tidaklah mudah. Para utusan mendapat hadangan dari pengawal kerajaan dan tidak dapat izin masuk ke wilayah tersebut. Meski demikian, mereka tidak menyerah dan mencari cara lain. Dengan bantuan para tetua desa, mereka menyusun strategi untuk bisa bernegosiasi dan kembali menghadap raja Mataram.
Pada akhirnya, setelah usaha yang gigih, mereka berhasil menemui raja. Mereka juga mendapatkan bibit padi untuk mereka bawa pulang ke Rancakalong. Keberhasilan ini menjadi titik awal dari pelaksanaan upacara adat Ngalaksa.
Masyarakat menggelar upacara sebagai wujud penghormatan kepada Dewi Padi, yang terkenal dengan nama Dewi Sri atau Nyi Pohaci Sanghyang Sri. Upacara ini terus lestari hingga sekarang sebagai simbol rasa syukur atas panen yang melimpah.
Waktu Pelaksanaan Upacara Adat
Upacara adat Ngalaksa ini berlangsung hanya satu tahun sekali, yaitu setiap bulan Juli. Namun, apabila pada bulan tersebut bertepatan dengan momen puasa, masyarakat akan mengundurkan jadwalnnya ke bulan berikutnya.
Ngalaksa sendiri merupakan ritual proses pembuatan makanan laksa oleh warga yang menjadi Rurukan (pemangku acara) selama tujuh hari tujuh malam secara bergiliran setiap tahun. Kegiatan ini dilakukan oleh 5 rurukan dari 5 desa di Kecamatan Rancakalong. Ritual Ngalaksa berlangsung setiap hari 24 jam dalam waktu selama satu minggu.
Biasanya pelaksanaan upacara adat tersebut berdasarkan hasil musyawarah para tokoh adat masyarakat setempat. Pada saat upacara ini berlangsung terdapat kebiasaan unik di dalamnya, yaitu adanya proses penghantaran padi ke lumbung oleh warga setempat.
Baca Juga: Masyarakat Adat Darmaraja Sumedang Lestarikan Tradisi Munggahan di Bendungan Jatigede
Tahapan Pelaksanaan Upacara Adat
Dua minggu menjelang pelaksanaan upacara adat Ngalaksa, para tetua adat memberitahukan kepada semua tokoh masyarakat bahwa akan mengadakan tradisi tersebut. Acara pemberitahuan ini biasa terkenal dengan nama bewara.
Selanjutnya, adalah tahapan ngayu atau ngahayu-hayu yang artinya mengajak semua warga bersiap-siap untuk menyelenggarakan kegiatan tersebut. Setelah itu, masuk ke tahapan mera atau rangkaian pembagian tugas kepada setiap kelompok dan bahan harus mereka bawa setiap rurukan (pemangku acara).
Adapun dalam upacara adat ini terdapat lima rurukan yaitu: Rurukan Rancakalong, Nagarawangi, Pamekaran, Pasir Biru, dan Rurukan Cibunar. Mereka secara bergantian memimpin pelaksanaannya. Adat Ngalaksa berawal dengan prosesi meuseul bakal, yaitu menumbuk padi dengan iringan pembacaan rajah dari subuh hingga menjelang tengah hari.
Setelah itu, kegiatan berlanjut dengan mencuci beras dengan air yang sudah bertabur bunga laja atau combrang. Terakhir, rombongan membawa beras tersebut ke sebuah ruangan panjang yang bernama pangineban.
Musik Pengiring
Musik pengiring dalam upacara adat Ngalaksa adalah tarawangsa dan jentreng. Alat musik ini menyerupai kecapi atau rebab. Cara memainkannya dengan cara menggeseknya. Musik tarawangsa merupakan khas sunda untuk perayaan adat penghormatan Dewi Sri tersebut dan terus mengalun selama proses upacara berlangsung.
Sepanjang malam irama musik ini tidak berhenti dengan alunan irama kadang-kadang cepat, kemudian berubah menjadi lambat mendayu-dayu. Selain itu, terkadang musik ini juga terdengar monoton iramanya, sehingga membuat pendengar terbawa hanyut oleh irama musik tarawangsa dan jentreng tersebut.
Baca Juga: Upacara Labuhan Merapi, Tradisi Penghormatan kepada Leluhur di Yogyakarta
Upacara Adat Ngalaksa lebih dari sekadar ritual atau tradisi saja, namun juga sebagai bentuk komunikasi manusia dengan alam semesta. Makna ini terwujud dalam bentuk tindakan dan ekspresi seni para pelaku upacara dan juga dalam aspek-aspek material yang mereka gunakan. Keberadaannya menjadi sebuah aset warisan budaya yang harus tetap kita lestarikan. (R10/HR-Online)