Selain sebagai destinasi memukau, Palabuhanratu di Sukabumi juga memiliki tradisi yang memiliki makna mendalam bernama Upacara Labuh Saji. Tradisi ini sudah berlangsung turun temurun sejak masa penjajahan Belanda di Indonesia. Pelaksanaan upacara tradisional ini menjadi ritual unik para nelayan yang jatuh pada tanggal 6 April setiap tahun bertepatan dengan Hari Nelayan.
Baca Juga: Upacara Adat Ngalaksa di Rancakalong Sumedang, Wujud Syukur dan Penghormatan kepada Dewi Padi
Nah, bagi yang penasaran terkait upacara tradisional tersebut, simak penjelasannya dalam artikel berikut ini!
Upacara Labuh Saji Sebagai Wujud Ungkapan Syukur Nelayan
Pantai Palabuhanratu menjadi salah satu destinasi wisata yang ramai oleh wisatawan. Hal ini tak lain karena pemandangan alam yang indah serta eksotisnya air laut biru di dalamnya. Untuk menjangkau tempat tersebut, harus menempuh jarak sekitar 60 Km dari Kota Sukabumi. Arahnya ke selatan dari pusat kota dan untuk berkendara membutuhkan waktu sekitar 2 jam.
Selain keindahan pantainya, wilayah tersebut memiliki sebuah tradisi yang biasa dilakukan oleh para nelayan setempat. Tradisi ini bernama bernama “Labuh Saji” yang sudah berlangsung turun-temurun sejak zaman Kolonial Belanda. Menurut penuturan budayawan Sukabumi Asep Nur Bagela, tradisi ini merupakan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas anugerah berupa hasil tangkapan ikan.
Makna dan Pelaksanaan Upacara Labuh Saji
Upacara Labuh Saji yang juga terkenal sebagai Syukuran Hari Nelayan Palabuhanratu, merupakan tradisi adat yang masyarakat Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat jalankan.
Ritual ini terselenggara sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkah dan kesejahteraan yang Tuhan berikan.
Dalam bahasa Sunda, kata “Labuh” berarti menjatuhkan sesuatu, yang dalam konteks upacara ini merujuk pada prosesi melarung sesajen ke laut. Tujuan dari ritual ini adalah agar nelayan mendapatkan tangkapan ikan yang melimpah serta menjaga hubungan baik dengan Nyi Roro Kidul, penguasa Pantai Selatan.
Upacara Labuh Saji mempunyai arti makna “melabuh saji” yang berasal dari kata ‘labuh’ yang berarti menjatuhkan sesuatu. Sedangkan kata ‘saji’ memiliki arti sesaji atau sajen. Adapun sesaji tersebut biasanya dalam bentuk kepala kerbau.
Berdasarkan penuturan Marwan Hamami (Bupati Sukabumi), pelaksanaan tradisi ini sebelumnya menenggelamkan kepala kerbau ke dalam laut. Harapannya supaya hasil tangkapan ikan semakin berlimpah setiap tahunnya. Akan tetapi, saat ini pelaksanaannya telah berubah dengan menaburkan tukik atau anak penyu, benih lobster dan lain-lainnya.
“Labuh saji yang dilakukan masyarakat nelayan untuk menebar benih supaya pelestarian alam teluk palabuhanratu terjaga dengan menabur tukik, benih lobster, atau benih-benih lainnya,” ucap Marwan Hamami saat perayaan Hari Nelayan 2024 lalu.
Dampak Positif Perubahan Ritual Pelaksanaan
Terkait perubahan dalam pelaksanaan upacara Labuh Saji tersebut, ternyata membawa dampak positif terhadap melimpahnya sumber daya alam laut. Hal ini tentunya juga berdampak terhadap kesejahteraan para nelayan sekitar yang meningkat drastis. Pernyataan ini diungkapkan Ketua Festival & Gelar Budaya Hari Nelayan ke 64 Palabuhanratu, Sep Radi Priadika.
Baca Juga: Sejarah Tradisi Padusan yang Lahir dari Tanah Jawa
“Tahun kemarin peningkatan sumber daya alam ikan itu lebih banyak. Tahun ini ikan yang sebelumnya tidak muncul, tahun ini muncul jadi banyak. Kita (di Sukabumi) ini kebanyakan jenis ikan pelagis, ikan yang di dasar. Jadi seperti ikan tongkol, layur, kakap, banyak yang bermunculan. Nelayan pun berbahagia ketika sumber daya alam melimpah,” tuturnya.
Kepala Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu Yusuf Fathanah juga mengungkapkan hal senada. Yusuf mengungkap terdapat kenaikan produksi ikan di Palabuhanratu. Menurut beliau hal ini menjadi bukti keberhasilan program ekonomi biru yang tengah pemerintah setempat lakukan melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan.
“Di tahun 2023 kita bisa mencapai angka 7.000 ton. Tahun sebelumnya kurang lebih 4.000 ton. Berarti ada kenaikan. Ini bisa dikatakan keberhasilan program pemerintah bahwa ternyata dengan adanya program ekonomi biru itu menghasilkan peningkatan produksi. Ekonomi biru prinsipnya adalah keberlanjutan perikanan, kelestarian sumber daya di laut,” terangnya.
Mitos yang Berkembang Terkait Upacara Labuh Saji
Upacara Labuh Saji sudah secara turun temurun oleh masyarakat Palabuhanratu lakukan untuk memberikan penghormatan kepada seorang puteri bernama Nyi Putri Mayang Sagara.
Alasannya karena ia telah memberikan perhatian besar kepada kesejahteraan nelayan di wilayah tersebut. Hal ini merupakan mitos yang menjadi dasar pelaksanaan ritual unik tersebut.
Kemudian mitos berkembang menyatakan, Nyai Putri Mayang Sagara adalah putri Raden Kumbang Bagus Setra dan Ratu Putri Purnamasari yang memerintah Kerajaan Dadap Malang di Sukabumi. Bagus Setra merupakan keturunan Kerajaan Pakuan (Bogor) yang telah meninggalkan kerajaan dan memilih menetap di Dadap Malang karena konflik internal.
Dalam proses syukuran nelayan tersebut, sepasang ayah dan putrinya tergambar sebagai Mayang Sagara dan Bagus Setra yang diarak dari Pendopo Kabupaten Sukabumi ke Dermaga Palabuhanratu. Mayang Sagara dan Bagus Setra yang naik delman akan menjadi pusat perhatian dari ribuan pengunjung dalam setiap perayaan tradisi tersebut.
Baca Juga: Masyarakat Adat Darmaraja Sumedang Lestarikan Tradisi Munggahan di Bendungan Jatigede
Demikian ulasan terkait upacara Labuh Saji di Palabuhanratu, Sukabumi, Jawa Barat. Ritual ini juga menandai wujud pelestarian ekosistem laut agar tidak punah. Eksistensinya kini menjadi kekayaan budaya sekaligus daya tarik wisata yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan di sekitarnya. (R10/HR-Online)