Sejarah uang di Indonesia mencerminkan dinamika dan tantangan dalam sistem moneter negara ini. Bermula dari alat barter hingga uang digital, Indonesia telah mengalami berbagai tahapan penting dalam perkembangan sistem keuangan. Berikut adalah ulasan lengkap tentang perjalanan uang di Indonesia dari zaman kerajaan hingga masa modern.
Baca Juga: Sejarah Hari Penerbangan Nasional dan Perjalanannya
Sejarah Uang di Indonesia: Perjalanan Panjang hingga Rupiah
Sebelum adanya uang kertas dan logam, masyarakat Indonesia pada zaman kerajaan menggunakan sistem barter untuk transaksi. Namun, ketika perdagangan dengan negara lain, terutama Tiongkok, semakin meluas, muncul penggunaan uang kepeng yang berbentuk koin bulat dengan lubang di tengahnya.
Uang ini memudahkan perdagangan karena penggunaannya bisa diikatkan dengan tali. Selain uang kepeng, beberapa kerajaan besar seperti Majapahit dan Sriwijaya juga menggunakan koin logam, perhiasan, dan bahkan beberapa benda berharga lainnya sebagai alat tukar.
Sistem barter tersebut kemudian perlahan-lahan tergantikan oleh uang logam karena lebih praktis dan bernilai standar.
Era Kolonial Belanda: VOC hingga Gulden Hindia Belanda
Dalam sejarah uang di Indonesia, pada abad ke-17, ketika VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) mulai menguasai wilayah Nusantara, sistem moneter pun mengalami perubahan besar. VOC memperkenalkan uang kertas pertama kali pada akhir abad ke-18.
Uang VOC tersebut berfungsi sebagai alat pembayaran resmi, terutama di wilayah perdagangan besar. Selain uang kertas, koin perak dan emas yang memiliki nilai tinggi juga beredar.
VOC mulai menggantikan sistem barter dengan mata uang resmi untuk mempermudah transaksi besar. Pada abad ke-19, setelah VOC dibubarkan, pemerintah kolonial Belanda mengambil alih kendali dan memperkenalkan Gulden Hindia Belanda sebagai mata uang resmi.
Masa Pendudukan Jepang: Gulden Jepang
Ketika Jepang menguasai Indonesia dari tahun 1942 hingga 1945, mereka memperkenalkan Gulden Jepang sebagai mata uang resmi yang menggantikan Gulden Hindia Belanda. Namun, masa ini diwarnai dengan hiperinflasi yang membuat nilai uang anjlok drastis. Sistem keuangan yang tidak stabil ini meninggalkan dampak besar setelah kemerdekaan.
Periode Kemerdekaan: Oeang Republik Indonesia (ORI)
Sejarah uang di Indonesia berikutnya, pada 30 Oktober 1946, setahun setelah kemerdekaan, Indonesia mengeluarkan Oeang Republik Indonesia (ORI) sebagai simbol kedaulatan ekonomi. ORI menjadi mata uang resmi pertama yang beredar luas di Indonesia.
Pada cetakan pertama, ORI senilai satu sen memiliki gambar keris pada bagian depan dan teks undang-undang di bagian belakangnya. ORI tidak hanya berfungsi sebagai alat pembayaran, tetapi juga simbol kemerdekaan Indonesia.
Namun, pemerintah mengalami berbagai tantangan dalam mendistribusikan ORI ke seluruh wilayah, terutama karena gangguan dari Belanda. Beberapa wilayah akhirnya menerbitkan mata uang sendiri yang bernama ORI Daerah atau ORIDA.
Pada 7 November 1945, Menteri Keuangan A.A. Maramis membentuk panitia khusus untuk pencetakan uang ORI, yang dipimpin oleh T.R.B. Sabaroedin dari Bank Rakyat Indonesia. Pada awal 1946, proses pencetakan uang ORI dimulai di Jakarta, tetapi kondisi keamanan yang tidak stabil memaksa proses ini dipindahkan ke beberapa daerah.
Peralihan ke Rupiah
Setelah pengakuan kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949 melalui Konferensi Meja Bundar, mata uang resmi kembali mengalami perubahan. Pada saat itu, Indonesia menjadi negara federal bernama Republik Indonesia Serikat (RIS), dan pemerintah mengeluarkan uang RIS sebagai mata uang resmi, menggantikan ORI.
Baca Juga: Sejarah Palang Merah Remaja Komitmen untuk Kemanusiaan
Namun, dengan kembalinya Indonesia ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada Agustus 1950, mata uang RIS tidak lagi berlaku. Kemudian Indonesia memperkenalkan Rupiah sebagai mata uang nasional.
Menteri Keuangan saat itu, Sjafruddin Prawiranegara, mengeluarkan kebijakan penyehatan keuangan yang terkenal sebagai “Gunting Sjafruddin” pada 1950. Kebijakan ini menggunting uang De Javasche Bank dan Hindia Belanda dengan nilai di atas f2,50 untuk mengendalikan inflasi dan membatasi peredaran uang asing yang berlebihan di masyarakat.
Bank Indonesia dan Monopoli Penerbitan Uang
Dalam sejarah uang di Indonesia, pada 1953, melalui Undang-Undang Pokok Bank Indonesia No.11/1953, Bank Indonesia mendapat wewenang untuk menerbitkan dan mengedarkan uang. Bank Indonesia pun menjadi satu-satunya lembaga yang memiliki hak tunggal untuk mencetak uang kertas dan logam di Indonesia.
Undang-Undang ini diperkuat lagi pada tahun 1968 dan 1999 yang mengamandemen hak tunggal Bank Indonesia dalam menerbitkan uang. Hal itu demi memastikan stabilitas moneter Indonesia dalam menghadapi tantangan ekonomi.
Era Modern: Redenominasi dan Uang Digital
Pada era modern, pemerintah dan Bank Indonesia menghadapi berbagai tantangan, termasuk inflasi dan peredaran uang palsu. Sejak awal 2010-an, pemerintah mencanangkan rencana redenominasi Rupiah untuk menyederhanakan nominal dan mempermudah transaksi. Walaupun belum terealisasikan, redenominasi tetap menjadi topik penting untuk meningkatkan efisiensi sistem keuangan.
Seiring dengan perkembangan teknologi, sistem pembayaran di Indonesia juga mulai beralih ke digital. Uang elektronik (e-money) dan pembayaran melalui aplikasi mobile semakin populer dan menjadi alternatif transaksi harian, khususnya di kota-kota besar.
Dengan kemajuan teknologi dan digitalisasi, sistem keuangan di Indonesia kemungkinan akan terus berkembang, menghadirkan berbagai bentuk uang yang semakin canggih dan efisien.
Baca Juga: Sejarah dan Cara Memperingati Hari Museum Nasional
Perjalanan sejarah uang di Indonesia mencerminkan perubahan sosial, politik, dan ekonomi yang signifikan. Mulai dari barter, penggunaan koin, masa penjajahan dengan gulden, hingga rupiah modern, uang selalu menjadi bagian penting dari kehidupan sehari-hari dan simbol kedaulatan negara. Perkembangan ini menunjukkan adaptasi dan inovasi yang terus berlangsung dalam sistem moneter Indonesia seiring perubahan zaman. (R10/HR-Online)