Sejarah Kampung Arab di Puncak Bogor, Jawa Barat tak lepas dari fenomena adanya perkampungan Arab di Indonesia. Fenomena tersebut sebenarnya bukanlah hal yang baru. Sejak lama bahkan sebelum penjajahan Belanda di bumi Nusantara bangsa-bangsa Arab di Timur Tengah melakukan aktivitas perdagangan ke Nusantara.
Perdagangan yang dilakukan pada akhirnya tidak hanya berkaitan dengan hubungan secara ekonomi, melainkan juga sampai pada hubungan pernikahan.
Fenomena inilah yang membuat bermunculannya perkampungan arab yang terkonsentrasi di berbagai daerah di Indonesia.
Namun, terdapat fenomena unik jika kita melihat kampung Arab yang ada di Cisarua, Bogor. Kemunculan kampung Arab ini sendiri dianggap sebagai bentuk dari meningkatnya kunjungan turis dari Timur Tengah di daerah Cisarua, Bogor.
Meskipun, beberapa pihak menilai penamaan kampung Arab itu tidaklah tepat, tetapi faktanya pelabelan tersebut melekat hingga hari ini.
Baca Juga: Sejarah Candi Songgoriti, Candi Tertua di Jawa Timur
Sejarah Awal Kampung Arab di Puncak Bogor
Mengutip dari “Fenomena Kawin Kontrak di Kawasan Puncak Bogor” (2016), Kampung Arab yang berada di Kawasan Warung Kaleng, Desa Tugu Selatan dan Tugu Utara mulai banyak didatangi oleh orang-orang dari Timur Tengah pada tahun 1980-an.
Kemunculan istilah Kampung Arab ini sendiri berkaitan erat dengan kedatangan orang-orang dari Timur Tengah tersebut. Kedatangan mereka sebenarnya berkaitan erat dengan motif berwisata.
Namun, seiring berjalannya waktu kawasan tersebut tidak hanya berkembang menjadi kawasan wisata, melainkan juga tempat bagi orang-orang Timur Tengah ini melakukan kawin kontrak.
Kemunculan istilah kawin kontrak ini sendiri mulai terdengar pada sekitar tahun 1987. Pada awalnya istilah itu berawal dari orang-orang Timur Tengah yang melakukan nikah mut’ah atau yang dikenal juga dengan kawin kontrak.
Kawin kontrak dapat diartikan sebagai perkawinan yang dilakukan dalam jangka waktu tertentu. Perkawinan ini sendiri berjangka waktu tergantung kesepakatan antara kedua belah pihak.
Fenomena mengenai kawin kontrak ini sendiri sebenarnya bukan hal yang baru di tanah Arab. Pada awalnya hal ini memang sempat diperbolehkan, walaupun pada akhirnya resmi diharamkan.
Perkembangan kawin kontrak di kawasan puncak Bogor ini sempat memuncak pada sekitar tahun 2007 hingga 2008. Namun sekitar tahun 2010 justru jadi pemicu protes dari berbagai pihak.
Masyarakat lokal di kawasan Cisarua, Bogor sebenarnya keberatan dengan istilah Arab. Banyak pihak menilai termasuk budayawan dari Cisarua istilah Kampung Arab di Puncak Bogor ini tidaklah tepat.
Penyebutan istilah Kampung Arab ini juga sebenarnya terlihat dari banyaknya toko yang berjualan barang-barang khas Arab lengkap dengan tulisan-tulisannya.
Meskipun memberikan kontroversi dalam perkembangannya, kawasan ini terbukti mengalami perkembangan yang signifikan berkaitan dengan perekonomian.
Arus masuknya turis-turis dari Timur Tengah ini pada akhirnya juga membawa turis-turis dari kawasan lain seperti Iran hingga Pakistan. Alhasil tidak hanya kawasan pertokoan yang berkembangan melainkan juga jasa-jasa seperti ojek, sewa villa hingga pemukiman lainnya.
Sindrom Cinderella Complex
Mengutip dari “Sebab Kita Semua Gila Seks” (2021), maraknya fenomena kawin kontrak ini sebenarnya akibat sindrom Cinderella Complex.
Sindrom ini digambarkan sebagai anak perempuan yang sejak kecil dibayang-bayangi kalau dalam hidupnya akan bertemu dengan sosok “pangeran”.
Baca Juga: Sejarah Raden Gagar Manik, Konon Jasadnya Masih Utuh
Sosok ksatria berjubah putih dengan pedangnya ini akan menyelamatkan hidupnya dari kondisinya yang penuh dengan permasalahan. Oleh karena itulah, seorang perempuan merasa bahwa bergantung hidup pada orang lain merupakan solusi bagi kehidupannya.
Kondisi ini yang membuat maraknya fenomena kawin kontrak di kawasan Kampung Arab Cisarua, Bogor. Mereka yang terlibat dalam kawin kontrak melihat bahwa melalui perkawinan yang mereka lakukan inilah kebutuhan mereka dapat terpenuhi.
Meningkatnya kasus ini juga sebenarnya menjadi gambaran betapa kerasnya kehidupan bagi para perempuan yang berjuang memenuhi kebutuhan hidupnya.
Stigma yang melekat bagi para pengidap sindrom cinderella complex ini menyebabkan mereka mau tidak mau bergantung dari perkawinan kontrak yang mereka lakukan.
Menurut studi, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan mereka melakukan kontrak. Mulai dari rendahnya tingkat pendidikan yang berimplikasi pada tingkat perekonomian yang rendah.
Alhasil, kawin kontrak ini menjadi cara singkat dan mudah bagi mereka untuk mendapatkan sumber pemasukan dan kehidupan yang lebih layak. Termasuk para perempuan yang tinggal di Kampung Arab Puncak Bogor.
Komodifikasi Perempuan
Buruknya lagi fenomena mengenai maraknya kawin kontrak ini memicu komodifikasi terhadap tubuh perempuan.
Mengutip dari “Perempuan Saudagar Pengkang; Dari Sabuk Khatulistiwa” (2019), Komodifikasi sendiri berarti proses meng-kapital-kan atau menjadi nilai jual dari unsur-unsur tertentu.
Proses inilah yang terjadi bagi para perempuan yang terlibat dalam kawin kontrak. Untuk mendapatkan klien, para germo akan menjajakan para perempuan ini.
Proses kawin kontrak pun tidaklah terlalu rumit. Laki-laki yang akan melangsungkan pernikahan cukup datang ke rumah perempuan. Kemudian keduanya melakukan akad nikah bersama dengan penghulu, saksi, dan wali yang biasanya hanyalah wali pura-pura.
Tidak ada syarat tambahan untuk melaksanakan kawin kontrak ini, seorang laki-laki cuma wajib membawa syarat mahar. Tentu saja, pihak germo yang menjajakan perempuan ini akan mendapatkan bagian tersendiri dalam prosesnya.
Pada akhirnya fenomena yang melibatkan para germo, hingga penghulu ini lagi-lagi menjadikan pihak perempuan sebagai korban.
Mereka seolah-olah membuat identitas perempuan menjadi samar dan lemah sehingga memunculkan praktek kapitalisme yang berulang-ulang.
Baca Juga: Tradisi Haul dan Keraton Sejarah Pangeran Sutajaya Gebang
Istilah yang tepat untuk fenomena ini sebenarnya prostitusi ketimbang kawin kontrak. Karena pada kenyataannya perempuan menjadi pihak yang dijajakan kepada orang-orang yang datang ke kawasan Kampug Arab, Cisarua Bogor tersebut. (Azi/R7/HR-Online/Editor-Ndu)