Sejarah TB Simatupang bermula dari kota kecil Sidikalang, Sumatera Utara, tempat ia lahir pada 28 Januari 1920. Sejak masa mudanya, TB Simatupang menunjukkan kecerdasan dan keteguhan hati.
Ia menyelesaikan pendidikan dasar di Sidikalang, lalu melanjutkan sekolah menengah di Tarutung dan Jakarta. Di Algemeene Middelbare School (AMS) Jakarta, ia terkenal sebagai murid cerdas dan penuh semangat.
Baca Juga: Kisah Eksekusi SM Kartosuwiryo 12 September 1962: Ngekos Bareng Soekarno, Berakhir Jadi Musuh Negara
Di masa remaja, TB Simatupang tidak hanya mengembangkan intelektualnya, tetapi juga mengasah pemikiran kritisnya. Ketika seorang gurunya merendahkan kemampuan bangsa Indonesia, Simatupang tidak tinggal diam. Ia mempertahankan harga diri bangsanya dan memilih untuk meninggalkan kelas, menunjukkan ketegasan pendiriannya.
Sejarah TB Simatupang di Militer
Pada tahun 1941, Simatupang melanjutkan pendidikannya di Koninklijke Militaire Academie (KMA) Bandung. Di akademi ini, ia berjumpa dengan tokoh-tokoh penting seperti Jenderal Abdul Haris Nasution. Pendidikan militer ini membekali Simatupang dengan keahlian teknis di bidang zeni. Hal ini menjadi pondasi kuat dalam karier militer yang gemilang.
Setelah lulus dari KMA, TB Simatupang mulai berperan dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Saat Jepang menduduki Indonesia, ia tetap bertekad untuk membela Tanah Air. Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tahun 1945, ia bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR), cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Karir TB Simatupang menjadi semakin gemilang ketika ia ikut serta dalam gerilya bersama Panglima Besar Jenderal Soedirman. Gerakan gerilya ini berlangsung pada masa Revolusi Nasional melawan pasukan Belanda.
TB Simatupang terkenal atas keahliannya dalam manajemen dan militer. Inilah yang menjadikannya diangkat sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan Perang (WKSAP) pada tahun 1948.
Salah satu momen penting dalam sejarah TB Simatupang adalah keterlibatannya dalam delegasi Indonesia pada Konferensi Meja Bundar (KMB). Keterlibatannya ini menunjukkan peran strategisnya dalam perjuangan diplomasi Indonesia untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan.
Pada tahun 1950, setelah wafatnya Jenderal Soedirman, TB Simatupang menjadi Kepala Staf Angkatan Perang Republik Indonesia (KSAP). Jabatan ini membuatnya berada di puncak kepemimpinan militer Indonesia. Simatupang memegang tanggung jawab besar dalam merumuskan kebijakan militer Indonesia di era awal kemerdekaan.
Sebagai KSAP, ia memimpin usaha rasionalisasi dan profesionalisasi angkatan bersenjata. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas militer Indonesia, namun tidak selalu disambut baik oleh semua pihak. Perbedaan pendapat antara TB Simatupang dan Presiden Sukarno pun mulai muncul.
Perselisihan dengan Presiden Soekarno
Salah satu titik penting dalam sejarah TB Simatupang adalah perselisihannya dengan Presiden Sukarno. Peristiwa 17 Oktober 1952 menjadi awal dari perpecahan ini. Pada masa itu, terjadi demonstrasi besar-besaran yang meminta pembubaran parlemen.
Meskipun TB Simatupang tidak secara langsung terlibat, namanya tetap terseret dalam kontroversi tersebut. Simatupang juga menolak permintaan Soekarno untuk memecat Kolonel AH Nasution, yang kala itu menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat.
Baca Juga: Kisah Raja Jawa Amangkurat I, Tiran hingga Membantai Para Ulama
Penolakan ini memperburuk hubungannya dengan presiden. Pada tahun 1953, jabatan KSAP dihapus, dan TB Simatupang beralih menjadi Penasihat Militer di Departemen Pertahanan. Namun, ia akhirnya memilih untuk pensiun dini pada tahun 1959.
Pengabdian di Luar Militer
Setelah pensiun, TB Simatupang tidak berhenti mengabdi pada bangsa dan negara. Ia aktif dalam kegiatan keagamaan, terutama dalam organisasi Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) dan Dewan Gereja-Gereja se-Asia. Selain itu, ia juga menulis beberapa buku yang berkaitan dengan sejarah perjuangan militer Indonesia.
Buku pertamanya, Laporan dari Banaran, mengisahkan pengalamannya selama masa Revolusi Kemerdekaan. Melalui karyanya, sejarah TB Simatupang turut serta dalam membekali generasi muda dengan nilai-nilai perjuangan. Kecintaannya terhadap dunia literasi membuktikan bahwa pengabdian seorang pahlawan tidak terbatas pada medan perang.
Pengakuan sebagai Pahlawan Nasional
Setelah melalui perjalanan panjang dalam karier militer dan pengabdian, TB Simatupang menerima gelar pahlawan nasional pada tahun 2013. Gelar ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berikan sebagai pengakuan atas jasa-jasanya dalam memperjuangkan kemerdekaan dan membangun fondasi militer Indonesia.
Nama TB Simatupang diabadikan sebagai nama jalan di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan. Ini adalah simbol penghormatan dari negara atas dedikasi dan pengorbanannya. TB Simatupang tidak hanya mengajarkan tentang perjuangan militer, tetapi juga tentang keteguhan hati seorang pemimpin.
Sejarah TB Simatupang menunjukkan bahwa ia juga seorang pemikir. Pemikirannya tentang profesionalisasi militer telah meninggalkan jejak yang mendalam. Program rasionalisasi yang ia inisiasi bertujuan untuk menciptakan angkatan bersenjata yang memiliki kedisiplinan dan berintegritas.
Visi ini menunjukkan bahwa TB Simatupang memiliki pandangan jauh ke depan tentang peran militer dalam negara modern. Ia percaya bahwa militer harus berfungsi sebagai penjaga kedaulatan tanpa terlibat dalam politik praktis. Ide-idenya tetap relevan hingga saat ini.
Baca Juga: Kisah Sutan Syahrir Memilih Tidur saat Proklamasi Kemerdekaan
Sejarah TB Simatupang mencerminkan sosok yang penuh dedikasi terhadap bangsa dan negaranya. Pandangannya yang kuat terhadap profesionalisme militer membuatnya dihormati, meskipun menghadapi banyak tantangan. Sebagai generasi penerus, kita dapat mengambil banyak pembelajaran berharga dari seorang TB Simatupang. (R10/HR-Online)