Hingga kini, sejarah Sekaten Solo terus menarik perhatian masyarakat lokal dan wisatawan. Sekaten merupakan salah satu tradisi tertua yang masih lestari di Keraton Solo. Perayaan ini tidak hanya sebatas peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, tetapi juga simbol penting dari sejarah penyebaran Islam di Jawa.
Baca Juga: Kisah Raja Jawa Amangkurat I, Tiran hingga Membantai Para Ulama
Acara ini pertama kali ada pada abad ke-15. Awalnya, para Wali Songo menggunakan acara ini sebagai media dakwah yang memadukan agama dengan kesenian Jawa.
Sejarah Sekaten Solo, Tradisi yang Masih Lestari
Sekaten berasal dari kata Arab “syahadatain,” yang berarti dua kalimat syahadat. Dua kalimat ini menjadi inti dari ajaran Islam dan simbol keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya. Wali Songo, khususnya Sunan Kalijaga, menggunakan acara ini untuk menarik perhatian masyarakat yang masih kental dengan budaya Hindu-Buddha.
Mereka memanfaatkan seni gamelan sebagai alat untuk mendekatkan ajaran Islam. Dengan pendekatan seni ini, Sekaten Solo tidak hanya tentang agama, tetapi juga tentang penyatuan budaya lokal.
Salah satu unsur utama dalam tradisi Sekaten adalah adanya gamelan. Gamelan yang ada dalam upacara ini memiliki nama khusus, yakni Kyai Guntur Sari dan Kyai Guntur Madu. Menjelang puncak acara Grebeg Maulud, kedua gamelan ini dimainkan secara bergantian selama satu minggu penuh.
Suara gamelan mengiringi lantunan shalawat sebagai simbol pujian kepada Nabi Muhammad. Musik gamelan ini juga masyarakat anggap memiliki kekuatan magis yang dapat menenangkan hati dan jiwa. Keunikan ini menjadikan sejarah Sekaten Solo lebih kaya dengan nilai budaya dan spiritual.
Peran Wali Songo dalam Perkembangan Sekaten
Wali Songo memainkan peran besar dalam menyebarkan Islam melalui tradisi Sekaten. Para Wali selalu menggunakan pendekatan yang halus dalam penyebaran islam dan juga tidak memaksa. Seni dan budaya lokal bergabung dengan ajaran Islam untuk menarik hati masyarakat Jawa.
Salah satu contohnya adalah penggunaan gamelan, yang pada masa itu sangat masyarakat gemari. Gamelan berguna sebagai alat untuk memperkenalkan syahadat dan ajaran Islam.
Pendekatan ini berhasil menyebarkan Islam tanpa konflik. Ini membuat sejarah Sekaten Solo sangat masyarakat hargai dalam sejarah penyebaran agama di Indonesia.
Puncak Perayaan Sekaten: Grebeg Maulud
Puncak dari rangkaian acara Sekaten adalah Grebeg Maulud. Pada hari tersebut, dua gunungan besar, yaitu Gunungan Kakung dan Gunungan Putri, diarak dari Keraton menuju Masjid Agung. Gunungan ini terdiri dari hasil bumi seperti padi, sayuran, dan buah-buahan, yang melambangkan kemakmuran.
Baca Juga: Sejarah Hari Raya Galungan, Perayaan Keagamaan Umat Hindu
Masyarakat berbondong-bondong untuk mendapatkan bagian dari gunungan tersebut karena masyarakat yakini akan membawa berkah. Acara ini menjadi simbol kesatuan antara keraton, agama, dan masyarakat. Grebeg Maulud juga menjadi penutup sempurna dari rangkaian panjang Sekaten Solo.
Makna Filosofis Sekaten
Sekaten tidak hanya memiliki makna historis, tetapi juga filosofis yang dalam. Kata “sekati” dalam bahasa Jawa berarti seimbang, yang merujuk pada kehidupan yang harus kita jalani dengan bijaksana. Seseorang harus mampu menimbang antara kebaikan dan keburukan dalam setiap tindakan.
Filosofi ini menunjukkan bahwa sejarah Sekaten Solo tidak hanya berkaitan dengan perayaan keagamaan, tetapi juga ajaran moral yang mendalam. Dalam konteks Islam, hal ini merujuk pada pentingnya syahadat sebagai dasar keyakinan yang menuntun manusia pada jalan yang benar.
Uniknya, Sekaten telah menjadi simbol keberagaman budaya di Solo. Meskipun berakar dari ajaran Islam, perayaan ini masyarakat dari berbagai latar belakang terima dengan baik. Tidak hanya umat Islam yang merayakan, tetapi juga masyarakat umum yang datang untuk menikmati pasar malam dan acara hiburan.
Sekaten sebagai Warisan Budaya
Acara sekaten kini telah diakui sebagai salah satu warisan budaya di Indonesia. Tradisi ini bukan hanya peringatan agama, tetapi juga pengingat akan pentingnya menjaga warisan budaya leluhur. Setiap tahunnya, pemerintah dan masyarakat Solo bekerja sama untuk melestarikan tradisi ini.
Dengan begitu, Sekaten Solo tetap hidup dan ada hingga generasi mendatang. Nilai-nilai yang terkandung dalam perayaan ini, seperti kebersamaan, toleransi, dan keimanan, terus menjadi landasan bagi masyarakat untuk menjaga kearifan lokal.
Baca Juga: Sejarah Kebo Bule Surakarta, Perayaan Malam 1 Suro
Sejarah Sekaten Solo menjadi cerminan toleransi agama dan perpaduan budaya yang menarik. Tradisi ini terus berkembang, dari yang awalnya sebagai strategi dakwah hingga menjadi acara tahunan yang masyarakat nantikan. Masyarakat Solo dan sekitarnya menjadikan Sekaten sebagai simbol penting dalam kehidupan sosial dan spiritual mereka. Warisan ini tidak hanya memperkaya budaya, tetapi juga memperkuat rasa kebersamaan di tengah masyarakat. (R10/HR-Online)