Sejarah ekspor pasir laut akhir-akhir ini menjadi salah satu topik perbincangan hangat. Hal ini karena pemerintah Indonesia membuka kembali perizinan ekspor pasir laut.
Kebijakan yang sudah ada sejak masa Orde Baru ini diketahui sempat ditutup pada masa pemerintahan Presiden Megawati.
Perizinan yang dilakukan ini dalam rangka memenuhi kebutuhan Singapura, tetapi pada masa pemerintahan Presiden Megawati kebijakan ini dihentikan karena merugikan.
Kerugian yang ditanggung sebenarnya berkaitan dengan lingkungan yang rusak akibat pengerukan secara terus-menerus.
Baca Juga: Sejarah Misi Kebudayaan Lekra ke Tiongkok 26 September 1963
Sejarah Ekspor Pasir Laut Dimulai Masa Orde Baru
Kabar mengenai ekspor pasir laut akhir-akhir ini menjadi semakin serius. Meskipun pemerintah Indonesia menyatakan, yang diekspor merupakan sedimentasi laut, tetapi banyak pihak yang menilai pernyataan tersebut hanyalah bentuk pengalihan semata.
Pasalnya, di dalam sedimentasi laut tersebut selain terdapat lumpur, juga terdapat pasir laut.
Sebenarnya kebijakan mengenai ekspor pasir laut ini sudah ada sejak masa Orde Baru. Kebijakan yang dilakukan kala itu bermula dari pengerukan laut sebagai upaya untuk mencegah pendangkalan laut di Kepulauan Riau.
Kebijakan yang awalnya bertujuan mencegah pendangkalan laut ini kemudian berkembang menjadi ekspor pasir laut.
Erry Ricardo Nurzal dalam, “Upaya Penanganan Pasir Laut dari Sisi Kebijakan” (2004), menyebut, negara yang menjadi tujuan ekspor kala itu adalah Singapura. Pemerintah Singapura memang gencar melakukan upaya untuk memperluas daratan dengan cara membuat daratan-daratan baru.
Proyek reklamasi yang dilakukan oleh pemerintah Singapura ini memang membutuhkan pasir laut yang tidak sedikit.
Kebijakan ini pada akhirnya menimbulkan dampak buruk yang tak sedikit. Salah satu dampak tersebut adalah kerusakan lingkungan laut yang tak terhindarkan.
Ekosistem laut menjadi rusak akibat pengerukan pasir laut yang berlebihan. Dampak lainnya akibat kerusakan ekosistem ini adalah berkurangnya hasil tangkapan ikan yang berujung pada keterpurukan masyarakat.
Pengerukan berlebihan juga berdampak pada harga jual pasir laut yang pada akhirnya akan menurun. Sehingga tidak ada yang tersisa selain kerugian bagi Indonesia.
Selama masa Orde Baru memang pengurusan penambangan laut ini sempat berpindah-pindah mulai dari Departemen Pertambangan dan Energi kemudian pindah ke Otorita Batam dan pindah lagi ke Departemen Pertambangan dan Energi hingga pindah ke pemerintahan daerah kala itu.
Kepindahan kebijakan pengolahan ke tangan Pemerintah Daerah ini diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 1992 tentang Pemerintahan Daerah. Peraturan memberikan kewenangan sepenuhnya bagi pemerintah daerah untuk mengeksplorasi, eksploitasi hingga pengelolaan sumber daya alam di kawasan daerahnya.
Baca Juga: Kisah Orang Sunda Jadi Gubernur Jakarta Kontroversial, Dijuluki Gubernur Maksiat
Larangan Ekspor Pasir Laut pada Era Megawati
Kebijakan ekspor pasir laut yang amat merugikan negara inilah yang menginisiasi pelarangan terhadap ekspor pasir laut.
Kebijakan yang berlaku pada masa Presiden Megawati ini tertuang dalam Instruksi presiden republik Indonesia Nomor 2 tahun 2002 Tentang Pengendalian penambangan pasir laut.
Mengutip dari peraturan ini, pertimbangan Pemerintahan Indonesia kala itu dalam mengendalikan penambangan pasir laut adalah untuk memperhatikan kelestarian ekosistem di wilayah penambangan pasir laut.
Menurut pemerintah kala itu, diperlukan adanya keselarasan antara kepentingan pembangunan nasional dengan kegiatan pertambangan yang dilakukan.
Tidak main-main, kebijakan ini pun memberikan instruksi kepada menteri, mulai dari Menteri Dalam Negeri, Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Kehutanan, Menteri Negara Lingkungan Hidup, Panglima Tentara Nasional Indonesia, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Para Gubernur, dan Para Bupati.
Melihat instruksi yang diberikan langsung oleh Presiden Megawati ini menandai betapa seriusnya pemerintah dalam menangani permasalahan ini.
Tak hanya itu, hal ini juga menandai bahwa kebijakan yang pernah diberlakukan sejak masa Orde Baru ini memberikan dampak kerusakan yang luar biasa.
Larangan mengenai ekspor pasir laut ini pun kembali ditekankan pada masa Pemerintahan Presiden SBY. Salah satu hal yang menjadi pertimbangan kala itu adalah wilayah Batam yang semakin tenggelam karena abrasi pantai dan pengerukan pasir laut.
Dibuka Kembali Era Jokowi
Meskipun fakta sejarah sudah menjabarkan kerusakan dan dampak yang terjadi apabila meneruskan kebijakan ekspor pasir laut, pemerintah seakan tak peduli.
Pernyataan pemerintah mengenai sedimentasi laut, seolah-olah hanyalah sebatas eufemisme pemerintah.
Pemerintah seolah-olah kehabisan akal dalam mencari sumber pemasukan lain bagi pendapatan daerah.
Kebijakan yang mengizinkan untuk pengeksporan pasir laut ini sendiri tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
Menurut peraturan ini kegiatan pengambilan sedimentasi laut ini dapat dilakukan oleh para pelaku usaha baik perorangan maupun badan usaha tertentu.
Pada pasal 9 ayat 2, dijelaskan bahwa tujuan dari pemanfaatan sedimentasi laut ini adalah untuk reklamasi di dalam negeri, pembangunan infrastruktur pemerintahan hingga keperluan ekspor.
Meskipun, memiliki tujuan yang berdampak baik, tidak bisa dipungkiri penyelewengan hingga kerusakan ekosistem yang dihasilkan tidaklah sedikit.
Tak hanya itu, potensi penambangan secara berlebihan juga akan berdampak buruk bagi para nelayan hingga kawasan wisata di sekitarnya.
Baca Juga: Kilang Minyak Tertua di Indonesia, Simak Sejarahnya
Selain itu, sejak masa Orde Baru telah nampak kerusakan dan dampak buruk yang terjadi melalui kebijakan ekspor pasir laut ini. Sehingga tidak ada alasan lagi bagi pemerintah untuk menerapkan kebijakan ini. (Azi/R7/HR-Online/Editor-Ndu)