harapanrakyat.com,- Hutan Adat Wonosadi, di sisi utara Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, menjadi saksi bisu atas ketekunan dan dedikasi warga setempat. Khususnya, dalam menjaga kelestarian lingkungan.
Salah satu sosok yang tak tergantikan dalam upaya menjaga kelestarian lingkungan ini adalah Sri Hartini (56). Perempuan tangguh yang tanpa pamrih menjaga ekosistem Hutan Adat Wonosadi yang berlokasi di Dusun Duren, Desa Beji, Kecamatan Ngawen, Gunungkidul.
Dalam upayanya, Sri bukan hanya sekedar membersihkan daun kering dan ranting yang berserakan. Tetapi juga, memastikan tidak ada gangguan dari pencuri kayu yang dapat merusak hutan.
“Sampah-sampah daun kering saya timbun untuk menjadi pupuk bagi tanaman di sini,” ujar Sri dengan semangat, pekan lalu di Gunungkidul.
Namun, di balik aktivitas kesehariannya, ada kisah yang jarang terdengar tentang bagaimana hutan ini kembali hijau. Terutama, setelah hampir gundul akibat pembalakan liar pada tahun 1965-1966.
Baca juga: Raffi Ahmad Bangun Beach Club, Resor, dan Villa di Gunungkidul
Penanaman Kembali Hutan Adat Wonosadi
Adalah Sudiyo, ayahanda Sri, yang memulai inisiatif penanaman kembali hutan Adat Wonosadi meski dihadapkan pada cemoohan warga. Kini, hasil jerih payah Sudiyo dan warga sekitar terlihat dari keberadaan mata air yang tidak pernah kering, bahkan saat kemarau.
Sebagai salah satu kawasan konservasi penting di Gunungkidul, Hutan Adat Wonosadi tidak hanya menjadi sumber kehidupan bagi warga sekitar. Tetapi juga, menjadi rumah bagi berbagai flora dan fauna.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gunungkidul, Harry Sukmono, menyatakan bahwa partisipasi masyarakat dalam menjaga hutan ini sangat vital. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Gunungkidul telah memberikan dukungan dengan berbagai pelatihan dan infrastruktur untuk mendukung pelestarian hutan tersebut.
Namun, Hutan Adat Wonosadi bukan sekadar tempat konservasi. Hutan ini juga merupakan pusat kebudayaan lokal yang masih dijaga dengan teguh. Setiap tahun, warga melaksanakan upacara adat Sadranan di Lembah Ngenuman, yang sekaligus menjadi bentuk syukur atas hasil panen.
Kesenian tradisional Rinding Gumbeng, yang dimainkan oleh warga Dusun Duren, juga menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi ini.
Meski usia terus bertambah, Sri tetap bersemangat melanjutkan perjuangan ayahnya. Bersama kelompok Jagawana, ia kini berfokus pada regenerasi dengan membentuk kelompok Satrio Bumi yang beranggotakan anak-anak muda. Harapannya, generasi penerus ini akan terus menjaga kelestarian Hutan Adat Wonosadi dan melestarikan adat serta budaya yang ada di dalamnya. (Feri Kartono/R8/HR Online/Editor Jujang)