Istana Negara Indonesia yang berada di Jakarta akhir-akhir ini kembali menjadi sorotan. Hal itu bermula dari ucapan Presiden Jokowi yang menyebut bahwa Istana Negara yang berada di Jakarta dan Bogor berbau kolonial.
Baca Juga: Pesanggrahan Menumbing dan Wisma Ranggam, Saksi Bisu Sejarah Indonesia
Tentu saja pernyataan ini mengejutkan banyak pihak. Terdapat indikasi pula bahwa ucapan tersebut sebagai bentuk promosi Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kalimantan Timur yang akan segera selesai.
Memang kedua bangunan yang menjadi tempat tinggal presiden Indonesia itu merupakan bangunan yang sudah ada sejak zaman Belanda.
Bangunan Istana Negara di Jakarta pada awalnya merupakan rumah kediaman dari Jacob Andries van Braam yang merupakan mantan Residen Belanda untuk Surakarta.
Merangkum dari berbagai sumber, tulisan ini akan mengulas tentang sejarah Istana Negara di Jakarta, dari fungsi hingga gaya arsitektur bangunan.
Sejarah Istana Negara Indonesia, Bangunan Peninggalan Zaman Belanda
Mengutip dari buku berjudul “Dari Lorong-lorong Istana Presiden” (2019), gedung besar Istana Negara ini dulunya adalah rumah kediaman Jacob Andries van Braam. Ia membangunnya pada pada tahun 1796.
Statusnya sebagai seorang mantan Residen Surakarta membuatnya berhasil mengumpulkan banyak kekayaan. Meskipun sumber kekayaan tersebut tidak dijelaskan secara gambling berasal dari mana.
Hasil dari kekayaan itu salah satunya ia gunakan untuk membangun gedung dua lantai yang menghadap deretan rumah dan toko kecil di sepanjang Sungai Ciliwung, Jakarta.
Baca Juga: Sejarah Hari Pramuka 14 Agustus, Tokoh Penting hingga Kontribusi Pramuka bagi Indonesia
Ketika Inggris berkuasa di Hindia Belanda, rumah milik Jacob van Braam ini menjadi salah satu rumah yang diambil alih oleh Raffles.
Perubahan kekuasaan di Hindia Belanda membuat rumah tersebut juga seringkali mengalami pergantian kepemilikan. Ketika Hindia Belanda kembali ke tangan Belanda, rumah ini dinamai dengan Der Nederlanden.
Bangunan tersebut kala itu berfungsi sebagai kediaman Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Hal inilah yang membuat bangunan ini juga dijuluki sebagai Hotel Gubernur Jenderal.
Memang pada awalnya bangunan ini dibuat bertingkat dua. Perubahan terjadi ketika tahun 1848, bagian atasnya diruntuhkan dan dibuat lebih lebar pada sisi bagian depannya.
Tak hanya itu, pada bagian kiri dan kanannya dibangun pula bangunan untuk menampung para kusir dan ajudan Gubernur Jenderal kala itu.
Ketika Hindia Belanda jatuh ke tangan Jepang, banyak bangunan-bangunan Pemerintah Hindia Belanda yang menjadi tempat tinggal petinggi militer.
Sama halnya dengan bangunan Istana Negara Indonesia lainnya, seperti Istana Bogor yang juga menjadi lokasi dan markas bagi petinggi militer Jepang.
Pasca kemerdekaan Indonesia, bangunan tersebut menjadi tempat dan saksi sejarah atas penandatanganan naskah Perjanjian Linggarjati.
Fungsi Istana Negara
Ketika Indonesia merdeka, fungsi bangunan ini sebenarnya cukup jauh berubah. Jika pada masa pendudukan Belanda lebih berfungsi sebagai kediaman pribadi, maka pada masa Indonesia merdeka bangunan ini lebih berfokus untuk acara formal.
Mengutip dari laman resmi Sekretariat Negara, Istana Negara Indonesia di Jakarta menjadi lokasi untuk kegiatan-kegiatan seperti pelantikan pejabat negara, pembukaan rakernas, kongres nasional hingga internasional, dan tempat penjamuan tamu kenegaraan.
Tak hanya itu, Istana Negara juga menjadi tempat bagi Presiden Indonesia melakukan kegiatannya sehari-hari sebagai presiden dan berkantor di sana.
Baca Juga: Museum Pos Indonesia, Wisata Sejarah dan Edukasi di Bandung
Ketika momen-momen peringatan hari besar seperti 17 Agustus, maka Istana Negara ini menjadi tempat pelaksanaan upacara hingga jamuan tamu negara.
Selain sebagai tempat upacara resmi, Istana Negara juga berfungsi untuk kegiatan kesenian tradisional dari berbagai daerah yang ada di Indonesia.
Bangunan yang kental dengan sejarah dan budaya ini membuat tempat tersebut sangat cocok untuk berbagai kegiatan kesenian.
Gaya Arsitektur Bangunan
Jika melihat Istana Negara Indonesia yang ada di Jakarta, maka kesan gaya Yunan sangat kental pada bangunan tersebut. Bangunan ini menonjolkan 14 tiang utama atau saka.
Jika melihat dari gaya bangunannya, maka kesan pertama yang akan terlihat adalah bangunan ini memakai gaya Palladio.
Mengutip dari “Menyelisik Museum Istana Kepresidenan Jakarta” (2020), gaya arsitektur Palladio merupakan kebangkitan dari gaya arsitektur Klasisisme yang dikembangkan di Yunani.
Nama Palladio sendiri diambil dari nama arsitek Italia abad ke-16 yang bernama lengkap Andrea Palladio. Ia menciptakan bangunan-bangunan dengan gaya Yunani dan Romawi kuno di Venesia.
Kesan yang ditampilkan pada bangunan Palladio biasanya terkesan kokoh dan anggun. Sifat ini merujuk pada mereka yang tinggal di dalamnya.
Bangunan Istana Negara Indonesia ini mirip dengan gaya bangunan dari Istana Merdeka yang juga memiliki gaya arsitektur Palladio.
Pada bagian depan Istana Negara dihiasi dengan serambi yang bagian depannya ditutup dengan pagar. Kemudian pada sisi kiri dan kanan dicapai dengan dua anak tangga.
Secara umum bangunan ini sebenarnya hanya terdiri dari dua balairung besar, yaitu Ruang Upacara dan Ruang Jamuan. Dua balairung inilah yang menjadi lokasi untuk kegiatan upacara kenegaraan dan pelantikan, serta penjamuan bagi tamu negara.
Kemudian, pada bagian ruang depan ada koridor yang digunakan untuk mencapai ruang jamuan. Di sisi-sisi koridor ini terdapat ruang-ruang khusus.
Baca Juga: Sejarah Rumah Belanda di Indonesia Lengkap dengan Ciri Khasnya
Jika melihat sisi Timur, maka akan tampak ruang kerja presiden yang diapit oleh sebuah meja kerja besar, satu kursi presiden, dan dua kursi hadap. (Azi/R3/HR-Online/Editor: Eva)