Adanya konflik golongan tua dan muda di Indonesia menjadi salah satu peristiwa penting jelang proklamasi kemerdekaan Indonesia, dan menjadi sejarah bagi bangsa ini.
Baca Juga: Sejarah Hari Pramuka 14 Agustus, Tokoh Penting hingga Kontribusi Pramuka bagi Indonesia
Konflik antara kedua generasi tersebut berawal dari perbedaan pendapat mengenai kapan dan bagaimana kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. Apalagi ketika itu berita mengenai kekalahan Jepang sudah nampak nyata di depan mata.
Namun, golongan tua justru berpikir sebaliknya. Mereka berpendapat bahwa kemerdekaan Indonesia tidak boleh dilakukan dengan tergesa-gesa.
Perbedaan pendapat inilah yang akhirnya melahirkan salah satu peristiwa penculikan ke Rengasdengklok terhadap Soekarno dan Moh. Hatta.
Merangkum dari berbagai sumber, tulisan ini akan mengulas lebih dalam seputar konflik yang terjadi antara dua generasi tersebut, dari perbedaan pendapat hingga proklamasi kemerdekaan.
Peristiwa Penting Menjelang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Sebelum proklamasi kemerdekaan, perbedaan pendapat golongan muda pada awalnya dari ketidaksetujuan beberapa pihak terhadap hasil Kongres Pemuda seluruh Jawa yang didukung Angkatan Muda Indonesia.
Beberapa pihak yang tidak menyetujui hasil kongres tersebut adalah BM. Diah, Sukarni, Sudiro, Syarif Thayeb, Harsono Tjokoaminoto, Wikana, dan Chairul Saleh. Mereka itu berasal dari Angkatan Baru Indonesia atau yang dikenal dengan Pemuda Menteng 31.
Meskipun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia sudah di depan mata, namun suasa justru menjadi semakin tegang.
Baca Juga: Sejarah Rumah Inggit Garnasih, Saksi Perjuangan Soekarno Menggapai Kemerdekaan Indonesia
Memang ada persepsi yang sama antara golongan muda dan golongan tua, yakni sama-sama menyatakan bahwa kemerdekaan Indonesia harus segera diproklamasikan. Perbedaan keduanya hanya tentang bagaimana cara memproklamasikan kemerdekaan tersebut.
Golongan tua berpendapat bahwa proses proklamasi hanya bisa terlaksana jika Indonesia bekerjasama dengan Jepang. Selain itu, golongan tua juga menghendaki proses proklamasi harus dibicarakan kembali melalui PPKI.
Mengutip dari buku “Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI” (1984), bahwa sikap inilah yang tidak disetujui oleh golongan muda. Karena menganggap PPKI merupakan badan buatan Jepang.
Golongan muda menghendaki Proklamasi Kemerdekaan Indonesia harus lepas dari campur tangan Jepang.
Salah satu pihak yang mengetahui berita mengenai menyerahnya Jepang dalam Perang Dunia II adalah Sutan Syahrir. Ia memantau siaran radio dari luar karena menyadari bahwa Jepang tidak akan memberikan informasi mengenai hal tersebut.
Golongan muda yang waktu itu terdiri dari Chairul Saleh, Djohar Nur, Kusnandar, Subadjo, Subianto, Margono, Wikana, dan Armansya mengadakan rapat dengan tuntutan-tuntutan yang radikal.
Hasil dari perundingan tersebut disampaikan oleh Soekarno di rumahnya oleh Wikana dan Darwis. Sayangnya, hasil dari perundingan itu tidak memuaskan golongan muda sehingga terjadilah ketegangan.
Perbedaan Pendapat hingga Penculikan
Penolakan yang diberikan oleh Soekarno terhadap usulan Wikana dan Darwis agaknya membuat golongan muda tak kehabisan akal.
Baca Juga: Sejarah Konferensi Meja Bundar, Akhiri Konflik Indonesia dan Belanda
Puncaknya, golongan muda ini pun melakukan aksi penculikan terhadap Soekarno dan Moh. Hatta. Beberapa tokoh yang terlibat dalam penculikan ini merupakan anggota dari kelompok Menteng 31.
Mengutip dari buku “Sejarah Indonesia dari Proklamasi Sampai Pemilu 2009” (2011), bahwa rencana penculikan tersebut berhasil membawa Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok.
Selain untuk mendesak Soekarno dan Moh. Hatta, tujuan penculikan ini adalah dalam rangka untuk menjauhkan pengaruh Jepang terhadap keduanya.
Penculikan ini bisa dikatakan cukup berjalan lancar karena golongan muda mendapatkan dukungan dari Shodanco Singgih yang berasal dari Peta.
Meski berhasil membawa Soekarno dan Moh. Hatta ke Rengasdengklok, namun golongan muda tidak pernah bisa mendesak agar segera memproklamasikan kemerdekaan.
Penculikan ini baru berakhir ketika Ahmad Subarjo melakukan perundingan dengan golongan muda, yaitu Wikana.
Kesepakatan pun berakhir dengan keputusan bahwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia akan dilakukan di Jakarta. Laksamana Maeda akan menjadi pemberi perlindungan kepada para pejuang kemerdekaan untuk merumuskan proklamasi.
Proklamasi Kemerdekaan
Setelah terjadi kesepakatan, Soekarno dan Moh. Hatta dibawa kembali ke Jakarta. Pada tanggal 16 Agustus sekitar pukul 23.00 WIB, Soekarno dan Moh. Hatta menuju rumah Laksamana Maeda untuk menyusun teks proklamasi bersama dengan anggota PPKI dan para pemuda.
Teks proklamasi tersebut disusun langsung di ruang makan rumah Laksamana Maeda. Naskahnya ditulis oleh Soekarno bersama dengan Moh. Hatta dan Ahmad Subarjo.
Naskah tersebut kemudian diketik oleh Sayuti Melik. Selama proses perumusan itu, turut hadir pula Miyoshi, Sukarno, B.M. Diah, dan Sudiro.
Di ruangan itulah teks proklamasi dirumuskan dengan buah pemikiran para tokoh-tokoh bangsa yang hadir dalam kesempatan itu.
Setelah teks proklamasi kemerdekaan Indonesia selesai, atas kesepakatan bersama Soekarno dan Moh. Hatta menandatangani teks tersebut dengan mengatasnamakan bangsa Indonesia. (Azi/R3/HR-Online/Editor: Eva)