Peristiwa penculikan Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok merupakan kepingan sejarah yang cukup penting selama masa proklamasi di Indonesia.
Sayangnya peristiwa ini seringkali mendapatkan berbagai macam penafsiran, mulai dari penculikan hingga pengamanan.
Bagi para pembaca yang menjadikan buku Sejarah Nasional Indonesia akan menemukan peristiwa ini disebut dengan pengamanan.
Sebaliknya bagi para pembaca buku Taufik Abdullah atau pun Salim Said akan menemukan peristiwa sejarah ini merupakan peristiwa penculikan.
Baca Juga: Kisah Sutan Syahrir Memilih Tidur saat Proklamasi Kemerdekaan
Eufimisme Orde Baru dan Sejarah Latar Belakang Penculikan Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok
Secara definisi eufemisme bahasa merupakan penghalusan makna atau kata sehingga kata yang awalnya tabu menjadi lebih halus.
Meskipun, terdengar sedikit menyimpang, namun dalam beberapa kasus eufemisme ini sangat sering dilakukan.
Mengutip dari, “Analisis Wacana Kritis (Kajian Eufemisme dan Disfemisme dalam Wacana)” (2022), eufemisme sering digunakan untuk bahasa media sebagai penguat, penanda, dan identitas dari media tersebut.
Fungsi utama dari penggunaan eufemisme ini adalah agar hubungan baik dengan manusia lain dan sebisa mungkin tidak menyinggung perasaan orang lain.
Bahasa Eufemisme ini seringkali digunakan dalam dunia politik, salah satunya adalah ketika masa-masa pemerintahan Orde Baru.
Orde Baru berusaha mencitrakan diri sebagai sosok yang membawakan kebenaran dan keadilan. Sehingga setiap orang yang tidak menyukai atau mengkritik negara seringkali disebut sebagai musuh negara.
Penggunaan eufemisme selama masa Orde Baru dapat ditemukan dalam beberapa pemberitaan seperti kasus penangkapan yang seringkali menggunakan kata pengamanan.
Istilah lain yang tak kalah familiar bagi kita adalah penggunaan kata-kata oknum yang masih kita temukan sampai hari ini. Penggunaan kata ini untuk menjelaskan bahwa hanya segelintir orang saja yang terlibat dalam praktek kejahatan.
Penggunaan eufemisme tak hanya digunakan dalam konteks politik atau pemberitaan, melainkan juga pada kajian sejarah. Salah satu peristiwa yang erat kaitannya dengan hal ini adalah sejarah penculikan Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok.
Baca Juga: Sejarah Tugu Proklamasi, Awal Mula Hingga Pembongkarannya
Peristiwa Rengasdengklok
Peristiwa dibawanya Soekarno dan Moh. Hatta ke Rengasdengklok merupakan salah satu peristiwa bersejarah yang terjadi sebelum kemerdekaan.
Mengutip dari, “Sejarah Nasional Indonesia Jilid 6: Zaman Jepang & Zaman Republik” (2008), peristiwa dibawanya Soekarno dan Moh. Hatta ke Rengasdengklok ini berawal dari perbedaan paham antara golongan muda dan golongan tua.
Melalui hasil rapat yang dilakukan muncul keputusan untuk mengamankan Soekarno dan Moh. Hatta ke Rengasdengklok pada pukul 03.00.
Dibawanya Soekarno dan Moh. Hatta ke Rengasdengklok ini merupakan strategi golongan pemuda agar para pemimpin tidak terpengaruh dengan Jepang.
Tindakan yang dilakukan oleh para pemuda ini mendapatkan dukungan langsung dari Cudanco Latief Hendraningrat yang merupakan bagian dari PETA.
Aksi pengamanan ini terbilang cukup lancar dan sukses, karena pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia akhirnya bisa memproklamasikan kemerdekaannya.
Perdebatan Istilah Penculikan dan Pengamanan
Meskipun, sama seperti peristiwa sejarah lainnya, tidak bisa dipungkiri bahwa kata penculikan dan pengamanan seringkali menimbulkan perdebatan.
Penggunaan kata pengamanan dalam peristiwa Rengasdengklok menyiratkan upaya-upaya eufemisme terhadap peristiwa yang seharusnya disebut penculikan.
Mengutip dari, “Konflik Di Balik Proklamasi: BPUPKI, PPKI, dan Kemerdekaan” (2010) sejarawan Prof. Dr. Taufik Abdullah melukiskan peristiwa Rengasdengklok sebagai peristiwa penting karena berkaitan dengan tanggal proklamasi.
Menurutnya, apakah karena diculik, Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan tersebut.
Prof. Salim Said memberikan penyebutan “daulat” untuk peristiwa ini. Daulat yang dimaksud adalah upaya yang dilakukan untuk membuat orang yang didaulat patuh terhadap pendaulat. Menurut, Prof. Salim Said kata ini juga diidentikan dengan penculikan.
Tentu saja, perdebatan mengenai penggunaan kata penculikan dan pengamanan ini tak sampai di sini. Nugroho Notosusanto yang dikenal sebagai sejarawan ini juga memiliki latar belakang militer yang dekat dengan Orde Baru.
Tidak bisa dipungkiri pula bahwa, penggunaan eufemisme sering digunakan dalam penulisan-penulisan dan pemberitaan.
Namun, untuk tujuan apakah penggunaan eufemisme tersebut dilakukan terhadap peristiwa Rengasdengklok?
Agaknya ini dilakukan agar golongan pemuda yang waktu itu mendesak Soekarno dan Moh. Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan tidak dituduh sebagai penjahat. Apalagi, aksi tersebut didukung langsung oleh kelompok militer yang waktu itu direpresentasikan oleh PETA.
Baca Juga: Konflik Golongan Tua dan Muda, Peristiwa Penting Jelang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Tentu saja, hal ini tidak bisa dilepaskan dari peran Orde Baru yang selalu menjadikan bahasa-bahasa eufemisme dalam pemberitaan hingga penulisan. (Azi/R7/HR-Online/Editor-Ndu)