Rabu, April 2, 2025
BerandaBerita BanjarTranspuan Juga Butuh Ruang Nyaman untuk Ibadah

Transpuan Juga Butuh Ruang Nyaman untuk Ibadah

Bukan perkara mudah bagi transpuan menjadi marjinal di masyarakat. Mereka kerap menghadapi hambatan terkait dengan orientasi seksual dan ekspresi gendernya, termasuk dalam menjalankan ibadah. Namun, hal itu tidak lantas menghentikan individu queer untuk tetap beribadah kepada Tuhan sesuai dengan agama dan kepercayaan yang mereka yakini.

harapanrakyat.com,- Malam itu, cuaca di wilayah Kota Banjar, Jawa Barat, cukup cerah. Kebetulan harapanrakyat.com ada janji bertemu dengan salah seorang transpuan bernama Dewi.

Baca Juga: Duh! Taman Kota Banjar Kerap Dijadikan Tempat Maksiat

Setelah sebelumnya berkomunikasi melalui chat pesan singkat Whatsapp, Dewi ngajak bertemu pukul 20.00 WIB di Taman Lapang Bakti Kota Banjar atau biasa disebut Tamkot.

Namun, belum juga jarum jam menunjukan tepat pukul 20.00 WIB, Dewi mengabari bahwa dirinya sudah berada di Tamkot, tepatnya di sebuah warung kopi tempatnya bekerja.

Suasana di Taman Kota malam itu terlihat tidak begitu ramai pengunjung seperti malam Minggu atau malam hari libur lainnya. Tiba di Tamkot, Dewi yang tampak mengenakan hijab langsung menyambut hangat kedatangan harapanrakyat.com.

Karena suasana di warung kopi tempat Dewi bekerja cukup berisik oleh suara pengunjung yang tengah asyik berkaroke musik dangdut, maka Dewi pun mengajak duduk di pojokan taman.

Dalam perbincangan dengan harapanrakyat.com terkait identitas gendernya saat menjalankan ibadah, Dewi mengaku bukan perkara mudah untuk bisa melaksanakan ibadah di masjid seperti warga lainnya.

Karena meskipun ia terlahir dengan ditentukan berjenis kelamin laki-laki, namun hati nuraninya merasa 100 persen seorang perempuan, sehingga sholat pun ia mengenakan mukena, bukan sarung. Oleh sebab itulah, bagi Dewi rumah adalah tempatnya yang nyaman untuk beribadah. 

“Saya mah di rumah kalau beribadah pakai mukena biasa, karena hati nurani kita kan perempuan seratus persen,” ungkapnya.

Lebih lanjut Dewi mengatakan, dulu ia pernah ditanya sama seorang ustadzah yang sudah kenal dekat dengan dirinya.

“Dulu pernah bu ustadzah nanya, Dew ari sholat sok pake naon (kalau sholat suka pakai apa), gitu kata bu ustadzah. Terus saya jawab, abi bu, pake mukena (saya bu, pakai mukena)”. 

“Terus bu ustadzah bilang, iya bagus, kan hati nurani kamu itu perempuan jadi pakai mukena. Lamun pake sarung jadi hate urang teh tanda tanya, teu ngepas hate teh (kalau pakai sarung jadi hati kita itu tanda tanya, hati jadi tidak pas), cowok apa cewek. Kan ari hati nurani perempuan mah seratus persen urang teh pakai mukena (kan kalau hati nurani perempuan seratus persen kita itu pakai mukena). Begitu katanya, tapi sayang sekarang bu ustadzah udah almarhum,” tutur Dewi kepada harapanrakyat.com.

Kalau memakai sarung, lanjut Dewi, ia akan merasa tidak pas dalam beribadah, sehingga hati pun tidak akan khusyu kepada Allah.

Baca Juga: Duh! Warga Kerap Temukan Kondom Bekas di Taman Kota Citanduy Banjar

Rumah Jadi Tempat Beribadah yang Nyaman Bagi Transpuan

Dewi bercerita, dalam menjalankan aktivitas ibadahnya, transpuan juga membutuhkan ruang yang nyaman dan aman. Sehingga mereka bisa khusyu’ berdoa tanpa ada prasangka negatif dari masyarakat di lingkungan sekitar transpuan itu tinggal.

Jauh di lubuk hatinya, Dewi sebenarnya ingin bisa sholat berjamaah di masjid sebagaimana muslim lainnya. Namun hal itu menurutnya sesuatu yang tidak mungkin, walaupun masyarakat di lingkungan ia tinggal sudah menerima identitasnya sebagai queer.

“Ya, pengen sekali sholat bareng-bareng sama ibu-ibu di masjid atau sholat Ied kalau masyarakatnya bisa menerima keadaan saya begini. Jadi sampai sekarang aku belum berani, kalau beribadah ya di rumah saja bareng keluarga. Karena kalau keluarga sudah menerima,” kata transpuan yang tinggal di lingkungan perkotaan wilayah Kecamatan Banjar, Kota Banjar dan aktif sebagai pemain volly ball wanita itu.

Ia mengaku, ekspresi gendernya tidak menjadi penghalang baginya untuk tetap menjalankan sholat lima waktu yang menjadi kewajibannya sebagai seorang muslim. Meskipun terkadang, masih ada waktu sholat yang tertinggal.

Dalam setiap sholatnya Dewi pun selalu menyelipkan doa meminta kepada Sang Maha Kuasa dan mencurahkan segala asa tentang hidupnya.

“Kalau berdoa saya suka nangis-nangis, ya gimana gitu tentang hidup saya. Dalam menjalankan ibadah, keinginan saya masyarakat bisa menerima saya gimana layaknya perempuan lainnya,” ungkapnya.

Adanya penolakan masyarakat hingga doktrin bahwa mereka adalah pendosa, hal ini membuat komunitas queer merasakan pergumulan batinnya yang luar biasa.

“Kalau soal diterima atau tidaknya ibadah saya, itu gimana yang di Atas (Alloh Subhana Wata’ala) saja. Karena saya tidak bisa menjadi laki-laki. Sudah seratus persen dalam tubuh saya perempuan, dan yang penting tetap menjalankan ibadah, biarpun saya perempuan yang tak sama,” ujar Dewi sedih.

Baca Juga: Disdukcapil Ciamis Fasilitasi Transgender Bikin Dokumen Kependudukan

Tantangan Kehidupan Komunitas Queer dalam Lingkungan Sosial

Di tempat terpisah, transpuan yang biasa disapa Dilla menuturkan pengalaman spiritualnya ketika ia tinggal di sebuah perkampungan wilayah Kota Banjar yang masyarakatnya taat agama.

Ia menceritakan bahwa di perkampungan tersebut banyak ustadz dan kyai. Mereka pun tahu kalau dirinya adalah seorang transpuan, namun tetap menerimanya dengan baik saat dirinya mau beribadah melaksanakan sholat lima waktu maupun jumatan.

“Di perkampungan itu memang tidak ada yang istilahnya mendiskriminasi, alhamdulillah semuanya baik. Ibu-ibunya yang suka ke masjid atau bapak-bapaknya, semua mendukung lah. Ada beberapa ustadz yang mendoakan agar saya bisa hidup lebih baik lagi,” tutur Dilla kepada harapanrakyat.com saat ditemui di tempat kosnya di wilayah Kecamatan Pataruman, Kamis (20/6/2024).

Meski begitu, ia pun tidak memungkiri adanya pro kontra di masyarakat terkait dengan keberadaan transpuan maupun kelompok queer lainnya.

“Maksudnya pro kontra itu seperti ada yang berkata, “tuh orang itu teh seperti gitu (transpuan), padahal mah udah aja rambutnya dipendekin”. Jadi mungkin seperti gitu lah ya, yang namanya pendapat orang nggak sama. Tapi aku denger kawan-kawan aku juga alhamdulillah sih semua diterima baik oleh lingkungannya ketika mereka mau beribadah,” ujar Dilla yang menjadi ketua dalam organisasi komunitasnya bernama Srikandi Patroman Kota Banjar itu.

Mengambil keputusan menjadi seorang transpuan berarti memilih mengakhiri pergolakan batin yang panjang. Keputusan tersebut sering kali membuat transpuan harus berhadapan dengan rintangan lainnya dalam lingkungan sosial. Termasuk soal aktivitas keagamaannya.

Seperti yang diungkapkan Anggur, seorang aktivis transpuan yang juga Ketua Komunitas Srikandi Panjalu Kabupaten Ciamis. Selama ini ia aktif mensosialisasikan kesehatan kepada masyarakat bersama instansi pemerintah. 

Saat harapanrakyat.com menyambangi tempat kosnya di wilayah perkotaan Ciamis pada Minggu (23/6/2024), Anggur menceritakan terkait aktivitasnya dalam hal beribadah sebagai seorang transpuan.

Ia mengaku kalau dirinya memang bukanlah transpuan yang taat menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim. Tidak seperti teman-teman queer lainnya.

Anggur mengatakan, banyak teman-teman di komunitasnya yang rajin melaksanakan sholat, meski tidak sampai lima waktu dalam setiap harinya. Namun, mereka rata-rata melakukan ibadah di rumahnya masing-masing. Apalagi mereka yang sholatnya menggunakan mukena.

“Memang ada teman aku yang suka ke masjid, seperti saat sholat jumatan, tapi dia biasa memakai sarung. Cuma yang aku tahu memang ada yang suka pakai mukena juga. Tapi kebanyakan transpuan itu ibadahnya ya di rumah masing-masing saja sih,” kata Anggur.

Menurutnya, teman-teman transpuan tidak akan berani melaksanakan sholat di masjid dengan menggunakan mukena. Karena sudah pasti akan mendapatkan kecaman dari masyarakat.

Ia pun berpendapat, untuk urusan ibadah bagi dirinya pribadi tidak mencampurkan antara transpuan sebagai sosial dengan transpuan sebagai perempuan. Pilihan ekspresi beribadah pun berbeda-beda antara transgender dan transpuan itu sendiri. Tidak ada yang seharusnya boleh menghakimi.

“Kalau kita sebagai transpuan saat ibadah pakai mukena, ya banyak yg akan mencela atau mengecam dari masyarakat. Karena masyarakat melihat kita ini dilahirkan sebagai laki-laki, jadi harus memakai sarung,” kata Anggur.

Anggur menambahkan, keberadaan komunitas transpuan memang kerap dipandang negatif di masyarakat karena orientasi seksual dan ekspresi gendernya. Oleh sebab itu, ia pun berpesan kepada teman-teman komunitasnya untuk selalu berperilaku baik dimanapun mereka berada.

Baca Juga: Komunitas Transgender di Kota Banjar Datangi Disdukcapil, Bikin E-KTP

“Masyarakat akan menerima keberadaan kita jika perilaku kita baik. Apalagi kalau punya skill, tunjukan apa yang kita bisa. Karena banyak komunitas transpuan yang punya skill, seperti tata rias,” pungkasnya. (Eva/R3/HR-Online/Editor: Deni)

Liputan dan produksi ini menjadi bagian dari liputan kolaborasi #AgamaUntukSemua bersama Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) yang terlaksana atas dukungan Koalisi #RawatHakDasarKita.

Jalan Raya Banjar-Pangandaran terpantau ramai lancar

Dipadati Wisatawan, Jalan Raya Banjar-Pangandaran Ramai Lancar 

harapanrakyat.com,- Memasuki H+2 lebaran Idul Fitri arus lalu lintas kendaraan yang melintas di Jalan Raya Banjar-Pangandaran, Jawa Barat tepatnya di kawasan Posko Mudik Lebaran...
Kunjungan wisata ke Pangandaran

Gempa Tak Pengaruhi Kunjungan Wisata ke Pangandaran

harapanrakyat.com - Gempa bumi berkekuatan Magnitudo 4.1 yang mengguncang Pangandaran, Jawa Barat pada Rabu (2/4/2025), tidak berdampak pada kunjungan wisata. Titik Gempa ini berada di  90...
Ternyata Ini Penyebab Mobil Pemudik Tiba-Tiba Terbakar di Kota Banjar

Ternyata Ini Penyebab Mobil Pemudik Tiba-Tiba Terbakar di Kota Banjar

harapanrakyat.com,- Sebuah mobil merek Timor dengan nomor polisi D 1596 OS milik Hendrawan, pemudik asal Tasikmalaya tiba-tiba terbakar di Kota Banjar, Jawa Barat, Rabu...
dua wisatawan hilang terseret arus Pantai Pangandaran

Dua Wisatawan Hilang Terseret Arus Pantai Pangandaran

harapanrakyat.com - Dua wisatawan dinyatakan hilang terseret arus Pantai Pangandaran, dalam dua hari terakhir. Menurut Kasatpolairud Polres Pangandaran Iptu Anang Tri Sodikin korban pertama...
Hari Ketiga Lebaran, Jalur Selatan Garut Semakin Padat

Hari Ketiga Lebaran, Jalur Selatan Garut Semakin Padat

harapanrakyat.com,- Jalur selatan Garut, Jawa Barat, semakin padat pada Rabu (2/4/2025) siang atau lebaran hari ketiga. Kemacetan didominasi oleh kendaraan roda 2 yang hendak...
Libur Lebaran, Ribuan Warga Padati Pantai Sindangkerta Tasikmalaya

Libur Lebaran, Ribuan Warga Padati Pantai Sindangkerta Tasikmalaya

harapanrakyat.com,- Memasuki libur lebaran Idul Fitri 1446 Hijriah, ribuan warga berlibur di Pantai Sindangkerta, Kecamatan Cipatujah, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, Selasa (2/4/2025). Mereka memenuhi Pantai...