Sejarah Konferensi Malino sangat menarik untuk kita ketahui. Konferensi Malino merupakan salah satu peristiwa penting dalam sejarah Indonesia pasca-kemerdekaan. Ini memberikan gambaran tentang dinamika politik dan sosial di Tanah Air setelah menjadi negara yang berdaulat.
Baca Juga: Sejarah Polisi Militer, Fungsi dan Tugasnya
Lantas bagaimana peristiwa tersebut bisa terjadi dan seperti apa hasil akhirnya? Supaya lebih memahami, mari kita ulas secara lengkap dalam artikel berikut.
Sejarah Konferensi Malino di Sulawesi Selatan
Seperti kita ketahui, Indonesia berhasil menjadi negara merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Namun ternyata, proklamasi kemerdekaan RI tidak serta merta menghentikan konflik di dalam negeri.
Pasalnya, gejolak-gejolak besar terus berdatangan yang membuat setiap daerah menjadi terpecah-belah. Terlebih kala itu, kedudukan Pemerintah Hindia Belanda masih cukup kuat. Para penjajah Belanda tetap mempertahankan kekuasaannya dan tidak mengakui kedaulatan RI.
Tepat ketika Perang Dunia II berakhir, Australia yang sempat menguasai wilayah Indonesia Timur menyerah. Mereka memutuskan mengembalikan kekuasaannya kepada Belanda. Sehingga Belanda bersama NICA secara de jure dan de facto kembali berkuasa di Indonesia Timur.
Di bawah pimpinan Hubertus Van Mook, Belanda pun mengusulkan pembentukan persemakmuran Indonesia. Usulan tersebut langsung mendapat persetujuan dari Johann Logemann selaku Menteri Urusan Kolonial Belanda.
Setelah melewati proses panjang, Maret 1946 terjadi negosiasi antara Van Mook dengan Sutan Sjahrir. Kedua belah pihak menghasilkan pengakuan secara de facto atas Pulau Jawa, Madura dan Sumatera yang masuk dalam wilayah Indonesia.
Van Mook kemudian melanjutkan usaha membentuk Indonesia federal. Salah satu caranya yakni menjalin hubungan dengan para pemimpin di luar wilayah Indonesia yang telah berdaulat. Sehingga timbul konferensi di Kota Malino, Sulawesi Selatan, yang mencetak sejarah Konferensi Malino.
Latar Belakang Terjadinya
Pasca proklamasi kemerdekaan, terjadi banyak konflik di berbagai daerah. Tak sedikit daerah-daerah yang menginginkan otonomi hingga melakukan gerakan separatis yang ingin memisahkan diri dari Indonesia.
Konferensi Malino sendiri diinisiasi oleh Belanda sebagai upaya untuk menengahi konflik di Indonesia Timur. Belanda melihat konflik ini sebagai peluang untuk mengkonsolidasikan kekuasaannya di Indonesia.
Mereka juga berencana mengurangi dampak dari semangat kemerdekaan yang merajalela di berbagai daerah. Sementara Indonesia yang baru merdeka melihat konferensi Malino sebagai kesempatan untuk mencapai rekonsiliasi dengan daerah-daerah yang ingin otonomi.
Berjalannya Proses Konferensi
Sebelum konferensi berlangsung, Van Mook mendekati beberapa calon delegasi untuk hadir sekaligus membahas struktur pemerintahan Indonesia Timur. Setidaknya terbentuk 53 delegasi dan penasehat.
Bahkan ada juga Kepala Departemen untuk urusan kenegaraan meliputi:
- Najamuddin untuk Sulawesi Selatan
- Tahya untuk Maluku Selatan
- Ibrahim Sedar untuk Kalimantan Selatan
- Sukawati untuk Bali
- Dengah untuk Minahasa
- Liem Tjae Le untuk Bangka, Belitung, Riau
- Oeray Saleh untuk Kalimantan Barat
Konferensi Malino pun akhirnya berlangsung pada 15 sampai 25 Juli 1946, dengan membahas sejumlah poin yang menjadi sejarah penting. Seperti rencana pendirian negara federasi serta pembentukan negara yang meliputi daerah-daerah di Indonesia Timur.
Dalam pidatonya, Van Mook menyampaikan penjelasan bahwa negara-negara federasi Indonesia berhak memerintah wilayahnya sendiri. Dengan kata lain, pemerintah Indonesia yang telah berdaulat tidak boleh ikut campur.
Konferensi yang menelan waktu 10 hari tersebut tak lantas berjalan mulus. Pasalnya sejumlah peserta yang hadir mengalami pecah kubu. Ada yang pro-Republik namun juga banyak yang pro-Federal.
Beberapa delegasi yang menolak cenderung meyakini jika kolonialisme tidak boleh kembali ke Indonesia. Selain itu, keputusan semacam ini tidak boleh berlanjut sebelum mendapat persetujuan dari rakyat di Pulau Jawa serta Sumatera.
Hasil Konferensi
Tiga bulan pasca Konferensi Malino, ternyata tak mampu mencetak sejarah memuaskan bagi Pemerintah Belanda. Bagaimana tidak, Pemerintah Hindia Belanda belum bisa mencapai harapan yang besar.
Kelompok minoritas pro-Federal pun kembali bertemu dalam konferensi lain di Pangkal Pinang, Bangka. Di sana, mereka baru mendapat sejumlah dukungan atas usulan di Kota Malino, Sulawesi Selatan.
Terakhir, pada bulan Desember 1946, Belanda mencapai kesepakatan atas pembentukan Negara Indonesia Timur. Pembentukan tersebut Belanda anggap sebagai tandingan dari Negara Indonesia yang berdaulat.
Baca Juga: Sejarah Monumen Rawagede, Saksi Kekejaman Belanda
Demikian penjelasan tentang sejarah Konferensi Malino di Sulawesi Selatan. Konferensi ini memberikan pembelajaran berharga terkait pentingnya persatuan dan kesatuan untuk mempertahankan NKRI. Sehingga tidak akan terjadi lagi perpecahan besar sampai menimbulkan pemisahan daerah untuk menjadi negara sendiri. Semoga bermanfaat! (R10/HR-Online)