Long March Siliwangi menjadi sejarah yang penting untuk kita pelajari bersama. Momen ini terjadi pada tahun 1948 berdasarkan perintah Jenderal Soedirman. Seluruh anggota Divisi Siliwangi harus menempuh perjalanan kaki yang berjarak sejauh 600 kilometer.
Momen ini bermula pada hari Minggu pagi, tepatnya tanggal 19 Desember 1948. Ketika pesawat tempur Belanda menyerang Lapangan Udara Maguwo di Yogyakarta dan menerjunkan pasukan elit mereka.
Baca Juga: Sejarah Kebo Bule Surakarta, Perayaan Malam 1 Suro
Setelah berhasil mendarat di Maguwo, secara cepat mereka langsung menyerang jantung Yogyakarta, ibu kota Republik Indonesia saat itu. Operasi militer ini terkenal sebagai Operatie Kraai (Operasi Gagak).
Long March Siliwangi dan Sejarahnya
Menurut Himawan Soetanto dalam bukunya “Yogyakarta 19 Desember 1948”, hanya tujuh jam setelah Operatie Kraai mulai, tentara Belanda berhasil menguasai Yogyakarta. Operasi ini sekaligus menghancurkan Perjanjian Renville yang telah Belanda dan Indonesia sepakati setahun sebelumnya.
Situasi ini memaksa para pejuang Siliwangi harus menjalani rencana yang pernah disiapkan oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman. Rencana ini terdapat dalam Perintah Siasat No.1 pada Mei 1948. Rencananya yaitu mereka kembali bergerak ke Jawa Barat lalu membangun perlawanan di sana secara total.
Perjalanan Panjang Penuh Pengorbanan
Dalam Long March Siliwangi ini, mereka kembali ke kampung halaman mereka penuh dengan pengorbanan besar. Bukan hanya kehilangan harta benda tetapi juga darah dan air mata.
Selama 600 km, peserta long march harus menghadapi berbagai rintangan. Diantaranya yaitu kelaparan, penyakit, serangan militer Belanda, dan teror dari pasukan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).
Letnan Dua (Purn) JC. Princen, seorang serdadu Belanda yang membelot ke Siliwangi, menggambarkan perjalanan tersebut sebagai penyiksaan hati nuraninya sebagai manusia. Di tengah perjalanan, tak jarang ia harus menyaksikan anak-anak dan perempuan tewas terbunuh oleh bom dari pesawat-pesawat temannya sendiri.
Kisah Prajurit Alleh
Pengalaman serupa Prajurit Alleh (92) alami pada Long March Siliwangi. Pimpinan Markas Besar Tentara membagikan sarung baru kepada seluruh pasukan sebelum mereka kembali ke Jawa Barat. Sarung itu sangat berguna bagi mereka, bukan saja sebagai selimut penghangat tidur tetapi juga bisa mereka gunakan untuk hal-hal darurat.
Misalnya saat mereka harus menyeberangi Sungai Serayu. Dengan sambungan sarung yang menjadi tali, mereka bisa menyeberangi sungai berarus deras, meskipun beberapa anak-anak dan perempuan hanyut oleh arus.
Baca Juga: Kisah Kemenangan Raden Wijaya Mengusir Pasukan Mongol
Alleh juga menyaksikan bagaimana ibu-ibu yang baru melahirkan di tengah perjalanan harus rela meninggalkan bayi mereka kepada penduduk desa. Hal ini mereka lakukan karena daripada bayi-bayi ini menjadi beban perjalanan.
Kisah Kopral Soehanda
Pengalaman Kopral Soehanda dari Batalyon ke-27 pada Long March Siliwangi juga mengharukan. Bersama lima kawannya, ia terpisah dari rombongan batalyon sejak awal pergerakan dari Salatiga.
Mereka tidak makan sebutir pun nasi selama perjalanan ini. Mereka hanya menemukan daun singkong atau jamur kayu untuk mereka makan.
Keajaiban di Kali Putih
Asikin Rachman (95), eks anggota Batalyon ke-29, mengalami kejadian unik saat harus menyeberangi Kali Putih yang penuh buaya. Suatu hari, seksi yang ia pimpin tiba di wilayah sekitar Banyumas dan harus menyeberangi sungai tersebut. Ketika mereka kebingungan, seorang tua berpakaian sederhana datang dan menawarkan bantuan.
Setelah merapal mantra dan menyiramkan air kelapa muda ke sungai, buaya-buaya di sana tampak tertidur. Para petarung Siliwangi pun berhasil menyeberangi Kali Putih dengan selamat.
Asikin Rachman pun juga tidak dapat memercayai hal ini jika ia dan kelompoknya tidak menyaksikannya secara langsung kejadian ini. Kejadian seperti ini memang sering terdengar di zaman dahulu, apalagi di Indonesia.
Kembali ke Kampung Halaman
Para maung itu menyusuri ratusan kilometer untuk kembali ke sarangnya kurang lebih 40 hari lamanya. Mereka dengan tabah menghadapi apapun yang mencoba merintangi jalan mereka, dengan satu tujuan, yakni kembali ke kampung halaman.
Baca Juga: Makam Mbah Kuwu Cirebon, Destinasi Wisata Religi Pendiri Kota ‘Udang’
Long March Siliwangi bukan sekadar perjalanan panjang, namun juga merupakan simbol dari semangat perjuangan dan pengorbanan untuk membela negara. Hingga saat ini, banyak masyarakat Indonesia yang belum sepenuhnya mengetahui sejarah ini. Padahal, Long March ini merupakan momen bersejarah dan menegangkan yang langsung Jenderal Soedirman pimpin. (R10/HR-Online)