Kapten Harun Kabir merupakan seorang pahlawan yang memiliki kisah heroik. Sebagai warga negara yang baik, kita sudah seharusnya mengenang jasa-jasa para pahlawan kita. Tidak terkecuali kisah heroik dari sosok Harun Kabir.
Baca Juga: Sejarah Pangeran Santri Sumedang, Membawa Perdamaian Islam
Nama Harun Kabir tidak asing lagi bagi warga Sukabumi. Di kota ini, jalan yang menuju kawasan pasar induk memiliki nama sesuai dengan nama pahlawan tersebut. Namun, di balik nama itu, tersimpan kisah heroik seorang pejuang kemerdekaan yang rela mengorbankan nyawanya demi Republik Indonesia.
Kapten Harun Kabir dan Sejarah Kariernya
Harun Kabir lahir pada 5 Desember 1910 di Kepatihan, Bandung, dari keluarga bangsawan Sunda. Meski berasal dari keluarga menak, Harun Kabir sudah menunjukkan tanda-tanda pemberontakan terhadap tradisi aristokrasi sejak kecil. Ia lebih suka bergaul dengan anak-anak petani dan mengadopsi kebiasaan mereka, seperti bermain di sawah.
Harun Kabir menjabat sebagai Asisten Residen Bogor menjelang pendudukan Jepang. Karena ia cakap, ia kemudian pemerintah militer Jepang tunjuk sebagai pejabat Departemen Keuangan Karesidenan Bogor. Akan tetapi, jiwa nasionalisme dari Harun Kabir tidak pernah pudar.
Pembentukan Laskar Ciwaringin 33
Setelah proklamasi kemerdekaan, Harun Kabir mendirikan Laskar Ciwaringin 33. Ini adalah sebuah organisasi perjuangan yang bernama berdasarkan alamat rumahnya di Jalan Ciwaringin, Kota Bogor.
Laskar ini menjadi markas bagi tokoh-tokoh Republik seperti Presiden Sukarno dan Tan Malaka. Bahkan, Bung Karno menitipkan istrinya, Fatmawati, serta putranya Guntur, dan kedua mertuanya kepada Harun Kabir.
Pada tahun 1946, Laskar Ciwaringin 33 berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Harun kemudian menjabat sebagai Kepala Staf Brigade II Surjakantjana yang meliputi Bogor, Sukabumi, dan Cianjur dengan pangkat mayor.
Namun, kebijakan dari Markas Besar Tentara di Yogyakarta yang menurunkan satu tingkat pangkat para tentara membuatnya kembali menjadi kapten.
Perjuangan di Masa Agresi Militer Belanda
Pada Juli 1947, saat militer Belanda melakukan agresi pertama, Kapten Harun Kabir bergerilya di daerah Cianjur Selatan. Istrinya, Soekarti, bersama tiga anaknya Tina (12), Hetty (11), dan Joyce (4) awalnya akan mengungsi ke Banten.
Namun, mereka memutuskan untuk menyusulnya ke Cianjur. Keluarga ini bertemu dengan haru di tengah suasana perang. Harun menyuruh keluarganya untuk tinggal di sebuah gubuk. Gubuk ini berlokasi di sekitar Bukit Cioray, sementara ia melanjutkan perjuangannya.
Pada 12 November 1947, Harun Kabir yang sakit malaria tiba di gubuk keluarganya. Ia tiba dengan bantuan Letnan Dua Arifin Tisnaatmidjaja dan Sersan Mayor Soekardi. Mereka beristirahat bersama keluarganya.
Pagi harinya, sekitar pukul 04.00 WIB, pasukan Belanda mengepung gubuk mereka. Kapten Harun Kabir sadar telah terkepung. Ia menenangkan istrinya yang khawatir dan segera memakai seragamnya.
Pengorbanan Terakhir
Tidak lama kemudian, sebuah seruan keras terdengar, memerintahkan para penghuni gubuk untuk keluar. Dengan tenang, Harun membuka pintu gubuk dengan menggandeng istrinya yang menggendong Joyce. Di belakang mereka, Tina dan Hetty memegang tangan dua pengawal Harun Kabir.
Baca Juga: Sejarah Diplomasi Indonesia Pondasi Kebijakan Luar Negeri
Di luar gubuk, seorang sersan Belanda dengan seragam tempur lengkap mendekat, membawa senter dan pistol. Sersan tersebut memerintahkan Harun dan kedua pengawalnya untuk berpisah dari keluarga mereka.
Ketiganya baris berhadapan dengan Soekarti, Tina, Hetty, dan Joyce. Harun masih sempat tersenyum. Ia lalu berbisik kepada keluarganya, “Kuatlah! Jangan takut! Ada Allah.”
Kapten Harun Kabir dan kedua pengawalnya kemudian berjalan menuju truk Belanda. Tiba-tiba, suara rentetan tembakan terdengar, dan ketiganya diberondong peluru oleh militer Belanda. Sebelum menghembuskan napas terakhir, Harun Kabir sempat berteriak, “Merdeka!”
Harun Kabir mati di hadapan istri dan ketiga anaknya. Mereka terisak melihat orang yang mereka cintai terbujur kaku, setelah sebelumnya masih sempat memeluk dan mencium mereka.
Setelah penembakan tersebut, suasana menjadi hening. Sersan Belanda itu kemudian mendekati Soekarti dengan langkah pelan dan berkata dalam bahasa Belanda, “Nyonya, ini situasi perang. Suami Nyonya membunuh tentara kami untuk bangsa dan negaranya, kami pun membunuhnya demi bangsa dan negara kami. Harap Nyonya mengerti.”
Soekarti dengan tenang menjawab, “Ya, saya mengerti.”
Makam di Samping Ayahnya
Harun Kabir dimakamkan di Cioray bersama kedua pengawalnya. Makamnya pindah ke Taman Makam Pahlawan beberapa tahun kemudian. Namun, sesuai amanahnya semasa hidup, makam Harun Kabir pindah lagi ke Sukabumi di daerah Ciandam.
Di sana, ia dimakamkan di samping ayahnya, Raden Abung Kabir Natakusumah. Beliau merupakan keturunan langsung dari Bupati Bandung ke-5, Raden Wiranatakusumah I (1769-1794).
Baca Juga: Cilacap Lautan Api, Heroisme Mempertahankan Kemerdekaan
Kisah heroik dari Kapten Harun Kabir dapat menjadi inspirasi bagi kita semua sebagai masyarakat Indonesia. Pengorbanan Harun Kabir yang besar untuk kemerdekaan Indonesia tidak akan pernah terlupakan oleh kita semua. Harun Kabir adalah simbol keberanian dan cinta Tanah Air yang sejati, sebuah warisan abadi yang akan terus kita kenang sepanjang masa. (R10/HR-Online)