harapanrakyat.com,- Prasasti VI di Astana Gede, Kecamatan Kawali, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, mempunyai keunikan tersendiri. Pasalnya, ada dua poin tulisan dalam prasasti tersebut yang menginformasikan tentang kehidupan masyarakat pada masa Kerajaan Galuh.
Baca Juga: Mengenal Lambang Cakra Rahayu Kencana di Ciamis, Peninggalan Kerajaan Galuh
Prasasti VI tersebut merupakan prasasti terakhir yang ditemukan dan juga dievakuasi pada tanggal 3 Oktober 1995 oleh salah satu juru pelihara.
Di dalamnya terdapat tulisan aksara Sunda kuno atau Kaganga, dan juga simbol lambang Bunga Cakra Rahayu Kencana.
Budayawan Kawali yang juga petugas Dinas Pariwisata Kabupaten Ciamis, Enno mengatakan, Prasasti VI di Astana Gede Kawali merupakan prasasti yang ditemukan paling terbaru. Waktu penemuannya tahun 1995 oleh salah satu juru pelihara.
Ia pun menjelaskan, prasasti tersebut menggunakan media batu jenis andesit. Namun yang menjadi uniknya, dalam prasasti VI ini terdapat dua poin yang informasi. Pertama, adanya simbol kembang atau Bunga Cakra Rahayu Kencana.
“Jadi sebelum pahatan atau tulisan, dalam prasastinya ada simbol Kembang Cakra Rahayu Kencana yang sudah dimodifikasi. Jadi pahatan Kembang Cakra itu terlihat sudah rapih,” terangnya, Rabu (19/6/2024).
Pahatan dalam Prasasti VI di Astana Gede Kawali Ciamis
Pada poin pertama ini, lanjut Enno, simbol atau lambang Kembang Cakra Rahayu Kencana itu ada dua di Astana Gede Kawali, yakni pada Prasasti I dan Prasasti VI.
Baca Juga: Keraton Pertama Kerajaan Galuh, Benarkah Dibangun di Kawasan Cagar Alam Pangandaran?
“Kalau Prasasti I itu cuma ditulis atau ditorehkan dengan pahatan di atas batunya, tapi pahatannya tidak serapi yang ada pada Prasasti VI. Artinya, pada waktu itu Prabu Niskala Wastu Kencana menambah atau memperindah lagi sistem-sistem atau aturan yang sudah ada. Jadi lebih terstruktur,” jelasnya.
Makanya dalam naskah kuno Sunda pada zaman Prabu Niskala Wastu Kencana terdapat kalimat Gemuh Pasundan. Artinya, disaat itulah titik Kerajaan Galuh mencapai zaman keemasannya, yakni zaman Prabu Niskala Wastu Kencana.
Kemudian, lanjut Enno, pada poin kedua ada tulisan yang menginformasikan tahun 1371 di Kawali, pada saat Prabu Niskala Wastu Kencana menjabat sebagai Raja.
Saat itu Raja Prabu Niskala Wastu Kencana menekankan bahwa masyarakat Sunda dan Galuh tidak boleh berbuat aktivitas yang berhubungan dengan judi.
Makanya dalam bahasa salah satu kalimatnya adalah “Ini petinggal nu atisti ayama nu ngisi Dayeuh ieu ulah botoh bisi kokoro”.
“Jadi ini petinggal dari atisti dari rasa yang atisti. Artinya, ini peninggalan dari para leluhur yang mempunyai ilmu pengetahuan tinggi, yang atisti itu yang berbudi atau yang bijak,” terangnya.
“Kemudian, kalimat ayama nu ngisi Dayeuh ieu artinya, kelak siapa pun yang menghuni kota ini atau negeri ini dalam artian Galuh, ulah botoh bisi kokoro atau jangan judi nanti bisa sengsara,” tambah Enno menjelaskan.
Penekanan Botoh tentang Judi
Penekanan botoh dalam artian menekankan tentang judinya. Botoh itu memang mempunyai dua arti, dan arti secara umumnya adalah lebih keserakahan.
Baca Juga: Melongok Makam Keramat di Lumbung Ciamis, Tempat Menggembleng Raja Galuh
Tapi pada waktu itu, karena Kerajaan Galuh ini ada satu peristiwa yang membuat leluhurnya trauma, dan itu tidak boleh terjadi lagi. Karena, pada waktu zaman Ciung Wanara terjadi peperangan antar saudara.
Kerajaan Galuh hampir mengalami krisis, kemudian terjadi perang saudara akibat adanya judi atau sabung ayam, karena yang dipertaruhkan pada waktu adalah kerajaan.
“Karena pendahulunya melakukan peristiwa tersebut, sehingga pada zaman Kawali, Prabu Niskala Wastu Kencana sangat menekankan kepada masyarakat dan keluarga kerajaannya untuk tidak melakukan aktifitas yang berhubungan dengan judi,” paparnya.
Perlu diketahui bahwa setiap perbuatan maksiat itu berunsur keserakahan, seperti zina dan judi. Jadi intinya dari keserakahan.
“Prasasti itu ada korelasinya dengan masa saat ini. Bahkan saya suka menekankan kepada generasi muda bahwa perbuatan tersebut sudah dicontohkan oleh leluhur kita dari zaman dulu. Makanya jangan coba-coba melakukannya,” tandasnya.
Enno menambahkan, para leluhur sudah tahu bahwa yang namanya botoh atau judi pasti akan terjadi, bahkan terus terjadi.
Baca Juga: Ngawalan Nyiar Lumar di Ciamis, Ribuan Pengunjung Padati Kecamatan Kawali
“Hal ini sudah dicontohkan oleh legenda Ciung Wanara. Sampai-sampai seorang raja saja tidak kuat, apalagi kita masyarakat biasa,” pungkasnya. (Feri/R3/HR-Online/Editor: Eva)