harapanrakyat.com,- Semangat perjuangan Kiai Abdul Hamid dalam menyebarkan agama Islam di Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat, sangatlah besar.
Kiai Abdul Hamid atau nama lain Pak Ageung, Ajengan Pangkalan, Ki Ageung, Mama Ageung, merupakan tokoh terkemuka di Kecamatan Langkaplancar.
Baca Juga: Kisah Kiai Abdul Hamid Pangandaran, Diburu Belanda dan Dituduh DI TII
Selain itu, ia juga merupakan pendiri Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Hamidiyah Cicau, di Dusun Cigangsa, Desa Pangkalan.
Ucu Saeful Aziz, cucu dari Kiai Abdul Hamid mengatakan, bahwa kakeknya lahir di tahun 1908, tepatnya di Dusun Cimanjeti, Desa Jayasari/Pangkalan.
“Kiai Abdul Hamid memiliki 15 bersaudara dan merupakan anak pertama dari pasangan KH. Abdul Ghani (Kuwu/Kepala Desa Pangkalan saat itu),” katanya Senin (6/5/2024).
Awal Perjuangan Kiai Abdul Hamid di Pangandaran
Ajengan Pangkalan ini memulai sekolah di SR atau Sekolah Rakyat pada usia 8 tahun (1916). Ia menempuh pendidikan SR selama 3 tahun masih di sekitar Kecamatan Langkaplancar.
Kemudian pada usia 12 tahun, Kiai Abdul Hamid melanjutkan pendidikannya di pesantren daerah Cianjur selama kurang lebih 10 tahun.
Setelah itu, pada tahun 1930 atau usia 22 tahun, ia menimba ilmu di Pesantren Sumelap Tasikmalaya, di bawah asuhan seniornya Kiai Udin.
Baru di tahun 1931, perjuangan Kiai Abdul Hamid pun dimulai, dengan mendirikan pesantren yang dikenal dengan ponpes Cicau sekarang Al Hamidiyah.
“Tahun 1933, kakek saya menikahi putri dari Raden Abdullah Gaos Cijulang bernama Nyai Raden Enok Umi Salamah. Saat itu beliau berusia 25 tahun,” kata Ucu.
Lanjutnya menceritakan, bahwa dari pernikahannya, Kiai Abdul Hamid memiliki 4 orang putra. Yaitu, Endang Abdul Hanan (meninggal saat masih kuliah di Jogjakarta), KH. Mukhtar Ghozali. Kemudian, KH. Abdullah Yusuf (Icang), dan Kiai Asep Saefulloh Mujahid.
Baca Juga: Sejarah Pesantren Asyrofuddin, Basis Perlawanan terhadap Belanda di Sumedang
Sedangkan dari istri kedua (Erat Cigugur), Kiai Abdul Hamid memiliki 2 putri, yakni Siti Maemunah (Ai) dan Euis.
“Pada usia 35 tahun, ia menikahi istri ketiganya bernama ibu Upah/Ipah. Namun dari pernikahan ini tidak dikaruniai keturunan,” tuturnya.
Selama tinggal di Cicau, Kiai Abdul Hamid terus menegakkan dakwah Islamiyyah, sebagai bukti perjuangan dalam memberantas kemusyrikan. Sebab, saat itu di daerah tersebut kemusyrikan masih sangat kental dalam masyarakat.
Pusat sesembahan berhala yang terkenal dengan nama Panyembahan (Karantenan), mampu dihancurkan dengan berkah karomah Kiai Abdul Hamid.
Berjuang Mempertahankan Kemerdekaan NKRI
Meski Kiai Abdul Hamid secara ideologis dan basis agama NU tulen, namun di tahun 1944 sempat bergabung bersama Partai Masyumi.
Kemudian Kiai Abdul Hamid pun membentuk Hizbullah dan Sabilillah yang merupakan laskar perjuangan di tahun 1946.
Sebelum berangkat ke Bandung untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan RI, laskar tersebut berlatih selama 5 bulan di Pesantren Cicau/Al Hamidiyah.
“Pulang dari Bandung, laskar perjuangan tersebut memutuskan kembali ke Langkaplancar,” ucapnya.
Baca Juga: Sejarah Pesantren di Jawa Barat Tahun 1800-1900, Basis Pendidikan Islam yang Ditakuti Belanda
Akan tetapi, di Langkaplancar saat itu masuk paham Darul Islam (DI), yang tidak sejalan dengan pemikiran dan pemahaman Kiai Abdul Hamid. Sehingga membuat kondisi masyarakat di daerah tersebut berubah.
Dengan adanya DI, membuat Kiai Abdul Hamid bersama pasukannya memutuskan untuk bermukim di Gunung Kutu/Gunung Singkup. Gunung tersebut berada di Desa Bojongkondang, Kecamatan Langkaplancar.
Sekaligus, di Gunung Kutu menjadi tempat untuk mengatur berbagai strategi dan juga riyadhoh.
Namun, kata Ucu, Kiai Abdul Hamid pun dituduh menjadi pendukung atau berpihak kepada Belanda. Hal tersebut karena ia menolak untuk bergabung dengan DI.
“Padahal, Belanda sendiri saat itu berusaha mencari Kiai Abdul Hamid. Pasukan Belanda membunuh siapa saja, yang mereka anggap kiai dengan harapan salah satunya adalah Abdul Hamid,” katanya.
Wafatnya Kiai Abdul Hamid
Karena fitnah terhadap Kiai Abdul semakin menjadi, maka para sahabatnya pun memberikan saran, supaya pindah ke daerah Karang Gedang Ciamis.
Usulan dari sahabatnya tersebut pun ia terima, dan kemudian tinggal di daerah tersebut hampir 7 bulan lamanya.
Baca Juga: Sejarah Pembangunan Jalur Kereta Api Banjar-Pangandaran yang Bikin Bangkrut Pengusaha Swasta
Namun perjuangan Kiai Abdul Hamid terhenti, setelah gerombolan PKI membunuhnya. Selain itu, ketiga santrinya yaitu Kiai Zaenal Mutaqin, Kiai Zaenal Arifin dan Ajengan Sa’aduddin juga ikut tewas.
PKI memfitnahnya Kiai Abdul Hamid bersama santrinya yang bergabung dengan Belanda. Mereka diculik dan kemudian dibawa ke daerah Cigembor Ciamis. Di sana mereka dibunuh dengan kejam.
“Kiai Abdul Hamid wafat pada tahun 1949. Beliau dimakamkan di Dusun Karang Gedang Desa Linggasari Ciamis bersama ketiga santrinya,” terangnya.
Penerus Perjuangan Kiai Abdul Hamid di Ponpes Al Hamidiyah
Sejak Kiai Abdul Hamid hijrah ke Ciamis, Pesantren Cicau terjadi fatrah sekitar 10 atau 11 tahun. Bahkan, terlihat semak belukar dan ilalang serta rumput liar di masjid tersebut.
Kemudian sekitar tahun 1960, beberapa tokoh masyarakat meminta kepada adik kandung Kiai Abdul Hamid yakni KH. Anwar Sanusi (Ajengan Ace), untuk tinggal di Cicau.
Sejumlah tokoh masyarakat meminta kepada Ajengan Ace, untuk meneruskan perjuangan Kiai Abdul Hamid. Dan juga mengurus serta mengasuh Pesantren Cicau.
Di bawah asuhan KH Anwar Sanusilah, pesantren yang sebelumnya bernama Cicau, berganti nama Al Hamidiyah.
“Sejak itulah Pesantren Al Hamidiyah terus berkembang pesat. Bahkan sekarang sudah ada lembaga pendidikan, baik yang formal maupun non formal,” pungkas Ucu. (Enceng/R5/HR-Online/Editor: Adi Karyanto)