Direktorat Bea dan Cukai di Indonesia akhir-akhir ini menjadi topik yang hangat dibicarakan di media sosial. Pasalnya, terdapat banyak keluhan mengenai alur masuknya barang yang dianggap bertele-tele, bahkan beberapa orang mengaku mendapatkan biaya tambahan yang tidak masuk akal.
Baca Juga: Sejarah Peringatan Hari Buruh di Indonesia, Dirayakan Soekarno, Dilarang Orde Baru
Namun, dibalik beberapa kontroversi tersebut tidak bisa dipungkiri bahwa sejarah Direktorat Bea Cukai Indonesia cukup panjang.
Bea cukai yang sudah ada sejak masa kerajaan-kerajaan di Nusantara ini menjadi salah satu sumber keuangan yang cukup menguntungkan sejak dulu.
Apalagi wilayah Nusantara menjadi salah satu pusat perdagangan dunia yang cukup ramai kala itu.
Merangkum dari berbagai sumber, tulisan ini akan mengulas seputar sejarah Bea Cukai, dari masa kerajaan hingga Indonesia merdeka
Sejarah Bea dan Cukai di Indonesia
Perkembangan bea cukai di Indonesia memang sudah bisa kita telisik sejak masa-masa kerajaan di Nusantara. Terdapat beberapa tempat yang biasanya menjadi pusat dari penarikan bea cukai, salah satunya adalah pelabuhan.
Mengutip dari buku “Sejarah Nasional Indonesia Jilid 3: Zaman Pertumbuhan & Perkembangan Kerajaan Islam di Indonesia” (2008).
Bagi kerajaan-kerajaan maritim di Indonesia, pelabuhan merupakan pintu gerbang bahan-bahan ekspor dan impor. Di sini arus impor dan ekspor dapat diawasi dan dikenakan bea sepenuhnya.
Baca Juga: Sejarah Bandoengsche Melk Centrale, Perusahaan Susu Paling Modern di Hindia Belanda
Menurut sejumlah laporan dari Belanda yang pernah melakukan kunjungan ke kerajaan-kerajaan di Nusantara pada periode abad XV-XVII, terdapat tolhuis yang merupakan tempat para petugas melakukan pungutan cukai dari orang-orang yang masuk dan keluar dari kerajaan.
Beberapa wilayah yang kala itu tempat para petugas yang memungut bea cukai yaitu di wilayah Banten dan Palembang.
Menurut keterangan Tom Pires, salah satu wilayah yang melakukan pungutan terhadap bea cukai adalah pelabuhan di Malaka.
Tom Pires menuturkan ketika tiba di Malaka para pedagang wajib membayar bea cukai terlebih dahulu, baru diperbolehkan berdagang di sana.
Jumlah pembayaran yang harus dilakukan oleh para penjual pun biasanya diatur menurut ukuran dan timbangan tersendiri.
Selain itu, dari sisi ukuran dan beratnya, terdapat pula aturan mengenai tarif jenis-jenis barang hingga asal barang yang hendak diperjual-belikan di Malaka.
Kebijakan lain yang tak kalah penting adalah mengenai persembahan yang harus diberikan oleh para pedagang kepada raja, bendahara, tumenggung, dan syahbandar.
Baca Juga: Smokkel, Bajak Laut Penyelundup Senjata Api di Hindia Belanda 1922
Bea Cukai Masa Penjajahan Belanda
Pada bidang kepabean atau bea dan cukai masa penjajahan Belanda, terdapat beberapa kebijakan. Seperti pada masa VOC, petugas pabean yang melakukan pungutan disebut dengan “tollenaar”.
Mereka bertugas di wilayah tapal batas negara atau pantai untuk memungut bea dan cukai terhadap barang-barang yang masuk dan keluar.
Setelah era kekuasaan VOC runtuh dan resmi digantikan oleh Belanda, aturan yang mengatur terkait masuk dan keluarnya barang diatur dalam Indische Tarief Wet 1910 No 79. Perubahan aturan tersebut mulai dilakukan sejak tahun 1865 hingga 1931.
Mengutip dari buku “Kepabeanan, Imigrasi, Karantina dan Logistik Internasional” (2023), bahwa untuk mengatur keluar masuknya barang di Hindia Belanda terdapat lembaga khusus yang menanganinya.
Lembaga Khusus Bea Cukai Zaman Belanda
Lembaga tersebut bernama De Dienstder Invoeren Uitvoerrechten en Accijnzen (I.U & A), artinya sebagai Dinas Bea Impor dan Cukai.
Berikut ini beberapa tugas penting lembaga tersebut:
1. Invoerrechten (bea impor/masuk)
2. Uitvoer Rechten (bea ekspor.keluar)
3. Accijnzen (Excis atau cukai)
Sejak berdirinya lembaga yang bertugas untuk mengurusi bea cukai di Hindia Belanda inilah istilah bea dan cukai mulai muncul di Indonesia.
Bea sendiri berasal dari bahasa Sanskerta dan cukai berasal dari bahasa India. Istilah ini yang kemudian dipakai di Indonesia hingga sekarang.
Pungutan cukai pertama pada masa penjajahan Belanda dilakukan terhadap minyak tanah berdasarkan Ordonnantie van 27 Desember 1886 No 249.
Pungutan tersebut dilakukan terhadap minyak tanah. Beberapa produk lain yang juga mendapatkan cukai adalah seperti alcohol sulingan, bir, tembakau, hingga gula.
Nasib Bea Cukai Pasca Indonesia Merdeka
Mengutip dari situs beacukai.go.id, pasca kemerdekaan Indonesia, produk hukum Belanda beserta pelaksanaannya masih berlaku hingga tahun 1995.
Meskipun pasca kemerdekaan Indonesia menerapkan produk hukum masa pendudukan Belanda, namun ada beberapa aturan diskriminatif yang dihilangkan.
Pada masa pendudukan Belanda memang banyak perlakukan diskriminatif yang diterapkan oleh Pemerintah Belanda.
Khusus penanganan urusan bea dan cukai pasca kemerdekaan, maka terbentuklah Pejabat Bea dan Cukai pada 1 Oktober 1946. Pemimpin lembaga ini adalah R.A Kartadjoemena sebagai Kepada Pejabat Bea dan Cukai yang pertama.
Perubahan juga sempat terjadi pada tahun 1948 dengan terbitnya PP Nomor 51 Tahun 1948 yang mengganti istilah Pejabat Bea dan Cukai menjadi Jawatan Bea dan Cukai yang bertahan hingga tahun 1965.
Baca Juga: Sejarah Sekolah Cina di Indonesia, Hollands Chinese School
Pasca tahun 1965, lembaga tersebut berganti menjadi Direktorat Bea dan Cukai (DJBC) yang bertahan hingga sekarang. (Azi/R3/HR-Online/Editor: Eva)