Peringatan Hari Film Nasional setiap 30 Maret memiliki sejarah panjang dalam dunia perfilman di Indonesia.
Momen Hari Film Nasional ini sendiri mengacu pada peristiwa pengambilan gambar film “Darah dan Doa” yang menjadi film produksi Perusahaan Film Indonesia (Perfini) yang pertama.
Darah dan Doa bercerita tentang perjalanan pulang Divisi Siliwangi dari Yogyakarta menuju daerah Jawa Barat. Tokoh utama pemimpin long march itu adalah Kapten Sudarto dengan sekelumit kisah hidupnya.
Film hitam putih ini menjadi tanda dan momen peringatan bagi Hari Film Nasional. Presiden BJ Habibie kala itu menetapkan 30 Maret sebagai Hari Film Nasional.
Baca Juga: Sejarah Bioskop Majestic di Bandung, dari Arsitektur Bangunan hingga Nasibnya Pasca Kemerdekaan
Sejarah Hari Film Nasional, Kenapa Tanggal 30 Maret?
Mengutip dari “Merayakan Film Nasional” (2017), penetapan Hari Film Nasional terinspirasi dari hari pertama pengambilan gambar film “Darah dan Doa”.
Dewan Film Indonesia (DFI) menetapkan Hari Film Nasional dalam pertemuan organisasi-organisasi film tanggal 11 Oktober 1962.
Memang pada awalnya terdapat usulan lain berkaitan dengan hari film nasional ini, salah satu usulannya yaitu pada tanggal 19 September. Tanggal tersebut merupakan tanggal syuting pidato pertama presiden Soekarno di Lapangan Ikada.
Sejarah mencatat sejumlah kontroversi mengenai penetapan Hari Film Nasional. Kontroversi ini sebenarnya masih berlanjut. Seperti pada tahun 1964 pegiat perfilman Komunis mengusulkan agar tanggal 9 Mei menjadi Hari Film Nasional.
Alasan 9 Mei karena berdasarkan tanggal pendirian Panitia Aksi Pemboikotan Imperialis Amerika Serikat.
Namun usulan dari kelompok Komunis mereda ketika terjadinya kasus G30S, alhasil usulan tersebut menguap begitu saja.
Pasca kejadian G30S masih terdapat beberapa konflik mengenai penentuan kapan Hari Film Nasional. Melalui berbagai perdebatan yang alot, keputusan peringatan Hari Film Nasional pun jatuh pada Tanggal 30 Maret.
Penetapan Hari Film Nasional melalui Keputusan Presiden No. 25 Tahun 1999. BJ Habibie menandatangani Keputusan Presiden tersebut tepat pada 29 Maret 1999.
Momen penandatangan menjadi sedemikian sakral karena 1 hari kemudian, yaitu 30 Maret dan tepat 49 tahun yang lalu untuk pertama kalinya film karya anak bangsa yang berjudul “Darah dan Doa” diproduksi.
Film Darah dan Doa
Sejarah Hari Film Nasional tidak bisa lepas dari film Darah dan Doa. Mengutip dari laman LSF, Film Darah dan Doa atau Long March Siliwangi merupakan sebuah film karya Usmar Ismail.
Film ini merupakan film pertama yang disutradarai dan diproduksi oleh perusahaan film Indonesia (Perfini).
Film Darah dan Doa ini dianggap sebagai salah satu film paling nekat. Pasalnya, film ini sama sekali tidak memiliki anggaran yang mumpuni untuk produksi sebuah film.
Tak hanya itu para pemain hingga orang yang terlibat dalam produksinya tidak memiliki pengalaman dalam dunia film kecuali satu orang kameramen.
Usmar Ismail sendiri harus merangkap jabatan selama masa produksi, mulai dari produser, sutradara, penulis skenario, make up man, dan lain-lain.
Film hitam putih yang rilis pada 1 September 1950 ini sebenarnya bercerita tentang perjalanan prajurit Divisi Siliwangi. Pimpinannya bernama Kapten Sudarto.
Perjalanan dari Yogyakarta menuju Jawa Barat ini merupakan salah satu perjalanan yang cukup berat bagi pasukan Siliwangi.
Pasalnya, selama perjalanan tersebut pasukan Divisi Siliwangi tak hanya harus menghadapi pasukan Belanda, melainkan juga pasukan pemberontakan.
Baca Juga: Sejarah Monumen Bandung Lautan Api, Saksi Bisu Perjuangan Rakyat Usir Penjajah
Tokoh utama dalam film ini Kapten Sudarto merupakan sosok yang mudah bimbang dalam mengambil keputusan.
Film yang menjadi bagian dari sejarah Hari Film Nasional ini memiliki genre drama dan perang. Kisah yang tersaji pun tentang bagaimana sosok Sudarto dalam menghadapi kehidupannya.
Darah dan Doa juga berfokus pada sosok Sudarto yang terlibat dalam perselingkungan dengan seorang keturunan Jerman dan seorang perawat.
Padahal ketika itu Sudarto sudah memiliki seorang istri. Akhir kisah ditutup dengan tewasnya Sudarto di tangan anggota Partai Komunis Indonesia.
Film yang Diperdebatkan
Meskipun film ini menjadi pelopor dari film nasional pertama yang dibuat oleh anak bangsa dengan pendanaan yang terbatas, tak bisa dipungkiri terdapat perdebatan yang cukup alot mengenai identitas film ini.
Hal itu pun membuat sejarah Hari Film Nasional terus menuai kritikan sejalan dengan kritikan terhadap film karya Usmar Ismail tersebut.
Kritikan-kritikan muncul dari kelompok kiri yang menilai Umar Ismail dan karya-karyanya bukanlah nasionalisme atau kontra-revolusioner.
Perdebatan lain yang seringkali muncul adalah mengenai identitas ke-Indonesia-an dalam sebuah karya film. Beberapa pihak menilai film-film yang berisi tentang perjuangan rakyat Indonesia merupakan film nasional.
Jika mengacu pada pendapat tersebut, film karya Usmar Ismail, Darah dan Doa masuk dalam kategori film nasional pertama.
Ide dan pendapat ini mendapatkan persetujuan dari Presiden BJ. Habibie yang memberikan pujian dan sanjungan terhadap karya Usmar Ismail.
Presiden BJ Habibie menilai bahwa karya-karya Usmar Ismail mencerminkan kepribadian bangsa dan tidak bergantung pada komersialitas.
Apalagi, jika kita lihat memang pada masa-masa sebelumnya yaitu pendudukan Belanda dan Jepang, film yang hanya kebanyakan menjadi alat propaganda.
Baca Juga: Profil Ismail Marzuki, Berjuang Lewat Musik dan Sastra
Meskipun penuh dengan perdebatan dan kontroversi, banyak yang mengakui karya Usmar Ismail ini patut mendapatkan apresiasi. (Azi/R7/HR-Online/Editor-Ndu)