Sejarah jurnalistik di Indonesia tak terlepas dari sosok Mas Marco Kartodikromo. Hal ini karena namanya begitu kondang di era kolonial Belanda. Dalam sejarah Indonesia pun mengukir namanya sebagai sosok yang berani mengkritik kebijakan pemerintah Belanda.
Baca Juga: Kisah Bung Karno, Seniman Teater dengan Jiwa Negarawan Sejati
Dalam menyuarakan isi hatinya tersebut, ia menulisnya di kolom surat kabar. Bukan hanya itu saja, ia juga kondang sebagai pelopor jurnalis terkemuka. Sejarawan asing yang namanya Takashi Shirashi menyebutnya dengan julukan Ksatria.
Sejarah Jurnalistik di Indonesia Seputar Mas Marco Kartodikromo
Dengan nama lengkap Mas Marco Kartodikromo, ia lahir di Cepu, Blora pada tahun 1890. Ia terlahir dari pasangan priyayi menengah.
Sementara untuk pendidikannya, ia pernah masuk sekolah bumiputera Angka Dua yang ada di Bojonegoro. Tak hanya itu, ia juga pernah masuk sekolah swasta Bumiputera Belanda yang berada di Purworejo, Jawa Tengah.
Dengan background pendidikan tersebut, ia lantas berkarier sebagai pekerja di perusahaan pemerintah. Pekerjaan yang ia tekuni sekitar tahun 1905 ini fokus di Dinas Kehutanan sebagai juru tulis.
Dalam sejarah jurnalistik di Indonesia selanjutnya, ia pindah pekerjaan di perusahaan swasta Belanda yang ada di Semarang. Selama bekerja, ia juga belajar menguasai bahasa Belanda.
Lalu di tahun 1911, ia pindah ke Bandung dan gabung bersama bintang-bintang surat kabar Medan Prijaji. Mulai dari Ki Hadjar Dewantara sampai dengan Tirto Adhisoerjo.
Awalnya ia hanya sebagai peserta magang. Namun dengan kegigihannya belajar bersama dua tokoh pers tersebut lantas menjadikannya sebagai jurnalis profesional.
Akan tetapi, Medan Prijaji mengalami kebangkrutan. Ia pun pindah ke surat kabar Sarotomo sekitar tahun 1912. Ia jadi administrator dan editor.
Mendirikan Inlandsche Journalisten Bond
Di sejarah jurnalistik Indonesia, tepatnya pada zaman kolonial Belanda, Marco dikenal sebagai jurnalis pemberontak. Hal ini lantaran ada banyak aksi yang ia lakukan untuk mengkritik pemerintah.
Selain menulisnya di surat kabar, ia juga mendirikan organisasi khusus di Surakarta sekitar tahun 1914. Organisasi tersebut berisikan perkumpulan jurnalis. Namanya sendiri ialah Inlandsche Journalisten Bond (IJB).
Lebih lanjut, ia juga mendirikan perusahaan Doenia Bergerak. Melalui perusahaan tersebut, Marco selaku ketua IJB bersama rekan-rekannya mengkritik pemerintah.
Baca Juga: Sejarah Penunjukkan Mayjen Soeharto sebagai Panglima Komando Mandala
Bahkan ia pernah mengkritik penasihat urusan bumi putera D.A Rinkes. Karena aksinya ini, ia harus rela masuk ke pengasingan yang ada di Boven Digoel, Papua sampai akhir hayatnya.
Respon Sejarawan
Sebagai jurnalis kondang dalam sejarah jurnalistik di Indonesia, Mas Marco mendapatkan penilaian dari sejarawan. Salah satunya ialah Takashi Shiaraishi. Respon sang sejarawan tertuang dalam buku berjudul Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926.
Di buku tersebut, ia menyebut bahwa Mas Marco memiliki keinginan kuat untuk dipandang sama dengan orang Belanda. Ia juga menilai bahwa Mas Marco mendapatkan didikan bergaya barat sejak kecil.
Karena hal itu, Mas Marco sangat antusias dengan modernitas meski kemampuan berbahasa Belanda yang ia miliki belum memadai. Hal tersebut juga tak menyurutkan tekadnya untuk bergaul dengan orang Eropa.
Respon terhadapnya juga datang dari Tony Firman. Melalui jurnal sejarah yang judulnya Marco Kartodikromo: Tokoh Jurnalis Pergerakan dari Blora, ia menyebutnya sebagai tokoh pejuang jurnalis pertama yang ada di Tanah Air.
Karya Mas Marco Kartodikromo
Dalam sejarah jurnalistik di Indonesia, Mas Marco Kartodikromo memiliki banyak karya yang masih terkenang hingga kini. Salah satunya yaitu Student Hidjo. Novel roman ini menceritakan kondisi di era pergerakan menuju Indonesia.
Melalui novel ini, pembaca bisa tahu bagaimana kisah Hidjo yang menuntut ilmu ke Belanda. Novel ini juga menggambarkan budaya pemuda asli Indonesia yang adopsi budaya sekaligus bahasa Barat.
Terkait karya dalam sejarah jurnalistik di Indonesia tersebut, ada penilaian dari warganet yang terlihat di postingan akun Instagram @pengedar_buku. Di postingan seputar Student Hidjo ini, warganet menilai bahwa karya ini jadi buku wajib mahasiswa.
Ada juga warganet yang menyebut buku ini sebagai autokritik sosial dalam kultur masyarakat di masa penjajahan dan basis riil penjajah. Kesannya tampak analitik, kritis, dan kontrastif yang apik.
Baca Juga: Sejarah Penjara Banceuy yang Berdiri Tahun 1877, Kini Jadi Wisata Paris Van Java
Dari sejarah jurnalistik di Indonesia di atas, terlihat jelas bahwa Mas Marco Kartodikromo begitu terkenal. Ia tak ragu menyampaikan kritiknya terhadap pemerintah Belanda. Meski harus berkali-kali masuk bui, ia tetap gigih berjuang hingga akhirnya tutup usia di pengasingan. (R10/HR-Online)