Pada zaman penjajahan kolonial, Ibukota Hindia Belanda kala itu berada di Batavia. Namun, Batavia dinilai memiliki kualitas buruk, baik dari sisi kesehatan hingga faktor militer. Karena alasan tersebut, Pemerintah Hindia Belanda pun berencana memindahkan ibukota ke daerah Priangan, tepatnya ke Bandung.
Baca Juga: Profil Maskoen Soemadiredja, Tokoh PNI asal Bandung yang Diasingkan ke Australia
Tetapi setelah terjadi depresi besar-besaran yang melanda dunia pada tahun 1929, rencana pemindahan ibukota pun akhirnya gagal.
Merangkum dari berbagai sumber, tulisan ini akan mengulas tentang sejarah gagal pindahnya ibukota dari Batavia ke Bandung.
Latar Belakang Rencana Pindahnya Ibukota Hindia Belanda
Daerah Priangan merupakan kawasan yang amat disukai oleh orang-orang Belanda pada masa Pemerintahan Hindia Belanda. Kawasan itu mereka sukai karena keadaan hingga cuaca dinginnya yang hampir mirip di Belanda.
Tak hanya itu, daerah Priangan sendiri merupakan pusatnya aset-aset perekonomian bagi mereka yang berprofesi sebagai pemilik kebun teh. Sehingga tak heran, banyak orang-orang Belanda yang mendirikan rumah di Bandung untuk menetap.
Mengutip dari buku berjudul “Ibukota Negara, Jadi Pindah?” (2020), pada awal abad 20, JP Graff van Limburg Stirum, Gubernur Jenderal (1916-1921), datang membawa ide untuk memindahkan Ibukota Hindia Belanda ke Bandung.
Gagasan ini sebenarnya berasal dari hasil kajian dan studi H.F. Tillema, seorang ahli kesehatan Belanda kelahiran Groningen. Kala itu ia pernah bertugas di Semarang, dan fokus dalam melakukan penelitian tentang kesehatan kota-kota di pesisir Utara Jawa.
H.F. Tillema menilai bahwa kota-kota di pesisir Utara Jawa dan kawasan Batavia tidak sehat untuk kantor pemerintahan, niaga, industri, pendidikan, dan lain-lain.
Kawasan Batavia juga memang sejak dulu menjadi daerah yang kurang cocok untuk ditinggali karena sistem pengairannya yang buruk. Selain itu, di kawasan ini juga menjadi tempat penyakit mematikan seperti malaria, kolera hingga disentri.
Gagasan inilah yang dianggap menjadi cikal bakal dari rencana pemindahan Ibukota Hindia Belanda kala itu yang berada di Batavia ke Bandung.
Proses Perpindahan Ibukota dari Batavia ke Bandung
Mengutip dari “Ekspedisi Anjer-Panaroekan: laporan jurnalistik Kompas: 200 Tahun Anjer-Panaroekan, Jalan (untuk) Perubahan” (2008). Mengenai rencana pemindahan tersebut, kawasan Bandung dibangun besar-besaran.
Pembangunan tidak hanya pada sektor kompleks perkantoran, Gedung Sate, namun juga sektor-sektor lainnya yang membuat Bandung berkembang menjadi kota modern.
Sektor lain yang kala itu ikut digalakkan juga adalah taman-taman kota, dan jaringan transportasi yang memadai. Sehingga memudahkan bagi orang-orang Belanda untuk melakukan mobilisasi.
Salah satu usaha membangun jaringan transportasi ini adalah, dengan optimalisasi jaringan rel yang menghubungkan Batavia dengan Bandung melalui jalur Purwakarta dan Cikampek.
Perusahaan kereta api negara (Staats Spoorwegen) yang kala itu menjadi pengoperasi empat rangkaian kereta selama sehari untuk jalur tersebut.
Baca Juga: Sejarah Pertempuran Gedung Sate, Kisah Heroik Para Pemuda Melawan Pasukan NICA
Bandung Tempat Istirahatnya Orang-orang Eropa
Jalur ini menjadi jalur yang cukup ramai dan padat, terutama oleh orang-orang Eropa dari Batavia. Hal ini karena Bandung sudah sejak lama dikenal sebagai tempat beristirahatnya orang-orang Eropa.
Berkembang pesatnya arus transportasi kala itu menyebabkan mobilisasi yang terjadi di kawasan Bandung menjadi semakin padat.
Proses hijrahnya Ibukota Hindia Belanda dari Batavia ke Bandung itu sebenarnya melibatkan puluhan arsitek dari Hindia Belanda. Mereka bertugas menyulap Bandung menjadi Paris van Java.
Tercatat terdapat beberapa nama arsitek terkenal yang terlibat kala itu, seperti Maclaine Pont, J Gerber, G Hendriks, EH de Roo. Kemudian, Thomas Karsten, Ed Cuypers, A.F Aalbers, Thomas Nox, RLA Schoemaker, dan Wolff Schoemaker.
Rencana pemindahan ibukota tersebut juga mendapatkan tanggapan dari kantor-kantor jawatan Pemerintah Hindia Belanda. Mereka mulai beramai-ramai melakukan pemindahan kantor-kantor ke Bandung. Namun, yang lebih sigap kala itu adalah pihak swasta.
Tercatat akibat dari proses hijrah ini, dalam rencang tahun 1905 hingga 1927 jumlah masyarakat Bandung naik hingga tiga kali lipat.
Depresi Ekonomi di Hindia Belanda
Meskipun sudah dipersiapkan sedetail mungkin, namun naasnya pemindahan Ibukota Hindia Belanda menemui kegagalan. Salah satu penyebabnya adalah terjadinya depresi ekonomi dunia.
Soegijanto Padmo dalam buku “Depresi 1930-an dan Dampaknya terhadap Hindia Belanda”, depresi dunia 1930-an menimbulkan situasi ekonomi yang sulit di seluruh dunia, termasuk Hindia Belanda. Terutama pada industri perdagangan ekspor.
Pasalnya, harga komoditi di pasar dunia merosot tajam, demikian pula permintaannya. Hal ini kemudian berefek terhadap ekspor dari tanah jajahan yang menurun. Alhasil, banyak perusahaan yang ada di Jawa maupun Sumatera Timur bangkrut.
Situasi sebenarnya sempat membaik pada periode 1936-1937. Namun, pasca tersebut keadaan dunia menjadi semakin kacau ketika terjadi Perang Dunia II, yang membuat dunia menjadi lebih krisis.
Rentetan-rentetan tersebut kemudian memberikan dampak yang tidak sedikit bagi Pemerintah Hindia Belanda. Terbukti pasca berbagai kejadian itu membuat rencana pemindahan Ibukota Hindia Belanda menjadi batal.
Tak hanya itu, Hindia Belanda juga dipaksa untuk terlibat dalam Perang Dunia II yang ditandai dengan ekspansi Jepang ke daerah Asia Tenggara, termasuk Hindia Belanda kala itu.
Selepas jatuhnya Jepang dan Indonesia resmi merdeka, daerah yang telah resmi menjadi Indonesia sibuk dengan berbagai perang revolusi fisik. Kejadian-kejadian inilah yang membuat impian pemindahan ibukota dari Batavia ke Bandung hanya menjadi angan-angan saja.
Kini, Pemerintah Indonesia pun berencana memindahkan ibukota negara dari Jakarta (dulu Batavia), ke Penajam Paser, Kalimantan.
Dalam momentum Pilpres 2024 ini, rencana pemindahan ibukota negara pun terus menjadi topik perbincangan yang hangat.
Baca Juga: Sejarah Masjid Tertua di Bandung Utara Karya Arsitek Belanda
Sosok presiden yang terpilih dalam Pilpres 2024 nanti yang dapat memutuskan apakah pemindahan Ibukota Negara Indonesia ke Kalimantan tetap berlanjut atau sebaliknya. (Azi/R3/HR-Online/Editor: Eva)