harapanrakyat.com,- Isu hoaks jelang Pemilu menyasar pemilih pemula melalui platform digital. Adanya penyebaran gangguan informasi terkait misinformasi dan disinformasi seputar Pemilu 2024 berdampak tidak sehat dalam perjalanan demokrasi di Indonesia.
Baca Juga: Pengawasan Orang Asing di Karawang Jelang Pemilu 2024, Perkuat Sinergitas Tim Pora
Berdasarkan hasil riset CSIS (Center for Strategic and International Studies), sekitar 114 juta orang jumlah pemilih muda (Milenial dan Gen Z) akan menentukan hasil Pemilu 2024.
Hal itu terungkap dalam diskusi menyambut Pemilu dengan tema “Pemilih Pemula dan Isu Hoaks jelang Pemilu 2024” yang digelar AMSI (Asosiasi Media Siber Indonesia) bersama AJI, Mafindo, dan anggota Koalisi Cek Fakta, pada Senin (5/2/2024).
Perwakilan dari Lembaga Riset Binokular Oleg Widyoko menjelaskan, sejak awal Januari-Februari ini tercatat 4 juta lebih percakapan terkait Pemilu 2024. Dari jumlah percakapan sebanyak itu dengan 263 akun yang terlibat, total likes-nya hampir mencapai 178 juta.
“Data tersebut menunjukan interest public memang cukup tinggi. Apalagi tema diskusi ini mengenai pemilih pemula. Binokular mencatat dalam percakapan media sosial ada pertumbuhan audiens yang terlibat,” ujar Oleg.
Dampak Isu Hoaks Jelang Pemilu 2024 bagi Pemilih Pemula
Sementara itu, Ronald Michael Manoach, Tenaga Ahli Bawaslu RI, mengatakan, dari November 2023 hingga Februari 2024, pihaknya menemukan dugaan pelanggaran yang cukup banyak dalam platform. Hal itu pun berdampak terhadap pemilih pemula.
“Berdasarkan hasil pengamatan kami, memang sangat disayangkan dengan adanya aktivitas yang lajunya tak bisa terbendung terkait atmosfer hoaks atau disinformasi yang banyak menyasar pemilih muda atau pemilih pemula melalui platform digital. Dampaknya, perjalanan demokrasi kita menjadi tidak sehat,” kata Ronald.
Baca Juga: DKPP Putuskan Ketua KPU Langgar Kode Etik di Pemilu 2024, Ini Tanggapan THN Amin
Bahkan, Lembaga CSIS melalui program Safer Internet Lab memetakan peta atau distribusi penyebaran gangguan informasi terkait disinformasi dan misinformasi di 34 provinsi.
Kepala Departemen Politik dan Social CSIS Arya Fernandes menjelaskan, pengumpulan data mulai bulan September 2023. Jumlah sampel yang dipilih secara acak mencapai 13,020, dan terdistribusi secara proporsional.
Ia menyebutkan, ada temuan menarik mengenai aksesibilitas internet, yang mana pada tahun 2023 akses publik pada internet meningkat cukup tinggi dari tahun 2019.
“Tahun 2019 ada sekitar 58,3 persen orang mengakses internet, lalu pada tahun 2023 naik menjadi 64,5 persen,” ungkap Arya.
Ia menyebutkan, di perkotaan, sebagian besar yang mengakses internet berasal dari kalangan usia muda yang memiliki pendapatan cukup tinggi dan lulusan pendidikan tinggi.
Kalangan usia muda itu termasuk pihak yang sangat potensial menerima gangguan informasi atau isu hoaks menjelang Pemilu 2024.
Sistem Pemilu Paling Rumit di Dunia
Permasalahan tersebut juga menjadi sorotan Titi Anggraini, Ahli Hukum Pemilu dari Fakultas Hukum UI (Universitas Indonesia).
Ia menyoroti terjadinya kompleksitas pada Pemilu 2024. Hal itu tercermin dari banyaknya pemilih dalam pesta demokrasi tahun ini yang jumlahnya mencapai 204 juta orang. Dengan jumlah kandidat yang tersebar pada ribuan dapil mencapai 214.775 orang.
Titi Anggraini menilai bahwa sistem pemilihan umum seperti ini merupakan sistem pemilu paling rumit di dunia.
Pembina Perludem tersebut juga mengatakan, dengan kandidat yang memiliki latar belakang dan karakteristik beragam, hal ini membuat pemilih mengalami kesulitan. Karena mereka harus membuat keputusan untuk memilih hanya berdasarkan informasi.
Sementara itu, Felix Lamuri, Direktur Eksekutif AMSI, mendesak upaya kolektif sebagai solusi bagi publik untuk menjawab tantangan yang kompleks, dari asupan informasi yang salah.
Baca Juga: 30 Jurnalis Dilatih untuk Bendung Hoax Jelang Pemilu 2024
Dengan dukungan Google News Initiative, Koalisi Cek Fakta menekankan pentingnya memprioritaskan informasi yang akurat. Serta mendorong kesadaran publik jelang Pemilu 2024. (Eva/R3/HR-Online)