harapanrakyat.com,- Keterangan berbeda dilontarkan pelapor dan terlapor dalam kasus dugaan money politic di Kabupaten Ciamis yang menyeret caleg DPR RI dapil X Jawa Barat inisial RA. Hal itu membuat akademi Universitas Galuh angkat bicara.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Galuh, Dr Erlan Suwarlan, S.IP., M.I.Pol, mengatakan Bawaslu bisa menguji keterangan antara pelapor dan terlapor sesuai aturan yang berlaku.
Erlan menjelaskan, money politic merupakan upaya jual beli suara dalam arti caleg berusaha membeli kedaulatan rakyat.
“Caranya dengan menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih,” katanya, Jumat (23/2/2024).
Lanjut Erlan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dalam beberapa pasalnya menjelaskan money politic tersebut dilakukan saat kampanye, masa tenang, dan saat pemungutan suara.
Erlan juga mengingatkan, ada sanksi pidana untuk para pelaku money politic. Dalam pasal 280 ayat 1 huruf J, pelaku money politic saat masa kampanye diancam pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda Rp24 juta.
Sementara pelaku money politic saat masa tenang diancam pidana penjara paling lama 4 tahun. Selain itu juga denda Rp48 juta sesuai pasal 278 ayat 2.
Apabila money politic dilakukan saat pemungutan suara diancam pidana penjara paling lama 4 tahun dan denda Rp36 juta.
Baca Juga: Tuduhan Money Politic Caleg RA, Eti: Bukan dari Caleg, Itu Uang Saksi Partai di Ciamis
Kasus Dugaan Money Politic di Ciamis, Bawaslu Bisa Menguji Keterangan Pelapor dan Terlapor
Erlan pun meminta Bawaslu atau Gakkumdu menguji keterangan antara pelapor dan terlapor sesuai aturan yang berlaku.
“Saya membaca kondisi yang terjadi saat ini, pihak Bawaslu dan Gakkumdu harus membuktikan pernyataan pelapor dan terlapor. Karena di satu sisi, pelapor menyebut ada dugaan money politic, sementara di sisi lain terlapor membantah dan menyebut uang tersebut merupakan uang saksi partai,” jelasnya.
Erlan menjelaskan, saksi partai merupakan perwakilan yang mendapatkan mandat dari peserta Pemilu. Saksi juga memiliki hak dan kewajiban.
“Haknya misalnya menerima bayaran. Untuk kisaran nominal yang diterima, pada Pemilu 2019 lalu, rata-rata sekitar Rp100 ribu sampai Rp250 ribu,” jelasnya.
Sementara itu aturan tentang saksi, lanjut Erlan, jumlah saksi paling banyak dua orang untuk masing-masing pasangan calon, partai politik, atau calon perseorangan.
“Kemudian untuk saksi yang dapat memasuki TPS, itu hanya satu orang dalam satu waktu,” katanya.
Sesuai aturan, saksi juga dilarang memengaruhi dan mengintimidasi pemilih dalam menentukan pilihannya.
“Saksi juga dilarang melihat pemilih mencoblos surat suara dalam bilik. Termasuk juga dilarang mengganggu kerja KPPS dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya,” jelasnya.
Erlan menegaskan, perbedaan pernyataan antara pelapor dan terlapor dalam kasus dugaan money politic di Ciamis seharusnya bisa diuji sesuai aturan yang berlaku.
“Sesuai regulasi yang ada, nanti dapat terlihat atau diuji, terbukti atau tidaknya terlapor melakukan pelanggaran,” katanya.
Sementara itu sebelumnya, seorang warga Ciamis inisial N melaporkan adanya dugaan money politic yang melibatkan caleg DPR RI dapil X Jabar inisial RA.
Kronologi Dugaan Money Politic di Ciamis yang Menyeret Caleg Inisial RA
N mengaku mendapatkan amplop berisi uang Rp100 ribu saat masa tenang, 13 Februari lalu. Di dalam amplop tersebut juga terdapat kartu nama caleg inisial RA.
Mengaku gundah, N akhirnya melapor ke Bawaslu Ciamis dengan membawa sejumlah barang bukti.
Sementara terlapor, Eti Sumiati menyebut, uang yang diberikan tersebut merupakan uang saksi partai. Eti mengaku kaget saat didatangi Panwascam untuk klarifikasi kasus money politic tersebut.
“Saya menjawab apa adanya kepada Panwascam. Uang yang diberikan bukan kepada masyarakat, tetapi untuk saksi partai. Sedangkan stiker di dalam amplop, itu inisiatif saya, karena banyak saksi dari partai kita yang sudah tua. Ditakutkan salah ketika mengawal suara partai, jadi saya masukkan juga stiker,” tandasnya. (Fahmi/R7/HR-Online/Editor-Ndu)