Bimbo merupakan sebuah grup musik religi dari Bandung. Grup musik ini terbentuk pada tahun 1966, dan pernah gencar dalam melakukan kritikan terhadap Orde Baru.
Selain membawakan lagu religi, grup musik yang personilnya terdiri dari empat bersaudara ini memang kerap membawakan lagu-lagu bertema kritik sosial.
Tak heran kehadirannya membuat Orde Baru gerah melihatnya. Lagu-lagu Bimbo memang banyak menyampaikan pesan moral hingga pesan-pesan agama.
Pesan-pesan moral melalui musik agaknya menjadi salah satu metode yang efektif dalam menyampaikan kepada masyarakat. Terbukti lagu-lagu Bimbo selalu mendapatkan sambutan hangat dari masyarakat.
Merangkum dari berbagai sumber, tulisan ini akan mengulas tentang kisah grup musik Bimbo asal Bandung yang pernah mengkritik Orde Baru.
Bimbo, Grup Musik Religi dari Bandung yang Pernah Kritik Orde Baru
Mengutip dari buku berjudul “Suara Dakwah Islam dalam Musik Religi Bimbo 1974-1980: Suatu Kajian Sejarah Seni” (2017). Bimbo merupakan sebuah grup musik yang personilnya terdiri atas Sam, Darmawan, Jaka, dan Iin.
Mereka berempat bersaudara, dan Sam adalah kakak tetua, kemudian Darmawan, Jaka, dan bungsunya adalah Iin.
Kakak tertuanya, Sam Hardjakusumah lahir dari pasangan Dajat Hardjakusumah dan Uken Kenran pada 6 Mei 1942 di Cimahi.
Selang satu tahun kemudian lahirlah anak kedua yang diberi nama Darmawan Hardjakusumah. Dajat memanggil anak kedua ini dengan sebutan “Si Kecil” yang kemudian akrab disapa Acil. Nama ini pun melekat hingga sekarang.
Anak ketiga yang lahir dari pasangan Dajat dan Uken ini adalah Jaka Hardjakusumah lahir pada 1 Mei 1947.
Kemudian tepat pada 24 Mei 1949 lahir anak perempuan mereka yang bernama Satiyani Hardjakusumah dan akrab dipanggil Yani. Selang 15 bulan kemudian lahirlah anak mereka yang kelima dan diberi nama Agustina Hardjakusumah.
Anak terakhir yang lahir dari pasangan tersebut lahir tepat pada 1 November 1952 bernama Parlina Hardjakusumah. Anak mereka yang terakhir ini sering disapa dengan panggilan Iin.
Sejak kecil Sam dan Acil yang mendirikan Bimbo memang sudah terbiasa mendengar musik. Bahkan mereka merupakan penggemar penyanyi asal Indonesia yang bernama Sam Saimun.
Hal inilah yang membuat Sam dan Acil sejak kecil sudah termotivasi untuk belajar bernyanyi hingga memainkan alat musik. Uniknya lagi, mereka mempelajarinya secara otodidak dari buku-buku musik yang ada. Ketika mereka sudah paham, barulah mengajari Jaka.
Baca Juga: Rilis Single Lagu Perdana, Musisi Muda Asal Ciamis Ini Ajak Berani Berkarya
Bentuk Grup Musik The Alulas
Saat menginjak SMP, Sam dan Acil membentuk grup musik The Alulas. Ketika tampil, The Alulas sering membawakan lagu-lagu yang populer pada zaman itu, terutama musik-musik barat.
Tak heran, apabila dalam setiap penampilan panggungnya mereka banyak menirukan gaya-gaya musisi barat kala itu, terutama yang berasal dari Amerika Serikat.
Prestasi The Alulas pun terbilang cukup baik, mereka bahkan pernah menjuarai festival musik se-Jawa Barat dan sempat mendapatkan tawaran dari dapur rekaman.
The Alulas pun sempat berganti nama menjadi Aneka Nada. Bahkan, kala itu Guntur Soekarnoputra yang merupakan anak dari Presiden Soekarno sempat bergabung.
Namun, ketika terjadi peristiwa G30S, Guntur yang merupakan seorang aktivis kala itu pun sempat disibukkan dengan kegiatan organisasinya di GMNI.
Aneka Nada pun bubar dan tepat pada tahun 1967 Bimbo kemudian lahir. Pada saat itu, nama Bimbo masih menambahkan kata “Trio” dan dikenal dengan nama Trio Bimbo. Para personilnya kala itu adalah Sam, Acil, dan Jaka.
Pada tahun 1967 inilah menjadi awal dari perjalanan panjang grup musik religi dari Bandung bernama Bimbo.
Musik Religi Bimbo
Mengutip dari artikel berjudul “Dimensi Tasawuf dalam Musik Religi Bimbo, 1974-1980: Sebuah Kajian Sejarah” (2020), Bimbo membawakan lagu-lagu karyanya sendiri. Tak seperti grup music yang lain pada zaman itu yang hanya membawakan lagu karya orang lain. Hal ini merupakan sesuatu yang terbilang cukup unik di zamannya.
Dalam menciptakan lagu-lagu, Bimbo banyak dikerjakan oleh Sam dan Jaka. Sementara untuk bagian arasamen pengerjaannya secara bersama-sama personil Bimbo.
Pada tahun 1970, siaran-siaran radio terutama RRI banyak menyiarkan lagu-lagu Bimbo. Tanggapan masyarakat pun terbilang cukup baik. Bahkan dalam top list RRI urutan 1 sampai 3 kala itu berhasil diisi oleh lagu-lagu Bimbo. Terutama yang berjudul “Melati Jayagiri” dan “Flamboyan”.
Pada 10 Desember 1972, Bimbo mendapat undangan dalam acara Pertemuan Sastrawan Indonesia di Taman Ismail Marzuki. Dalam acara inilah Sam Bimbo bertemu dengan Taufiq Ismail dan menjadi awal mula dari kolaborasi apik antara Sam Bimbo dan Taufiq Ismail.
Kurang lebih sekitar 70 lirik lagu karya Taufiq Ismail yang menjadi lagu dan dinyanyikan oleh Bimbo. Meskipun mereka terhalang Bandung dan Jakarta, namun rutin berkomunikasi menciptakan lagu-lagu religi.
Ketika proses penciptaannya, Sam Bimbo mengirimkan rekaman arasemen musik dalam kaset yang kemudian diisi oleh Taufiq Ismail.
Era 1970-an, grup musik yang menyanyikan lagu religi tergolong cukup jarang. Melalui persentuhannya dengan Taufiq Ismail inilah gaya musik Bimbo mulai berubah menjadi musik untuk berdakwah. Bimbo banyak mengubah puisi-puisi Taufiq Ismail yang bertema Islam menjadi lagu religi.
Salah satu puisi Taufiq Ismail yang kemudian mengubahnya menjadi lagu yang berjudul “Tuhan”. Lagu ini pun menjadi salah satu lagu yang populer pada tahun 1974.
Selain itu, pada tahun 1976, Taufiq Ismail pernah membuat lirik lagu yang terinspirasi dari kehidupan Rasulullah SAW. Lagu ini berjudul “Matahari dan Rembulan. Nafas-nafas Islam inilah yang membuat arah Bimbo mulai berubah dalam bermain musik.
Pernah Mengkritik Orde Baru
Popularitas Bimbo tentu memberikan pengaruh yang cukup besar, terutama bagi para penikmat musiknya. Selain menciptakan lagu-lagu religi, Bimbo juga pernah menciptakan lagu-lagu bertemakan sosial.
Lagu tersebut berjudul “Tante Sun” yang Bimbo ciptakan untuk mengkritisi istri para pejabat yang sedang berkuasa. Kritikan tersebut ternyata membuat Orde Baru menjadi berang terhadap Bimbo.
Lagu Bimbo ini pun dicekal, bahkan dilarang untuk dinyanyikan oleh Bimbo, terutama di tempat-tempat umum.
Memang, kritik sosial melalui lagu merupakan hal yang efektif kala itu. Apalagi jika kita lihat para penikmat lagu-lagu Bimbo ini berasal dari semua kalangan masyarakat Indonesia.
Baca Juga: Sejarah Lagu Judi Rhoma Irama, Kritikan terhadap Undian Porkas Zaman Orba
Kabar baiknya lagi, setiap lagu Bimbo selalu mendapat sambutan hangat dari para pendengarnya. Oleh karena itu, tak heran apabila lagu-lagu ciptanya selalu masyarakat nantikan. (Azi/R3/HR-Online/Editor: Eva)