Presiden kelima Indonesia, Megawati Soekarnoputri menyebut penguasa sekarang bersikap seperti Orde Baru. Tentu ucapan dari Ketua Umum PDI Perjuangan ini bukanlah sekedar ucapan semata. Catatan panjang sejarah sentimen Megawati terhadap Orde Baru menjadi bukti bahwa sebenarnya masih terdapat dendam lama yang belum selesai.
Sentimen Megawati terhadap Orde Baru memang bukanlah sekedar sentimen semata. Sejak masa Orde Baru PDIP yang awalnya bernama PDI menjadi salah satu partai yang berkontestasi dalam pemilu.
Diskriminasi hingga usaha untuk memecahkan kekuatan PDI selama masa Orde Baru dilakukan oleh pemerintahan Suharto. Saat itu pemerintah berusaha membubarkan partai yang dianggap membawa pemikiran Sukarno.
Sejarah Sentimen Megawati terhadap Orde Baru dan Awal Mula Berdirinya PDIP
Menurut catatan Dhianita Kusuma Pertiwi dalam Mengenal Orde Baru (2021), Megawati pertama kali terjun dalam kontestasi politik ketika mengajukan diri sebagai anggota legislatif 1987 melalui PDI. Dalam kampanyenya, PDI dan Megawati menggunakan figur Sukarno untuk mencari massa pendukung.
Strategi yang diterapkan ini terbukti membuahkan hasil dan membuat Megawati masuk sebagai salah satu anggota DPR. Strategi ini pun diterapkan Megawati selama masa kampanye bahkan hingga menduduki kursi ketua umum partai PDI waktu itu.
Baca Juga: Mengenang Tewasnya Moses Gatotkaca, Korban Kerusuhan 1998 di Yogyakarta
PDI sendiri merupakan salah satu partai yang turut serta dalam kontestasi pemilu selama era Orde Baru. Pada masa kepemimpinan Presiden Suharto ini, hanya terdapat tiga partai politik yang diakui resmi oleh pemerintah.
Partai politik itu adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Penyederhanaan Parpol
Sejarah sentimen Megawati terhadap Orde Baru juga dipicu penyederhanaan parpol tersebut. Saat itu pun Golkar menjadi partai dominan. Hal ini merupakan strategi penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya.
Tak hanya itu, segala sesuatu yang berbau Orde Lama juga dijagal agar tidak masuk ke dalam arena perpolitikan, termasuk keluarga Bung Karno.
Usaha penjegalan ini memang hal yang wajar, mengingat figur Megawati waktu awal kemunculannya cukup menarik perhatian. Sosok putri Presiden Sukarno sebagai sosok baru dalam perpolitikan Orde Baru membawa angin segar dalam kancah politik.
Tak heran jika dalam beberapa kali kesempatan, Megawati dan PDI selalu mendapatkan diskriminasi. Hal inilah yang menjadi sejarah awal sentimen Megawati terhadap Orde Baru.
Salah satu kasus yang cukup populer waktu itu adalah ketika Tabloid Detik yang merupakan tabloid politik pertama era Orde Baru dibredel akibat memberitakan Megawati.
Tak hanya itu, pembredelan dan pencabutan izin dilakukan terhadap media lain seperti Majalah Tempo, dan Majalah Editor. Meskipun, alasan pembredelan itu akibat ketiga media itu memberitakan skandal kapal perang bekas dari Jerman. Namun tak bisa dipungkiri bahwa terdapat pula indikasi terkait keterkaitan media itu dengan Megawati.
Peristiwa Kudatuli
Sudah menjadi rahasia umum mengenai kedekatan antara Megawati dan beberapa media massa zaman Orde Baru. Memang di dalam perpolitikan kala itu, kehadiran Megawati Soekarnoputri menjadi sorotan.
Sayangnya, sorotan terhadap Megawati dalam perpolitikan itu nyatanya memberikan kegerahan tersendiri bagi pemerintah Orde Baru.
Hal itu terbukti dari berbagai aksi pembredelan media massa yang sering memberitakan Megawati dengan gagasan-gagasannya.
Tak hanya itu, puncaknya adalah peristiwa Kudatuli 1996 yang menjadi bukti nyata pembungkaman Orde Baru terhadap PDI yang waktu itu dipimpin oleh Megawati.
Al-Araf dalam Pembubaran Ormas: Sejarah dan Politik-Hukum di Indonesia, 1945-2018 (2022) mengatakan, pada 27 Juli 1996 sekelompok massa menyerang kantor DPP PDI yang dikuasai oleh kader PDI kubu Megawati.
Menurut catatan Komnas HAM, pada peristiwa tersebut tak kurang 5 orang meninggal dunia, 149 orang (sipil dan aparat) luka-luka, dan 136 orang ditahan.
Peristiwa Kudatuli ini menyebabkan kerusuhan besar di penjuru Jakarta. Pemerintah Orde Baru menilai PRD dalang dibalik penyerangan Kudatuli itu.
Budiman Sudjatmiko Ditangkap
Atas tuduhan inilah Budiman Sudjatmiko bersama dengan rekan-rekannya ditangkap. Aksi penangkapan itu menghasilkan hukuman pidana terhadap beberapa orang, termasuk Budiman Sudjatmiko.
Pasca kejadian itu pun diketahui bahwa PRD dibubarkan dengan tuduhan penyerangan terhadap kantor PDI. Padahal PRD sendiri merupakan salah satu organisasi yang getol membela dan mendukung PDI.
Jika kita lihat dari perspektif yang lain, sebenarnya sudah bisa kita duga siapa pelaku dibalik penyerangan ini. Sangat jelas bahwa pemerintah Orde Baru menilai naiknya Megawati sebagai Ketua Umum PDI menjadi ancaman tersendiri. Apalagi seperti yang kita ketahui bahwa Megawati seringkali membawa nama Presiden Sukarno dalam kampanyenya.
Baca Juga: Konflik Soemitro dan Ali Moertopo, Dua Jenderal yang Saling Sikut
Lahirnya PDI Perjuangan
Penjegalan terhadap PDI sebenarnya tak hanya dilakukan secara eksternal, melainkan juga internal. Terbukti dari dualisme yang muncul dalam tubuh partai dengan dinaikannya Suryadi sebagai Ketua Umum DPP PDI.
Namun, nampaknya PDI kubu Suryadi tak bisa bertahan lama. Buktinya pada Kongres ke-5 PDI di Denpasar, Megawati Soekarnoputri ditetapkan sebagai Ketua Umum DPP PDI periode 1998-2003.
Pasca kejadian itu, 1 Februari 1999, Megawati kemudian mengubah nama PDI menjadi PDI Perjuangan (PDIP). Bahkan nama itu kemudian dideklarasikan di Istora Senayan.
Asep Nurjaman dalam Sistem Kepartaian Indonesia (2018) menyebut, sudah menjadi ciri khas sejak lama bahwa PDIP mengemas kampanye politiknya dengan dukungan terhadap wong cilik. Tak hanya itu PDIP juga dianggap sebagai pembawa atau penerus dari ideologi marhaen yang sangat dekat dengan Sukarno.
Kemasan ideologi dalam strategi kampanyenya ternyata sukses menempatkan PDIP sebagai salah satu partai besar pada Pemilu 1999. PDIP terbukti berhasil menarik simpati para pemilihnya. Salah satu daerah yang didominasi oleh PDIP waktu itu adalah Malang Raya.
Keberhasilan ini sendiri tentu menjadi bukti kekuatan PDIP sebagai partai baru, PDIP masih terus bisa eksis. Keberhasilan ini memang tidak bisa dipisahkan dari peran Megawati sebagai ketua umum yang membawa pamor Presiden Sukarno.
Apalagi pada Pemilu 1999, peran Megawati sebagai salah satu tokoh reformasi sangatlah kentara. Agaknya inilah yang membuat Megawati menjadi sosok sentral dalam PDIP.
Berbagai peristiwa sejarah yang terjadi ini memberikan gambaran mengenai pandangan dari Presiden kelima Megawati dalam memandang Orde Baru.
Tak bisa dipungkiri juga, sikap sentimen terhadap Orde Baru akan selalu melekat. Apalagi jika berkaca dari berbagai diskriminasi yang dilakukan oleh Orde Baru. (Azi/R7/HR-Online/Editor-Ndu)