Sejarah mencatat berbagai cara pemberantasan korupsi di Indonesia telah dilakukan sejak masa Orde Lama. Sebenarnya sejarah korupsi di Indonesia sendiri bukanlah fenomena baru. Sejak zaman pendudukan VOC di Nusantara catatan tentang kasus korupsi sudah banyak ditemukan.
Bahkan, salah satu faktor kehancuran dan bubarnya VOC adalah karena kasus korupsi yang merajalela saat itu.
Sayangnya, fenomena ini terus berlanjut bahkan ketika Indonesia sudah merdeka hingga era Reformasi hari ini.
Berbagai cara telah dilakukan, mulai dari pembentukan peraturan hukumnya hingga pembentukan lembaga pemberantasan korupsi.
Namun, lagi-lagi Indonesia kecolongan, beberapa waktu yang lalu Ketua KPK Firli Bahuri malah terlibat dalam praktik korupsi.
Sejarah Pemberantasan Korupsi di Indonesia pada Masa Orde Lama
Mengutip buku Prinsip Keadilan Dalam Mengadili Perkara Tindak Pidana Korupsi: Implementasi PERMA Nomor 1 Tahun 2020 (2020), catatan peraturan mengenai pidana korupsi di Indonesia termaktub dalam Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957.
Pada konsideran Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957 tanggal 9 April 1957 ini menyatakan maksud dan tujuan dibentuknya peraturan ini adalah untuk kebutuhan yang mendesak guna memperbaiki peraturan perundang-undangan tentang pemberantasan korupsi dan pejabat serta aparat pelaksana pemerintah.
Meskipun sudah dibuat aturan khusus yang menggunakan kata korupsi, namun peraturan ini sendiri masih terdapat banyak celah.
Menurut catatan yang ada, pada masa Orde Lama terdapat beberapa kasus korupsi yang cukup menarik perhatian. Salah satunya adalah kasus korupsi pada 11 April 1960. Sat itu koran Pantjawarta memberitakan tentang 14 pegawai negeri yang menjadi pelaku tindak pidana korupsi.
Baca Juga: Sejarah SOBSI, Organisasi Kiri yang Berjuang agar Buruh Dapat THR
Tak hanya itu pada tahun 1961 pula, pernah terjadi kasus korupsi yang melibatkan Yayasan Masjid Istiqlal. Catatan lain yang tak kalah miris adalah kasus korupsi RSUP Semarang pada tahun 1964-an.
Pada masa ini memang yang menjadi catatan penting adalah mengenai pengawasan atasan terhadap bawahannya. Kondisi yang kurang stabil waktu itu dimanfaatkan oleh oknum-oknum nakal untuk mengambil keuntungan pribadi dari proyek-proyek yang dikerjakan.
Salah satu upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Orde Lama waktu itu adalah dengan melakukan pembentukan lembaga khusus yang menangani perihal korupsi.
Lembaga tersebut kemudian dinamakan Panitia Retooling Aparatur Negara atau disingkat PARAN.
PARAN waktu itu dipimpin langsung oleh A.H. Nasution. Meskipun sudah dibentuk lembaga khusus yang menangani korupsi ini, nyatanya lembaga ini tidak bisa maksimal dalam melakukan tugasnya. Hal itu akibat minimnya dukungan dari lembaga-lembaga lainnya.
Sejarah Pemberantasan Korupsi di Indonesia Masa Orde Baru
Sebelum PARAN pada masa Orde lama dibubarkan, sebenarnya Presiden Soekarno sempat membentuk lembaga yang bernama Komando Tertinggi Retooling Aparatur (Kotrar) dengan ketuanya dipegang oleh Soekarno sendiri dibantu Soebandrio. Meskipun, bertujuan melanjutkan kinerja PARAN, faktanya Kotrar juga kalah dalam kasus pemberantasan korupsi.
Denny Indrayana dalam buku Jangan Bunuh KPK: Kajian Hukum Tata Negara Penguatan Komisi Pemberantasan Korupsi (2016) mengatakan, pada tahun 1967, setelah Orde Baru lahir, lembaga yang ditugaskan untuk memberantas korupsi juga terbentuk.
Pembentukan itu sendiri diawali dengan pidato kenegaraan Presiden Soeharto pada 16 Agustus 1967 yang mengkritik Orde Lama yang dianggap tidak mampu memberantas korupsi.
Pidato inilah yang kemudian melahirkan Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang dibentuk melalui Keputusan Presiden No. 228 Tahun 1967 tanggal 2 Desember.
Keberhasilan TPK
Tim Pemberantasan Korupsi yang dibentuk ini terdiri dari ketua yang merangkap Jaksa Agung, dengan tim penasihat Menteri Kehakiman, dan Panglima AD, AL, AU, dan Kapolri.
Terdapat beberapa tugas yang diemban oleh Tim Pemberantasan Korupsi, yaitu membantu pemerintah dalam memberantas korupsi secepatnya dan setertib mungkin. Bentuk pemberantasan itu dapat dilakukan secara preventif hingga represif.
Wewenang lain yang dipegang oleh Tim Pemberantas Korupsi ini adalah mereka memiliki wewenang untuk memimpin, mengkoordinir, dan mengawasi semua aparat penegak hukum sipil dan militer.
Tak hanya itu, Tim Pemberantasan Korupsi juga dapat melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan kasus korupsi, baik yang dilakukan sipil maupun ABRI.
Dua tahun pasca pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi ini diklaim telah mengerjakan 177 perkara korupsi. Dengan pencapaian 144 perkara telah diselesaikan dan diserahkan ke pengadilan, sedangkan 37 kasusnya masih dalam persidangan.
Meskipun, memiliki catatan sejarah pemberantasan yang cukup baik, terdapat hal yang perlu dikritisi dalam penindakan kasus korupsi di Indonesia lewat TPK.
Salah satunya adalah ketidakmampuan Tim Pemberantas Korupsi dalam mengungkap kasus kelas kakap. Biasanya kasus tersebut melibatkan oknum petinggi negara yang dekat dengan Presiden Soeharto.
Salah satu kasus yang waktu itu tidak mampu ditangani adalah kasus korupsi berskala besar. Saat itu kasus korupsi terjadi di Pertamina dan pupuk bimas (Coopa).
Baca Juga: Sejarah Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan, Usaha Daendels Perbaiki Administrasi di Jawa
Melihat kinerja Tim Pemberantasan Korupsi yang semakin tidak efisien, Presiden Soeharto kemudian membentuk Komisi IV. Komisi ini merupakan peningkatan dari Tim Pemberantasan Korupsi. Namun, dalam pelaksanaannya Komisi IV juga bernasib sama dengan Tim Pemberantasan Korupsi.
Pemberantasan Korupsi Era Reformasi
Setelah kejatuhan Orde Baru, memang terdapat beberapa lembaga yang muncul, seperti Komisi Pemeriksa Kekayaan Negara (KPKPN) pada masa Presiden BJ. Habibie. Kemudian juga pada masa Presiden Abdurrahman Wahid dibentuk pula Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang disingkat TGPTPK.
Kedua lembaga ini juga akhirnya bernasib sama seperti lembaga pemberantasan korupsi lainnya, mengalami kegagalan dalam memberantas kasus korupsi.
Tepat pada tahun 2003 Presiden Megawati Soekarnoputri kemudian membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang merupakan lembaga yang menangani tindak pidana korupsi hingga hari ini.
Hikmatus Syuraida dalam Perkembangan Pemberantasan Korupsi di Indonesia Era Orde Lama hingga Era Reformasi (2015) mengatakan, upaya pemberantasan korupsi di era Reformasi mengalami kemajuan dibandingkan di era Orde Lama dan Orde Baru.
Pada era Reformasi pula, sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia mulai menyentuh berbagai kalangan, baik pejabat yang dekat dengan presiden hingga kalangan militer.
Namun, tidak bisa dipungkiri KPK juga memiliki beragam catatan. Seperti penyingkiran para penyidik KPK dengan cara yang tak wajar, hingga keterlibatan ketua KPK, Firli Bahuri dalam kasus KKN baru-baru ini.
Kegagalan KPK hari ini tentu tidak bisa dipisahkan dari intervensi kekuasaan. Terlalu banyak pihak yang ingin mengontrol KPK. Padahal KPK merupakan lembaga yang seharusnya independen.
Kini KPK hanya tinggal menunggu waktunya saja, entah itu menunggu waktu mengalami reformasi kembali atau tumbang seperti lembaga-lembaga lainnya. (Azi/R7/HR-Online/Editor-Ndu)