Profil tokoh PNI Gatot Mangkoepradja dalam sejarah Indonesia merupakan seorang tokoh nasionalis yang pernah mengusulkan pendirian Pembela Tanah Air (PETA).
Melalui usulannya inilah Indonesia waktu itu bisa membangun salah satu pasukan militer yang berperan penting pada masa-masa pasca kemerdekaan.
Sepak terjang Gatot Mangkoepradja sendiri sebenarnya sudah dapat ditelisik ketika ia menjadi bagian dari Perhimpunan Indonesia.
Tak hanya itu, ketika Partai Nasional Indonesia atau PNI berdiri, ia menjadi salah satu tokoh yang bergabung dalam organisasi bentukan Soekarno tersebut.
Memang Gatot Mangkoepradja terkenal sebagai salah satu aktivis yang gencar dalam melakukan propaganda-propaganda terkait kemerdekaan. Tak heran jika ia menjadi salah satu tokoh yang sering berkonflik dengan Pemerintah Hindia Belanda waktu itu.
Merangkum dari berbagai sumber, tulisan ini akan mengulas tentang profil Gatot Mangkoepradja, tokoh nasionalis asal Jawa Barat yang mengusulkan pendirian PETA.
Profil Tokoh PNI Gatot Mangkoepradja
R. Toto Sugiarto dalam buku “Ensiklopedi Pahlawan 2: Semangat Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan” (2017), menuliskan bahwa Gatot Mangkoepradja lahir di Sumedang. Ia berasal dari keturunan yang cukup terpandang di Kota Sumedang.
Baca Juga: Sejarah Sentimen Megawati terhadap Orde Baru dan Berdirinya PDIP
Agaknya hal inilah yang membuat Gatot Mangkoepradja mendapatkan pendidikan yang layak ketimbang anak-anak lainnya. Ayahnya bernama Saleh Mangkoepradja merupakan seorang dokter pribumi pertama di Sumedang.
Tentu saja dengan latar belakang orang tuanya inilah, Gatot Mangkoepradja tumbuh dalam lingkungan akademis yang cukup baik.
Gatot Mangkoepradja sendiri pernah bersekolah di Bandung. Kiprahnya yang lain adalah ketika ia menjadi simpatisan dari Perhimpunan Indonesia (Indische Vereeniging) yang berbasiskan di Belanda.
Tokoh PNI ini juga pernah menjadi salah satu pelopor dalam pembentukan Paguyuban Pasundan, dan aktif juga dalam Algemen Studie Club sekitar tahun 1913. Melalui organisasi inilah Gatot Mangkoepradja bertemu dengan rekan sekaligus sahabatnya, yaitu Soekarno.
Gatot Mangkoepradja sebenarnya merupakan salah satu tokoh Muhammadiyah. Keterlibatannya dalam Muhammadiyah yang membuatnya memiliki ide menjadikan santri-santri sebagai basis perlawanan.
Melalui berbagai riwayat organisasi yang Gatot tekuni inilah jiwa dan ide-ide nasionalismenya tumbuh. Ia juga mendapatkan wadah yang tepat dalam memperjuangkan gagasan-gagasannya, yaitu melalui Partai Nasional Indonesia (PNI).
Baca Juga: Jamuan ala Hindia Belanda yang Hampir Dilupakan Masyarakat Indonesia
Tokoh PNI dari Jawa Barat
Mengutip buku berjudul “Jejak-Jejak Pahlawan: Perekat Kesatuan Bangsa Indonesia”(2007), bahwa karir perpolitikannya dimulai ketika Gatot Mangkoepradja masuk ke PNI dan Partindo.
Di PNI Gatot Mangkoepradja ditunjuk sebagai Sekretaris Pimpinan Nasional PNI. Sejak bergabung bersama PNI, ide-ide dan semangat nasionalismenya semakin ia gembor-gemborkan.
Namun sayangnya ide-ide yang ia tawarkan menimbulkan perasaan was-was bagi pemerintah kolonial.
Pemerintah kolonial menganggap ide-ide nasionalismenya sebagai bentuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan bagi bangsa Indonesia.
Tak hanya itu, jumlah anggota PNI yang dari waktu ke waktu semakin meningkat membuat kekhawatiran tersendiri bagi pemerintah kolonial.
Terbukti hal ini dapat terlihat dalam kongres PNI pada tahun 1928 di Surabaya. Ancaman yang nyata bagi Pemerintah Hindia Belanda membuat beberapa tokoh PNI ditangkap. Seperti Soekarno, Gatot Mangkoepradja, Maskoen, dan Supradinata. Mereka kemudian dihukum dan ditahan di Penjara Banceuy.
Baca Juga: Sejarah Politik Dinasti, dari Zaman Belanda hingga Era Reformasi
Indonesia Menggugat
Ketika prosesi persidangan kasus ini, Soekarno sempat menyampaikan pidatonya yang sangat terkenal hingga hari ini, yaitu “Indonesia Menggugat”.
Meskipun Soekarno dan para pemimpin PNI lainnya memberikan gugatan yang hebat, namun mereka tetap mendapatkan hukuman.
Gatot sendiri ketika itu mendapatkan hukuman 2 tahun 8 bulan penjara. Sejak para pemimpin tersebut ditangkap, PNI yang mereka bangun mulai perlahan dibubarkan.
Ide-ide yang PNI tawarkan memang cenderung lebih bersifat mengancam bagi Pemerintah Hindia Belanda. PNI memiliki tujuan untuk mencapai kemerdekaan bagi bangsa Indonesia.
Tujuannya yang radikal inilah yang waktu itu memaksa Gubernur Jenderal de Graff memberikan tindakan represif dalam aktivitas perpolitikan PNI.
Ketika PNI terpecah menjadi Partindo dan PNI Baru, Gatot Mangkoepradja memutuskan bergabung bersama Partindo. Walaupun tak lama kemudian ia pun keluar karena kekecewaannya terhadap Soekarno, dan memutuskan bergabung bersama PNI-Baru pimpinan Hatta.
Baca Juga: Sejarah Awal Perjudian di Indonesia, dari Zaman Belanda hingga Indonesia Merdeka
Usulkan Pendirian PETA di Era Pendudukan Jepang
Ketika masa pendudukan Jepang di Indonesia, tokoh PNI Gatot Mangkoepradja menghindari adanya wajib militer Jepang. Sikap yang Gatot ambil ini sebenarnya pernah juga mendapat tentangan dari PNI ketika masa pendudukan Belanda.
Oleh karena itu, Gatot Mangkoepradja kemudian memberikan usulan dengan cara mengirimkan surat kepada redaksi Tjahaja untuk membentuk barisan sukarela, dan menolak ide mengenai wajib militer.
Usulan Gatot Mangkoepradja kemudian mendapatkan respon dari Pemerintah Jepang. Gatot mendapat perintah membuat surat permohonan kepada Pemerintah Dai Nippon di Tokyo dengan menggunakan tinta darah. Hal itu untuk menunjukkan kesanggupannya dalam membentuk barisan sukarela.
Akhirnya, Pembela Tanah Air (PETA) pun resmi berdiri tepat pada tanggal 3 Oktober 1943 berdasarkan Maklumat Osamu Seirei No 44.
Marwati Djoened, dkk dalam buku berjudul “Sejarah Nasional Indonesia Jilid 6: Zaman Jepang & Zaman Republik” (2008). Perhatian masyarakat terhadap PETA ternyata sangat besar, terutama dari pemuda-pemuda yang telah mendapatkan pendidikan sekolah menengah dan tergabung dalam Seinendan.
Dalam PETA sendiri terdapat lima macam jabatan, yaitu daidanco (komandan batalyon), cudanco (komandan kompi), shodanco (komandan peleton). Serta budanco (komandan regu), dan giyuhei (prajurit sukarela).
Kedudukan PETA sendiri memiliki perbedaan yang cukup signifikan dengan pasukan-pasukan bentukan Jepang lainnya. Jika Heiho lebih mirip dengan prajurit yang bercorak Jepang, maka sesuai dengan namanya PETA lebih bercorak kebangsaan.
PETA memiliki tugas mempertahankan tanah air dan tidak digunakan oleh Jepang untuk operasi militer di luar tanah air.
Inilah alasan mengapa tokoh PNI Gatot Mangkoepradja lebih memilih membentuk PETA ketimbang wajib militer bagi para pemuda waktu itu. (Azi/R3/HR-Online/Editor: Eva)