Sejarah pembentukan KORPRI pada tanggal 29 November merupakan salah satu catatan sejarah yang sulit dilupakan bagi sebagian orang. Pasalnya, organisasi yang menjadi wadah bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS), BUMN, dan BUMD ini pernah menjadi alat untuk melindungi orde baru.
Kondisi inilah yang akhirnya membuat KORPRI (Korps Pegawai Republik Indonesia) menjadi organisasi yang tidak netral selama masa-masa kekuasaan orde baru.
Ketika era reformasi dan kekuasaan mulai berganti, barulah KORPRI bertekad untuk menjadi organisasi yang netral dan tidak menjadi alat politik.
Merangkum dari berbagai sumber, berikut ini ulasan tentang kelahiran KORPRI tanggal 29 November dari era orde baru hingga reformasi.
Sejarah Pembentukan KORPRI 29 November
Kelahiran KORPRI memang tidak bisa terpisahkan dari keberadaan pegawai pemerintahan zaman Belanda. Para pegawai pemerintahan ini merupakan cikal bakal dari PNS yang menjadi elemen penting pembentukan KORPRI.
Para pegawai Pemerintah Belanda bekerja sebagai pegawai kasar dan kelas bawah karena keterbutuhan penjajahan waktu itu.
Pada masa pendudukan Jepang, para pegawai pemerintahan ini bekerja sebagai pegawai Pemerintah Jepang.
Begitu pula ketika Indonesia merdeka, para pegawai pemerintah ini diangkat kembali sebagai pegawai Pemerintah Indonesia. Di era kemerdekaan inilah yang kemudian menjadi pencetus dan pendiri dari KORPRI.
Mengutip Majalah “Parlementaria No. 68 Tahun ke VII” (1976)” sejarah pembentukan KORPRI pada mulanya timbul pada tahun 1969.
Aparatur Pemerintah Terkotak-kotak
Pada waktu itu muncul pemikiran bahwa untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana amanat UUD 1945, maka perlu pemerintahan yang stabil untuk dapat menjalankan tugasnya.
Tugas berat inilah butuh aparatur pemerintah yang netral dan tidak memihak, terutama pada partai tertentu. Dalam sejarah pembentukan KORPRI, sebelum tahun 1969 aparatur pemerintah selalu terkotak-kotak dalam golongan tertentu.
Setiap pejabat yang memiliki dua kepentingan akan mudah sekali mengalami benturan antara kepentingan partai dan kepentingan negara.
Sebelum Belanda mengakui Indonesia sebagai sebuah negara, memang terdapat tiga golongan pegawai pemerintah. Tiga golongan itu meliputi Pegawai Republik Indonesia yang berada di wilayah kekuasaan RI.
Kemudian, Pegawai RI yang berada di daerah yang diduduki Belanda (Non Kolaborator). Ketiganya, pegawai pemerintah yang bersedia bekerjasama dengan Belanda (Kolaborator).
Setelah Indonesia merdeka, tiga kelompok pegawai pemerintah tersebut resmi menjadi pegawai pemerintah di bawah kekuasaan Pemerintah Indonesia.
Sayangnya, setelah Belanda mengakui Indonesia sebagai sebuah Negara, pengkotak-kotakan antar golongan ini semakin parah.
Jatuh bangunnya kabinet di Indonesia membuat setiap periode kabinet memiliki sistem seleksi tersendiri terhadap pegawai pemerintah. Inilah yang membuat pegawai pemerintah pada masa itu mengalami perbedaan golongan dari sisi keyakinan partai.
Perkara ini tentu saja membuat pelayanan publik menjadi sangat terganggu. Kenaikan pangkat pegawai atau PNS pun bukan tergantung dari kinerja mereka, melainkan loyalitas yang mereka berikan kepada partai.
KORPRI Era Orde Baru
Ferizal dalam buku berjudul “Sejarah Lahirnya Puskesmas, ASN, BKN, Kementerian PANRB, KORPRI, KUA dan Akreditasi Puskesmas” (2021), ketika rezim orde baru mulai berkuasa, Soeharto mulai menata pemerintahan yang ada.
Namun, hal itu tak luput dari pantauannya mengenai pembentukan sebuah wadah untuk menghimpun pegawai Republik Indonesia.
Untuk menata bagian pegawai pemerintah ini, Presiden Soeharto pun membentuk sebuah wadah untuk menghimpun pegawai RI dengan nama Korps Pegawai Republik Indonesia atau KORPRI.
KORPRI sendiri menghimpun para pegawai negeri, BUMN, BUMD, hingga perusahaan dan pemerintah Desa. Meskipun, pada umumnya yang kita ketahui KORPRI selalu identik dengan PNS.
Tujuan Pembentukan KORPRI
Tujuan dari pembentukan KORPRI ini untuk menghimpun berbagai pegawai pemerintah dalam sebuah wadah agar terciptanya stabilitas politik dan sosial.
Tak hanya itu, KORPRI juga berguna untuk meningkatkan daya guna dalam bidang pembangunan dan pelayanan masyarakat.
Harapan lain juga dalam sejarah pembentukan KORPRI adalah agar jenjang karir yang sebelumnya cukup bermasalah ketika masa-masa pergantian kabinet, menjadi lebih baik.
Jika melihat dari sisi kontribusinya, KORPRI diharapkan dapat memberikan aspirasi sebagai pegawai kepada pemerintah berkaitan dengan berbagai hal.
Ketika masa orde baru, KORPRI terbagi menjadi beberapa tingkatan. Mulai dari tingkat pusat, provinsi, hingga kabupaten/kota.
Di tingkat pusat KORPRI dipimpin langsung oleh Presiden Soeharto. Sedangkan, pada tingkat provinsi oleh gubernur, dan tingkat daerah yang lebih kecil oleh bupati/walikota.
Meskipun lahir dengan berbagai tujuan mulia dan sejarah berdirinya KORPRI dalam rangka agar kekuatan politik tidak terkotak-kotak. Namun nyatanya KORPRI tidak sepenuhnya bisa netral.
Pemenang Pemilu Mendapat Dukungan KORPRI
Sri Hartini dan Tedi Sudrajat dalam buku berjudul “Hukum Kepegawaian di Indonesia: Edisi Kedua” (2019), pada masa orde baru, peranan Hukum Kepegawaian di Indonesia (Edisi Kedua) mendukung pemerintah sangat besar.
Hal ini tidak bisa dipungkiri, namun dalam mendukung pemerintah tersebut menimbulkan ekses yang tidak baik.
Bahkan menimbulkan kecemburuan dalam kehidupan partai politik. Sebab Golkar merupakan partai pemenang Pemilu yang selalu mendapat dukungan dari KORPRI.
Realitas kondisi KORPRI ini membuat munculnya semangat reformasi pegawai negeri agar kembali lagi pada kenetralannya, dan tidak memihak manapun.
KORPRI Sejak Era Reformasi
Ketika periode reformasi, BJ Habibie berupaya melakukan perubahan terhadap semua bidang dalam pemerintahan dalam rangka menuju kehidupan perpolitikan yang lebih baik.
Semangat reformasi agar KORPRI dapat fokus memberikan pelayanan dan pengayoman kepada masyarakat. Juga tidak menjadi alat dan mesin politik, terutama bagi Golkar waktu itu.
Netralitas yang diemban oleh KORPRI memang menjadi sebuah keharusan. KORPRI seharusnya menjaga sikapnya sebagai bagian pegawai pemerintah yang bersentuhan langsung dengan masyarakat.
Untuk menambah keyakinan ini, maka terbitlah Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 1999. Kemudian diperbaharui pada Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2004 yang menyebutkan bahwa PNS tidak boleh menjadi anggota, dan/atau pengurus parpol.
Pada peraturan ini juga menjelaskan bahwa, setiap pegawai yang terlibat dalam partai politik wajib untuk dikeluarkan.
Selama era Reformasi inilah, netralitas KORPRI mendapat perhatian khusus. Banyak pihak menilai bahwa KORPRI akan menjadi alat bagi negara untuk melanggengkan kekuasaannya jika tidak bersikap netral.
Meskipun hak politik untuk tergabung dalam partai politiknya hilang dan menjadi terbatas. Tapi tak bisa dipungkiri tidak sepenuhnya keberpihakan KORPRI akan hilang.
Beberapa waktu ini, bahkan viral kasus mengenai pegawai pemerintahan yang diarahkan untuk memilih salah satu paslon capres di ajang Pemilu 2024 nanti.
Kasus ini menjadi sebagian kecil bukti bahwa sebenarnya netralitas dalam KORPRI sendiri tidak bisa hilang sepenuhnya.
Namun, harapannya dari sejarah pembentukan KORPRI ini dapat sepenuh tumbuh menjadi organisasi yang fokus dalam melayani masyarakat. (Azi/R3/HR-Online/Editor: Eva)