Sejarah Adzan Pitu merupakan sebuah tradisi khas yang ada di Masjid Kasepuhan Cirebon, Jawa Barat, atau Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Tradisi ini memang tidak bisa dipisahkan dari perkembangan Islam di Cirebon.
Adzan biasanya dikumandangkan oleh satu orang muazin, namun Adzan Pitu ini dikumandangkan oleh tujuh orang muadzin sekaligus.
Muadzin yang mengumandangkan adzan pun akan mengenakan pakaian khusus berupa jubah berwarna hijau dan sorban putih.
Tradisi yang erat dengan Masjid Agung Sang Cipta Rasa ini pun memiliki catatan unik dibalik perkembangannya.
Konon munculnya tradisi ini berawal dari penyebaran Islam di Cirebon yang mendapatkan tantangan dari beberapa pihak.
Tradisi yang berkembang hingga hari ini terus dilestarikan. Bahkan beberapa waktu yang lalu Azan Pitu mendapatkan sertifikat penetapan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia asal Jawa Barat.
Merangkum dari berbagai sumber, berikut ini ulasan mendalam tentang Adzan Pitu, tradisi khas di Masjid Kasepuhan Cirebon yang sarat akan nilai-nilai semangat Islam.
Baca Juga: Sejarah Masjid Agung Cirebon, dari Arsitektur hingga Nilai-Nilai Filosofis Bangunannya
Sejarah Adzan Pitu Tercatat dalam Caruban Nagari
Catatan mengenai Adzan Pitu sebenarnya termuat dalam “Caruban Nagari” yang merupakan sebuah naskah sejarah. Di dalam Caruban Nagari, kisah yang ada berkaitan dengan perjalanan Kesultanan Cirebon pada masa Pangeran Cakrabuana dan Sunan Gunung Jati.
Menurut catatan dari naskah Caruban Nagari, sejarah tersebut dianggap berbarengan dengan pembangunan Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Pembangunannya itu pada 1480 Masehi.
Berdasarkan catatan yang ada, ketika itu terjadi serangan penyakit, terutama di Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Penyakit misterius itu menyebabkan tiga orang muazin di masjid tersebut meninggal.
Konon meninggalnya tiga muadzin ini akibat kekuatan sihir yang bernama “menjangan wulung”. Sihir ini termasuk ke dalam ilmu hitam yang dikirim langsung oleh pendekar bernama Aji Menjangan Wulung.
Sihir itu menyasar Masjid Agung Sang Cipta Rasa, sehingga setiap orang yang akan mengumandangkan adzan akan meninggal.
Beberapa Versi Adzan Pitu
Memang terdapat beberapa versi mengenai sejarah Adan Pitu ini. Versi pertama menyatakan bahwa ketika terjadi kematian misterius itu, Nyi Mas Pakungwati segera memerintahkan beberapa muazin untuk melakukan adzan.
Baca Juga: Sejarah Keraton Kanoman Cirebon yang Sarat Nilai-Nilai Filosofis dan Pengaruh Asing
Jumlah muazin tersebut terus bertambah hingga berjumlah tujuh orang. Ketika jumlah muazin mencapai tujuh orang, terdengar suara dentuman di luar masjid.
Versi kedua menyatakan bahwa, wabah yang terjadi sebenarnya juga menyebabkan Nyi Mas Pakungwati mengalami sakit.
Sunan Gunung Jati kemudian mendapatkan petunjuk dari Allah SWT untuk segera memerintahkan kepada tujuh orang muazin itu mengumandangkan azan di Masjid Agung Sang Cipta Rasa.
Sejak saat itu wabah penyakit yang masyarakat Cirebon rasakan pun hilang. Azan Pitu terus berkumang selama pelaksanaan sholat lima waktu. Setelah kondisi sudah cukup aman, tujuh muadzin hanya mengumandangkan Adzan Pitu ketika sholat Jum’at.
Teguh Purwantari dalam buku berjudul “Masjid: Seri Bangunan Bersejarah” (2023), terdapat pula mitos yang berkembang berkaitan dengan Adzan Pitu.
Mitos yang berkembang menyebutkan bahwa, pada awalnya Masjid Agung Sang Cipta Rasa memiliki satu kubah.
Namun, kubah tersebut berpindah ke Masjid Agung Banteng saat berkumandang Azan Pitu sholat subuh untuk mengusir Aji Menjangan Wulung.
Baca Juga: Fungsi Masjid pada Zaman Rasulullah Selain sebagai Tempat Ibadah
Tradisi Khas di Masjid Cirebon
Sejarah Adzan Pitu menjadi tradisi khas di Masjid Cirebon, yang mana para muadzin menggunakan pakaian khusus. Yakni, 6 orang muazin menggunakan jubah berwarna hijau dan bersorban putih. Sedangkan, 1 orang muazin menggunakan jubah putih dengan sorban hitam.
Secara umum, proses dalam pelaksanaan Azan Pitu hampir sama dengan pelaksanaan shalat Jum’at pada umumnya. Ketika bedug dipukul, 7 orang muazin mulai mengumandangkan Adzan Pitu. Mereka berjajar di shaf yang ke empat.
Meskipun yang mengumandangkan Adzan Pitu 7 orang sekaligus, tetapi tetap terdengar merdu dengan intonasi suara yang seirama.
Adzan Pitu Jadi Warisan Budaya Tak Benda
M. Syukron Maksum dalam buku berjudul “Dahsyatnya Adzan” (2010), menyebutkan bahwa 7 orang yang melantunkan azan ini merupakan pengurus masjid.
Mereka dipilih oleh penghulu masjid. Sebagian besar dari para muadzin ini juga merupakan keturunan dari muazin sebelumnya.
Sejarah Adzan Pitu yang mulai berkembang di Cirebon ini memberikan gambaran bagaimana Islam masuk di Cirebon.
Meskipun dikenal sebagai agama yang damai dan mudah diterima warga lokal, namun tak serta merta disukai oleh beberapa pihak.
Adzan Pitu ini memberikan catatan penting dalam sejarah di Cirebon. Tak hanya itu, pelestarian yang masyarakat lakukan patut mendapatkan apresiasi.
Apalagi jika melihat konteks para penerus muazin ini bukanlah orang sembarangan, tentu melestarikannya pun bukanlah hal yang mudah.
Tak heran jika Adzan Pitu menjadi salah satu Warisan Budaya Tak Benda yang diresmikan oleh Direktur Perlindungan Kebudayaan Dirjen Kebudayaan Kemendikbud, Riset, dan Teknologi.
Sarat akan Nilai-Nilai Semangat Keislaman
Nurhannah Widianti dan Abdu Zikrillah dalam buku “Revitalisasi Legenda Adzan Pitu melalui Sinar: Menyemai Spirit Islami dan Tradisi” (2022). Kisah mengenai sejarah Adzan Pitu mencerminkan sosok Sunan Gunung Jati sebagai pemimpin wali dari Cirebon yang memiliki sikap imtaq (Iman dan Taqwa).
Sunan Gunung Jati menunjukan sikapnya dengan cara merespon wabah yang terjadi. Ia dengan selalu meminta petunjuk hanya kepada Allah yang Maha Perkasa.
Sikap berserah diri dan yakin akan petunjuk Allah SWT dan ikhtiar melalui Adzan Pitu ini memberikan gambaran bahwa, perlunya keseimbangan antara do’a dan ikhtiar.
Spirit ibadah juga tampil dalam kisah ketika rakyat Cirebon masih tetap datang ke Masjid Sang Cipta Rasa. Meskipun dalam prakteknya masih terus terjadi teror terhadap mereka yang beribadah.
Semangat mewujudkan perdamaian dalam kisah Adzan PItu ini tergambar jelas sikap para muadzin dalam usahanya menciptakan perdamaian. Sehingga terciptalah masyarakat yang aman dan kondusif dalam kehidupan sosial maupun peribadatan.
Tidak ada sikap kedengkian dalam kehidupan beragama. Hal inilah yang membuatnya berusaha menyampaikan ketika membaca kisah atau sejarah Adzan Pitu. Semangat menegakan nilai-nilai ke-Islam-an inilah yang tercermin dalam tradisi tersebut.
Meski mendapatkan tantangan dari berbagai pihak, namun penyebaran Islam di Cirebon terbukti berhasil meluas ke daerah lainnya. (Azi/R3/HR-Online/Editor: Eva)