Sejarah Pasar Tanah Abang menarik untuk diulas. Pusat perbelanjaan yang berada di Jakarta Pusat dan telah berdiri sejak tahun 1735 dan menjadi salah satu bagian sejarah Indoensia. Bahkan, baru-baru ini menjadi perhatian karena adanya isu terkait TikTok Shop.
Para pedagang pasar mengeluhkan omset mereka menurun setelah adanya Tiktok Shop. Karena itu, muncullah permintaan kepada pemerintah agar menutup fitur belanja online dalam aplikasi tersebut.
Akan tetapi, setelah harapan itu terwujud, kini santer terdengar jika pedagang meminta agar platform jual beli online lainnya seperti Shopee dan Lazada turut tutup. Hal itu pun membuat masyarakat yang biasa belanja online protes.
Meski demikian, sebelum sepi pembeli, Pasar Tanah Abang pernah menjadi primadona masyarakat dari berbagai daerah, bahkan menyandang status perdagangan tekstil terbesar di Asia Tenggara.
Asal Mula Nama Pasar Tanah Abang
Sejarah Pasar Tanah Abang tentu tidak bisa lepas dari nama “Tanah Abang” itu sendiri. Menurut catatan sejarah Jakarta, nama Pasar Tanah Abang ada kaitannya dengan keberadaan Pohon Nabang atau Pohon Palem di lokasi tersebut.
Hal itu bermula dari perkataan seorang supir angkot yang sering mengangkut penumpang di wilayah yang terkenal dengan nama Nabang.
Baca juga: Sejarah Hari Kesaktian Pancasila, Peringatan Peristiwa G30S yang Penuh Kontroversi
Supir angkot pun sering mengucapkan “Ayo Nababang.. Nababang.. Nababang..” Penduduk setempat biasanya menggunakan kata “De” untuk merujuk pada suatu kata.
Maka dari itu, kata “De Nababang” akhirnya berubah menjadi Tanah Abang seiring berjalannya waktu.
Namun ada pula versi lain yang menyebut, jika nama Tanah Abang berasal dari kedatangan orang-orang Mataram ke Batavia pada tahun 1628 untuk menyerang kota tersebut.
Saat itu, tanah yang diduduki oleh tentara Mataram memiliki warna merah yang unik.
Karena keistimewaan warna tanah ini, daerah tersebut mendapatkan sebutan Tanah Abang, yang berasal dari bahasa Jawa yang berarti “tanah merah.”
Sejarah Perkembangan Pasar Tanah Abang
Sejarah Pasar Tanah Abang bermula sejak era Hindia Belanda pada tanggal 30 Agustus 1735. Pendirinya adalah Yustinus Vinck, yang mendirikan pasar ini dengan izin dari Gubernur Jenderal Abraham Patras.
Saat pertama kali berdiri, pasar tersebut memiliki izin untuk menjual tekstil dan barang-barang kelontong. Awalnya hanya beroperasi pada hari Sabtu, dan oleh karena itu sering mendapat sebutan Pasar Sabtu.
Selain itu, bangunan awal pasar ini sangat sederhana, terbuat dari dinding bambu, papan, dan atap rumbia.
Namun, setelah 5 tahun, Tanah Abang mengalami tragedi Geger Pecinan. Pada tanggal 17 Oktober 1740, terjadi pembantaian terhadap etnis Tionghoa oleh Pasukan VOC.
Peristiwa ini bermula dari serangan orang Tionghoa terhadap pos-pos jaga Pasukan VOC, yang kemudian memprovokasi pasukan VOC untuk melakukan serangan balasan terhadap etnis Tionghoa.
Dampak dari peristiwa ini juga berdampak terhadap Pasar Tanah Abang, karena banyak pedagang etnis Tionghoa yang berjualan di sana.
Tragedi ini mengakibatkan kerusakan besar di pasar tersebut, sehingga pasar tidak dapat beroperasi dalam waktu yang lama.
Baru pada tahun 1801, pasar tersebut mulai dibangun kembali dan mendapatkan izin untuk beroperasi pada hari Sabtu dan Rabu.
Sedangkan, pada tahun 1926, pemerintah Batavia mengganti bangunan pasar dengan bangunan permanen yang terdiri dari tiga los panjang berdinding tembok dan beratap genteng. Kantor pasarnya berada di atas bangunan yang mirip kandang burung.
Akan tetapi, pada era Jepang, area Pasar Tanah Abang hampir tidak memiliki fungsi karena digunakan sebagai tempat tinggal oleh para gelandangan.
Namun, setelah Stasiun Tanah Abang dibangun, pasar ini hidup kembali dan mulai aktif. Pembangunan berbagai fasilitas umum juga turut mendukung tempat tersebut agar kembali seperti dulu, saat berada dalam masa kejayaannya.
Pada tahun 1973, pasar ini mengalami pembaruan dengan penambahan empat bangunan berlantai empat. Sampai saat ini, Pasar Tanah Abang masih aktif beroperasi. (Sinta/R6/HR-Online/Editor: Muhafid)