Sejarah Masjid Agung Cirebon merupakan salah satu sejarah perkembangan Islam yang menarik untuk kamu ketahui. Masjid yang diprakarsai oleh Sunan Gunung Jati ini dibangun ketika masa-masa Walisongo berdakwah di tanah Jawa.
Dalam pembangunannya memang Sunan Gunung Jati mendapatkan bantuan dari para Walisongo untuk membangun masjid ini.
Tak hanya itu, masjid yang dibangun sekitar tahun 1480 ini memiliki nilai-nilai filosofis pada arsitektur bangunannya. Berikut ini ulasan sejarah berdirinya masjid tersebut.
Sejarah Masjid Agung Cirebon dan Sosok Sunan Gunung Jati
Masjid Agung Cirebon yang bernama Masjid Sang Cipta Karsa merupakan salah satu masjid tertua di Kota Cirebon.
Nama tersebut berasal dari kata “sang” yang berarti keagungan, “cipta” yang berarti dibangun, dan “rasa” yang dapat diartikan digunakan.
Kehadiran Masjid Agung Cirebon ini tidak dapat terpisahkan dari kehadiran sosok Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati yang menyebarkan Islam di Jawa Barat.
Sunan Gunung Jati sendiri memulai proyek pembangunan masjid ini bersama dengan istrinya, yaitu Ratu Dewi Pakungwati.
Baca Juga: Sejarah Keraton Kanoman Cirebon yang Sarat Nilai-Nilai Filosofis dan Pengaruh Asing
Untuk menunjang pembangunannya melibatkan beberapa ahli yang dikirim langsung oleh Raden Patah dari Demak.
Terdapat pula tokoh lain yang berperan besar memimpin pembangunan Masjid Agung ini, yaitu Sunan Kalijaga. Bersama dengan arsitek dari Kerajaan Majapahit bernama Raden Sepat, mereka memulai pembangunan masjid tersebut.
Abdul Baqir Zein melalui buku berjudul “Masjid-masjid Bersejarah di Indonesia” (1999), menjelaskan, dalam pembangunan masjid ini, Sunan Kalijaga mendapatkan penghormatan untuk mendirikan soko guru (tiang utama) yang terbuat dari kepingan-kepingan kayu.
Kemudian diikat menjadi tiang yang dinamakan Soko Tatal. Soko Tatal sendiri identik dengan jiwa gotong-royong masyarakat dalam pembangunan Masjid Agung Cirebon.
Untuk memenuhi kebutuhan masjid ini maka mengangkat 12 orang takmir yang sesuai dengan prosedur kesultanan. Ke-12 orang itu bertugas sebagai marbot, muadzin, khatib, imam, hingga penghulu.
Arsitektur Masjid Agung Cirebon
Tercatat selama perjalanan sejarahnya Masjid Agung Cirebon ini mengalami beberapa kali pemugaran. Pemugaran pertama kali terjadi ketika zaman Belanda, yaitu tahun 1934 oleh Ir. Krijgsman.
Pasca perbaikan itu, masjid ini mengalami perbaikan lagi ketika Indonesia merdeka, yaitu pada tahun 1960. Tercatat pasca kemerdekaan Indonesia memang mengalami beberapa kali pemugaran kecil-kecilan pada beberapa bagian bangunannya.
Baca Juga: Sejarah Gedung Bank Indonesia Cirebon, Dirancang Biro Arsitek Terkenal Zaman Belanda
Tata letak Masjid Agung Cirebon menyatu dengan alun-alun dan keraton. Masjid berada di sebelah Barat alun-alun, dan keraton di bagian Selatan alun-alun. Letak masjid memang lebih menghadap ke arah kiblat.
Bangunan masjid ini terdiri dari 2 bagian ruangan sholat, yaitu ruangan utama yang berada di dalam masjid. Sedangkan ruangan luar berbentuk seperti teras keraton atau kesultanan.
Fairuz Sabiq dalam buku “Karakteristik dan Mitos Masjid Agung Peninggalan Kerajaan Islam di Jawa” (2021), menjelaskan bahwa bangunan Masjid Agung Cirebon ini kental dengan arsitektur Candi Hindu.
Strategi pembangunan ini untuk menyesuaikan dengan lingkungan sekitar yang kental dengan budaya Hindu.
Tak hanya itu, pada bagian pondasi bangunan juga menggunakan batu bata merah yang tersusun rapi dengan tiang penopang dari kayu jati.
Ruang utama masjid berbentuk bujur sangkar menyerupai Ka’bah di Mekkah. Pada ruangan ini memiliki 9 pintu masuk yang berbeda-beda.
Pintunya terbuat dari kayu, dan bagian kusen berhias ukiran dengan bentuk tiang pada sisi kiri dan kanan. Terdapat pula hiasan ornamen berupa kaligrafi menghiasi bagian pintu masjid.
Kemudian, di bagian Barat ruang utama terdapat mihrab masjid yang memiliki fungsi sebagai tempat imam memimpin sholat menghadap ke arah kiblat.
Letak masjid menghadap ke arah kiblat ini dilakukan langsung oleh Sunan Kalijaga dengan petunjuk dari Allah melalui rasa yang mendalam.
Bagian atap bangunan Masjid Agung Cirebon mirip Masjid Agung Demak, yaitu memiliki atap tumpang tiga.
Sarat akan Nilai-nilai Filosofis
Baca Juga: Sejarah Keraton Kasepuhan Cirebon, Jejak Masa Kejayaan Islam Jadi Inspirasi Mataram
Meskipun kental dengan arsitektur bergaya Hindu, namun nafas ke-Islam-an sangat terasa dalam memaknai setiap nilai-nilai filosofis pada bangunan tersebut.
Salah satu contohnya adalah terlihat dari pintu utama masjid yang ukurannya tidak lebih dari 150 cm x 25 cm. Sehingga orang yang masuk ruangan harus membungkukkan badan.
Makna yang terkandung dalam arsitektur itu adalah “kalau masuk rumah Allah tidak boleh sombong dan menegakkan badan”.
Adapun pintu masuk sebanyak 9 itu memiliki makna jumlah dari walisongo yang datang ke Pulau Jawa untuk menyebarkan, dan menjadi pintu masuknya Islam.
Pada bagian mihrab terdapat tiga ubin yang bermakna tiga ajaran pokok agama, yaitu Iman, Islam, dan Ihsan.
Mihrab ini bernama Tunjung Telaga yang memiliki arti teratai tanpa air atau hayyun bila ruhin. Bisa juga memiliki arti sebagai manusia tidaklah sempurna, yang sempurna hanya Allah SWT.
Bagian atap masjid yang berbentuk tumpang tiga memiliki makna Iman, Islam, dan Ihsan, namun ada pula yang mengartikan sebagai thariqat, ma’rifat, dan syariat.
Nafas-nafas ke-Islam-an pada bangunan ini memang dihembuskan pada bangunan-bangunan di area Keraton Kasepuhan.
Hal itu untuk menyebarkan Islam, namun tetap menghormati kebudayaan sekitar yang sudah berkembang sebelumnya.
Berdasarkan sejarah Masjid Agung Cirebon, melalui strategi infiltrasi inilah Islam secara perlahan membekas dan menyebar di Cirebon. Terbukti hingga hari ini masjid tersebut masih terus digunakan. (Azi/R3/HR-Online/Editor: Eva)