harapanrakyat.com,- Undang-Undang Desentralisasi tahun 1903 merupakan kebijakan kolonial yang melahirkan budaya demokrasi di Garut, Jawa Barat. Karena terbitnya undang-undang tersebut, masyarakat Garut makin paham mengenai kebebasan berekspresi.
Sebelum adanya Undang-Undang Desentralisasi, daerah Garut kental dengan tradisi ketatanegaraan yang bersifat feodalistik.
Dalam sistem tersebut pejabat lokal yang berasal dari elit (ningrat) berkuasa penuh atas rakyatnya.
Sistem pemerintahan menggunakan feodalisme cenderung diterima baik oleh masyarakat Garut. Mereka patuh dengan para pemimpin yang berasal dari elit.
Penduduk di Garut kala itu mempercayai jika elit lokal merupakan personifikasi Ratu Adil yang nyata di dunia.
Oleh sebab itu, apapun perkataan elit lokal yang menjabat sebagai pemimpin akan dipatuhi sebaik mungkin oleh rakyat Garut.
Namun, seiring dengan berjalannya waktu, terutama setelah Undang-Undang Desentralisasi disahkan pada tahun 1903, kepercayaan rakyat kepada kaum feodal semakin memudar.
Baca Juga: Pendudukan Jepang Tahun 1942, Rakyat Garut Geram Fasilitas Belajar Anak Bumiputera Hancur
Akibat berlakukannya undang-undang tersebut, banyak penduduk Garut yang berperilaku apatis. Mereka bahkan mulai memikirkan untuk memberontak pada pemerintah.
Semua alasan ini berasal dari cara pandang masyarakat yang berubah akibat dampak positif dari adanya Undang-Undang Desentralisasi.
Undang-undang Desentralisasi Tahun 1903 Mendorong Demokrasi di Garut
Menurut Samsudin dan Farizal Hami dalam Al-Tsaqaf: Jurnal Ilmiah Peradaban Islam berjudul “Sejarah Perkembangan Kabupaten Garut” (Vol. 18, No. (1) (2021), pp. 28-41), Undang-Undang Desentralisasi 1903 telah mendorong terjadinya demokratisasi di daerah Garut.
Demokratisasi pertama kali populer di Eropa sejak akhir abad ke-19 Masehi. Seiring dengan perkembangan zaman, ideologi tersebut tak bisa dicegah masuk ke Hindia Belanda. Sebagian pejabat kolonial Belanda tidak sepakat dengan ideologi demokratisasi.
Namun, karena keadaan parlemen mulai dikuasai oleh generasi muda Belanda saat itu, akhirnya demokratisasi dituangkan ke dalam sebuah kebijakan bernama Undang-Undang Desentralisasi tahun 1903.
Lalu, mengapa harus dituangkan dalam bentuk undang-undang? Hal ini demi menjaga kedaulatan demokratis.
Baca Juga: Babancong Peninggalan Belanda di Alun-alun Garut yang Melegenda
Artinya, setiap hak individu untuk berbicara, bergaul, dan mendapatkan kebahagiaan yang sama dengan lainnya akan mendapat perlindungan oleh hukum kolonial yang berlaku.
Adapun untuk mewujudkan kesejahteraan kolektif sebagai sebab akibat dari demokrasi, pemerintah kolonial wajib menyisihkan uang untuk mengurus dan memenuhi kebutuhan lokal (golongan pribumi).
Mengajarkan Kemandirian Ekonomi Daerah Garut
Selain memberikan kebebasan berpendapat, berfikir, dan bergaul, Undang-Undang Desentralisasi tahun 1903 juga turut mengajarkan kemandirian ekonomi untuk daerah Garut.
Karena adanya undang-undang tersebut, pemimpin lokal Garut bisa belajar mengembangkan pendapatannya secara mandiri.
Salah satu cara elit lokal mengembangkan kemandirian ekonomi daerah Garut, yaitu mengizinkan siapapun pemilik modal untuk membuka perusahaannya di kota tersebut.
Dengan kata lain Garut menerima investor untuk menunjang perkembangan ekonomi daerahnya.
Baca Juga: Riwayat Tuan Holla, Meneer Belanda Sahabat Petani Teh di Garut
Akibatnya banyak pihak swasta Belanda yang membangun perusahaannya di Garut. Paling banyak pengusaha perkebunan teh, kopi, dan kina.
Dari peristiwa ini kita dapat menyimpulkan jika Undang-Undang Desentralisasi 1903 mampu membuat Belanda lebih terbuka dari sebelumnya.
Padahal sebelum era ini, pemerintah lokal beserta elit kolonial menolak keras bekerjasama dengan pihak swasta.
Mereka malah bekerja keras untuk saling menolak tawaran investasi asing demi menyelamatkan pendapatan negara secara utuh.
Orang Belanda Mendominasi Pemerintahan Daerah Garut
Masih menurut Farizal Hami dan Samsudin (2021), dengan adanya Undang-Undang Desentralisasi tahun 1903, orang Belanda mendominasi pemerintahan daerah Garut.
Pasalnya, semakin hari elit lokal tidak bisa memperbarui ideologi demokrasi. Mereka tetap mempertahankan ideologi feodalismenya sampai mati.
Hal ini yang membuat elit lokal mundur jadi pemimpin daerah. Sebab, seiring berjalannya sistem ketatanegaraan kolonial mengharuskan penggantian pemimpin. Dari pemimpin irasional menuju pemimpin rasional.
Pemerintah kolonial menganggap budaya pemerintah feodal sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman pada waktu itu.
Jika mereka terus mempertahankan ideologi ini, maka lambat laun kedaulatan kolonial akan hancur tergerus zaman.
Sebab, di negara induk sendiri (Belanda), ideologi feodal sudah mereka tinggalkan sejak akhir abad ke-19 Masehi. Mereka sudah mengganti budaya pemerintahan yang baru dengan sistem ketatanegaraan berbasis demokrasi.
Fenomena ini membuat elit pribumi tersingkir dari singgasana pemerintahan daerah, khususnya di Garut, Jawa Barat.
Mereka turun dan digantikan oleh orang Belanda. Namun kemudian mereka sadar dan menyekolahkan anak-anaknya sampai ke Belanda. Tujuannya satu, agar bisa teruskan kepemimpinannya di masa mendatang. (Erik/R3/HR-Online/Editor: Eva)