Sejarah gedung British American Tobacco di Kota Cirebon, Jawa Barat berkaitan dengan perkembangan rokok mulai zaman Hindia Belanda hingga Indonesia merdeka.
Industri pabrik yang pernah berjaya di masa kolonial Belanda ini menjadi saksi dari pergantian kekuasaan dari zaman Belanda, Jepang, hingga Indonesia merdeka.
Produksi rokok yang dihasilkan oleh perusahaan tembakau yang berpusat di London Inggris ini pernah menjadi salah satu produsen rokok putih terbesar di Hindia Belanda.
Namun, berbagai gejolak politik dan pergantian kekuasaan membuat nasib dari British American Tobacco sempat tidak jelas.
Baca Juga: Sejarah Wayang Wong Asal Cirebon yang Digandrungi Menak di Tasikmalaya
Sejarah Gedung British American Tobacco di Cirebon Masa Kolonial Belanda
Gedung British American Tobacco yang terletak di Jalan Pasuketan, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon, Jawa Barat pada awalnya merupakan milik Indo Egyptian Cigarettes Company.
Kepemilikannya berubah setelah pada tahun 1923 perusahaan tersebut bergabung dengan British American Tobbaco.
Pasca penggabungan perusahaan tersebut pun berganti status menjadi sepenuhnya milik British American Tobbaco dan berganti nama menjadi British American Tobacco (Java) Limited.
Rudy Badil dalam, “Kretek Jawa: Gaya Hidup Lintas Budaya” (2011), pabrik rokok putih British American Tobacco ini sendiri sebenarnya merupakan patungan antara Inggris dan Amerika Serikat.
Sejarah mencatat, tepat pada tahun 1924, Biro F.D Cuypers & Hulswit merenovasi gedung British American Tobacco di Cirebon.
Biro ini juga yang melakukan renovasi terhadap gedung Bank Indonesia Cirebon ketika zaman Belanda.
Pabrik tersebut diubah dengan gaya art deco yang memang sedang populer di Eropa dan seringkali merupakan salah satu ciri khas dari bangunan kolonial di Hindia Belanda
Perusahaan British American Tobacco merupakan salah satu produsen rokok terbesar di Hindia Belanda waktu itu.
Baca Juga: Sejarah Gedung Bank Indonesia Cirebon, Dirancang Biro Arsitek Terkenal Zaman Belanda
Terdapat beberapa jenis rokok yang diproduksi oleh perusahaan ini seperti Lucky Strike, Pall Mall, Ardath, Kansas, dan Commdill.
Industri rokok di Hindia Belanda memang menjadi salah satu industri yang berkembang di zaman kolonial Belanda.
Sehingga tak heran apabila tembakau menjadi salah satu komoditi yang memberikan pemasukan luar biasa bagi Pemerintah Hindia Belanda.
Pemerintah Belanda sendiri sebenarnya memiliki perhatian khusus terhadap industri tembakau di Hindia Belanda agar tidak berkonflik dengan pedagang lokal.
Untuk mengatur hal-hal tersebut, Belanda mengeluarkan peraturan yang terangkum dalam Staatsblad No. 427 tahun 1935 tentang harga eceran minimum rokok putih agar tidak menekan industri rakyat kecil.
Jatuhnya Hindia Belanda ke Tangan Jepang
Pergolakan politik di tanah air tidak sepenuhnya stabil. Apalagi kondisi waktu itu termasuk ke dalam konflik Perang Dunia II.
Jepang yang berambisi menguasai seluruh Asia mengadakan ekspansi ke China, Korea, hingga Hindia Belanda waktu itu.
Tak butuh waktu lama tepat pada 8 Maret 1942, Hindia Belanda sudah jatuh ke tangan Jepang. Perusahaan-perusahaan yang awalnya dikelola oleh Belanda atau pihak swasta diambil alih oleh Jepang.
Salah satu perusahaan yang diambil alih oleh Jepang adalah British American Tobacco ini. namun, karena kedatangan Jepang yang memiliki berbeda, maka perusahaan-perusahaan yang tidak sesuai dengan tujuannya tidak terlalu diperhatikan.
Boediono dalam “Ekonomi Indonesia: Dalam Lintas Sejarah” (2016), selama tiga setengah tahun di bawah pendudukan Jepang, ekonomi Indonesia beroperasi dengan modus darurat perang.
Memang, ketika Jepang masuk ke Hindia Belanda, hasil perkebunan hingga industri di Hindia Belanda diarahkan untuk kebutuhan perang.
Baca Juga: Sejarah Perang Kedondong, Rakyat Cirebon Menggempur Belanda
Sehingga sangat wajar ketika industri rokok dihentikan termasuk British American Tobacco. Sebenarnya untuk mengawasi urusan perkebunan Jepang sempat membuat Undang-undang No 322/1942 yang mengatur pengawasan terhadap produk perkebunan.
Beberapa produk yang diawasi pada masa tersebut seperti teh, kopi, karet, tebu, hingga tembakau. Produk-produk ini dibatasi karena tidak berhubungan langsung dengan kebutuhan perang. Selain itu, pembatasan dilakukan untuk mencegah meningkatkan harga barang.
Beberapa hasil perkebunan yang digalakkan adalah padi, karet, kina hingga jarak yang berguna sebagai pelumas mesin-mesin perang.
Kebijakan yang dilakukan oleh Jepang ini tentu saja menyengsarakan bagi rakyat. Tak hanya itu industri yang sudah dibangun sejak masa Pemerintahan Belanda menjadi terhenti termasuk British American Tobacco.
Sejarah Gedung British Tobacco Zaman Nasionalisasi Pemerintah Indonesia
Pasca Indonesia merdeka dan kondisi mulai membaik, perusahaan-perusahaan mulai kembali aktif seperti pada awalnya, termasuk British American Tobacco yang memakai nama baru menjadi British American Tobacco Manufacture (Indonesia) Limited.
Perubahan nama ini menandakan bentuk peralihan kekuasaan yang terjadi di Indonesia sendiri. Aktivitas di perusahaan ini sendiri mulai berjalan kembali pada tahun 1960.
Pada tahun 1963-1964, perusahaan ini diambil alih oleh Pemerintah Indonesia. Agaknya pengambilalihan ini karena adanya konflik antara Indonesia dengan Malaysia yang waktu itu dianggap sebagai bentuk neokolonialisme gaya baru.
Ketika Indonesia memasuki era orde baru kepemilikan perusahaan ini dikembalikan kembali kepada pemilik aslinya, yaitu British American Tobacco. Pemindahan kepemilikan ini sesuai dengan Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing.
Pasca pengambilalihan kembali ke pihak Inggris, perlahan perusahaan mulai membaik, meskipun pabrik-pabrik serupa di daerah lain justru semakin menurun.
Memasuki tahun 1979 perusahaan ini menjual sahamnya sebanyak 30% kepada pihak Indonesia. Sejak saat itulah perusahaan berganti nama menjadi PT BAT Indonesia.
Namun, kejayaan perusahaan mulai meredup, pada tahun 2010 perusahaan terpaksa berhenti beroperasi dan semua kegiatan produksi dipindahkan ke Jawa Timur.
Mengutip “Indonesia dan Perjuangan Melawan Pelarangan Penjualan Rokok Kretek di Amerika” (2020) berhentinya produksi ini sebenarnya erat kaitannya dengan kalah bersaingnya PT BAT dengan rokok putih jenis lainnya.
Salah satu contohnya ketika pada tahun 2000 jumlah produksi yang awalnya mencapai 15,4 miliar batang turun menjadi 9,2 miliar pada tahun 2001.
Sehingga gelagat bahwa PT BAT akan segera tutup sebenarnya sudah dapat dilihat pada beberapa tahun sebelumnya.
Kini gedung BAT Indonesia ini menjadi salah satu ikon wisata bagi kota Cirebon. Bangunan khas Eropa membuatnya jadi tempat wisata dengan suasana khas kolonial. (Azi/R7/HR-Online/Editor-Ndu)