harapanrakyat.com,- Peristiwa Cikini 1957 merupakan tragedi berdarah yang menewaskan 10 orang siswa, dan 48 orang luka-luka akibat bom granat yang dilempar simpatisan DI/TII.
Pelemparan granat tersebut sebetulnya ditujukan kepada Soekarno. Mereka yang bergabung dengan gerakan separatisme sangat membenci kepemimpinan Soekarno karena tidak puas dengan kondisi politik yang terjadi saat itu.
Kebetulan saat itu Soekarno sedang menghadiri acara rapat orang tua wali di Perguruan Cikini. Karena dua anaknya bersekolah di sana. Mereka adalah Guntur dan Megawati.
Acara yang diharapkan bisa berjalan dengan lancar terputus oleh adanya oknum yang tak bertanggung jawab tersebut. Mereka membom sebuah yayasan pendidikan di Jalan Cikini, No. 76, Jakarta Pusat, pada Sabtu, 30 November 1957.
Pertemuan antara orang tua wali murid di Perguruan Cikini pun bubar dengan berantakan. Apalagi setelah mengetahui ada yang menjadi korban tewas dan terluka.
Bukannya membawa kebahagiaan karena bisa mempertemukan wali murid dengan orang nomor satu di Indonesia kala itu, Yayasan Perguruan Cikini justru membuat semua ini hancur. Bahkan Soekarno pun terancam disingkirkan dari dunia.
Awal Terjadinya Peristiwa Cikini 1957
Baca Juga: Djoko Pekik Tutup Usia, Begini Kisah Hidupnya yang Teraniaya di Zaman Orde Baru
Menurut Wati Rucheti dalam Skripsi Sejarah UNS, (2012) berjudul “Pergolakan Politik Masa Kabinet Djuanda: dalam studi mengenai Peristiwa Cikini 30 November 1957”, awal-mula terjadinya peristiwa Cikini berdarah bisa terlihat dari kondisi politik negeri yang hancur.
Hancur dalam arti negara sedang mengalami kondisi politik tanah air yang tidak baik-baik saja. Korupsi terjadi dimana-mana, pembagian kursi dalam pemerintahan yang tidak adil. Apalagi Soekarno mulai cenderung pada orang-orang kiri yang ada dalam Partai Komunis Indonesia (PKI).
Akibat peristiwa ini, banyak gerakan-gerakan separatisme yang timbul dimana-mana. Salah satu gerakan separatis yang tumbuh akibat konteks peristiwa tersebut antara lain munculnya golongan separatis yang bernama DI/TII.
Menurut anggota dan simpatisan golongan separatis tersebut, satu-satunya menguasai negeri ini yaitu dengan “meniadakan” Soekarno. Ya, mereka berniat untuk menghabisi nyawa orang nomor satu di Indonesia kala itu.
Setelah berhari-hari pengintaian program kerja Soekarno, akhirnya beberapa nama yang tergabung dalam kelompok separatis tersebut mengantongi agenda kunjungan sang Presiden di Menteng.
Tanpa berpikir panjang sebelumnya, mereka kemudian mengirimkan bom ke halaman depan Perguruan Cikini. Alih-alih mengenai sang Presiden yang sedang hadir di tempat tersebut, bom itu justru menewaskan beberapa anak sekolahan.
Terdapat 10 orang tewas dan 48 orang luka-luka akibat peristiwa Cikini 1957 ini. Sedangkan, Soekarno diamankan oleh ajudannya lari meninggalkan Perguruan Cikini hingga ke dalam Istana.
Dari sinilah awal-mula peristiwa Cikini 1957 terjadi. Akibat peristiwa ini banyak murid di sekolah tersebut yang trauma. Mereka mogok sekolah karena takut akan ada peristiwa susulan.
Baca Juga: Pembantaian Mergosono 1947, Sisi Gelap Anti Tionghoa di Malang Pada Masa Bersiap
Ingin Menyingkirkan Soekarno dari Kursi Kepresidenan
Masih menurut Wati Rucheti, konon peristiwa Cikini 1957 sudah bisa dipastikan sebagai upaya menyingkirkan Soekarno dari kursi kepresidenannya.
Kepastian ini terungkap saat para tersangka mengakui latar belakang kejadiannya di dalam persidangan. Para pelaku yang terdiri dari anggota dan simpatisan DI/TII bernama Jusuf Ismail, Sai’don bin Muhammad, Tasrif bin Husein, dan Moh Tasin bin Abubakar.
Konon mereka melakukan upaya pembunuhan terhadap Soekarno di Cikini bagian dari tugas kelompok separatis tersebut. Badan separatis terbesar di Indonesia saat itu begitu benci pada Soekarno.
Bagi mereka yang berlindung dalam organisasi makar ini Soekarno adalah musuh bersama yang harus ditaklukan.
Namun upaya pembunuhan pada Soekarno pada waktu itu tidak bisa terlaksana dengan sempurna. Singkat cerita mereka gagal membawa Soekarno menemui ajalnya.
Para pelaku tadi pun kurang dari 24 jam sudah bisa tertangkap dan segera dimintai keterangan.
Baca Juga: Wikana Pejuang Kemerdekaan asal Sumedang Hilang Pasca G30S 1965, Pernah Jadi Ketua PKI di Jabar
Tak lama setelah bom meledak, Soekarno berpamitan kepada Kepala Perguruan Cikini, Sumadji M. Sulaiman, dan Direktur Percetakan Gunungsari, J. Sirie.
Ia juga memberikan ucapan terima kasih karena telah mendapatkan kesempatan untuk hadir menemani sang anak dalam acara tersebut.
Memfitnah Zulkifli Lubis Jadi Tersangka Pengeboman
Dalam buku berjudul, “Senarai Kiprah Sejarah” (1993), mantan pencetus lembaga intelijen di Indonesia, Zulkifli Lubis, mengalami fitnahan kejam pelaku pengeboman gagal dalam peristiwa di Cikini tahun 1957.
Mereka menyeret nama Zulkifli Lubis saat berada di pengadilan. Akibatnya Zulkifli Lubis menghadap ke pengadilan dan membantah keterangan tersangka, karena sama sekali ia tidak mengetahui peristiwa ini.
Zulkifli Lubis mengaku tidak mungkin melakukan kudeta pada Soekarno. Apalagi ia adalah orang nomor satu di Indonesia yang punya kekuasaan penuh atas negara Indonesia.
Saking dekatnya Zulkifli Lubis dengan Soekarno membuat pria berjuluk bapak intelijen Indonesia ini menuturkan jika ia adalah pejabat negara yang bisa menemui langsung Soekarno. Kapanpun waktu dan dimanapun tempatnya.
“Saya salah satu pejabat yang bisa langsung melapor kepada Bung Karno di kamar tidurnya”, kenang Zulkifli saat obrolannya dimuat dalam buku Senarai Kiprah Sejarah (1993).
Akibat pernyataan tersebut akhirnya Jusuf Ismail mengakui kesalahannya dengan sepenuh hati. Peristiwa Cikini 1957 ini kemudian membawa Zulkifli Lubis terbebas dan lolos dari tuduhan. Walaupun pada akhirnya sempat ditahan akibat bergabung dengan PRRI/ Permesta. (Erik/R3/HR-Online/Editor: Eva)