harapanrakyat.com,- Pendudukan Jepang tahun 1942 membuat rakyat Garut geram. Mereka tak terima karena tentara Nippon telah menghancurkan sejumlah fasilitas belajar anak-anak bumiputera warisan pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Sekolah-sekolah khusus bumiputera dirusak oleh tentara Jepang. Mereka sengaja menghapus memori kolektif rakyat Garut tentang kebaikan dari politik etis.
Tentara Nippon mencuci otak rakyat Garut supaya berbalik marah pada pendudukan Belanda yang sudah berkuasa di Nusantara sejak tahun 1602.
Adapun penghancuran sekolah oleh Jepang meliputi penghilangan beberapa dokumen penting di sekolah. Seperti halnya rapor atau buku laporan sekolah yang berisi nilai dan perkembangan belajar siswa.
Selain itu, pada masa pendudukan Jepang tahun 1942, tentara Nippon juga merusak berbagai fasilitas lainnya seperti kursi, bangku, dan papan sabak.
Perusakan ini dianggap sebagai tindakan yang keterlaluan dilakukan oleh bangsa pendatang. Oleh sebab itu sebagian rakyat di Garut geram kepada Jepang. Mereka marah karena tidak terima dengan perlakuan tentara Jepang.
Namun perlawanan orang Garut sia-sia, sebab Jepang selalu menang di ujung senapannya. Orang Garut bersabar, mereka menunggu waktu yang tepat untuk melakukan balas dendam pada tentara Jepang.
Baca Juga: Catatan Kelam Agresi Militer Belanda di Garut Tahun 1947, Pameungpeuk Dihujani Peluru dari Udara
Tak jarang sebagian penduduk di Garut sempat ada yang ikut ke dalam PETA (Pembela Tanah Air), tujuannya untuk menyerang tentara Jepang di kemudian hari.
Pendudukan Jepang Tahun 1942 Ganti Sistem Sekolah Kolonial
Dalam catatan sejarah Indonesia, menurut K. Sofianto melalui Jurnal Sosio-Humaniora berjudul “Masa Pemerintahan Pendudukan Jepang (1942-1945)”, (Vol. 16, No. (1) 2014, pp. 58-70, setelah penghancuran sekolah warisan kolonial, Jepang menggantinya dengan sistem pendidikan yang baru.
Nama sekolah buatan Jepang itu adalah Sekolah Rakyat. Lama sekolah di lembaga pendidikan Jepang kala itu sama seperti wajib pendidikan hari ini. Sekolah Dasar wajib selesai selama 6 tahun.
Selain itu, Jepang juga mulai membuka sekolah tingkat pertama (sekolah setara dengan SMP). Lama belajarnya pun sama dengan waktu sekolah SMP saat ini, yaitu 3 tahun. Sekolah tingkat pertama menjadi lembaga pendidikan yang mulai dianggap “siswa serius”.
Kala siswa sekolah dasar masuk SMP, pemerintahan Jepang mulai menganggap siswa tersebut dewasa. Sehingga mereka wajib mengikuti latihan militer.
Pada saat pendudukan Jepang tahun 1942, mereka menginginkan negara yang kuat, sekaligus bangsa yang prima dan tangguh.
Baca Juga: Riwayat Tuan Holla, Meneer Belanda Sahabat Petani Teh di Garut
Jepang Berikan Sistem Pembelajaran Berbasis Militeristik
Saat mengambil alih sistem sekolah kolonial di Jawa tahun 1942, para guru yang didominasi oleh tentara memberikan sistem pembelajaran berbasis militeristik.
Selain karena ideologi negara Jepang yang fasis, pembelajaran militer juga penting untuk membentuk ketahanan bangsa.
Kepentingan Jepang datang ke Indonesia pada tahun 1942 menjadi salah satu alasan masuk akal mengapa sistem sekolah Nippon di Indonesia berbasis militer.
Lantas, apa tujuan Jepang melakukan hal itu? Ya, masa kependudukan Jepang kala itu untuk membangun pertahanan cadangan. Mereka punya ambisi memenangkan Perang Dunia II.
Akibatnya semua siswa sekolah dari Sekolah Rakyat, sampai Sekolah Tingkat Pertama wajib bisa menggunakan senjata. Minimal bisa memegang dan mengisi ulang amunisinya.
Hal ini Jepang lakukan karena merasa tersudut oleh musuhnya, Amerika Serikat (Sekutu). Kekhawatiran Jepang membuat sejumlah penduduk di Hindia Belanda menderita.
Mereka tersiksa dengan disiplin militer. Namun sisi lainnya terdapat manfaat yang baik, ketika Indonesia merdeka menjadi negara, maka pembangunan militernya lahir dari pendidikan fasisme Jepang.
Baca Juga: Budidaya Ikan Air Tawar di Cikalong Tahun 1956, Bibit Terbaiknya Berasal dari Ciamis
Membebaskan Anak Bumiputera dari Penyakit Diskriminasi Sosial
Walaupun di sekolah diberikan banyak ilmu-ilmu kemiliteran, paling tidak sistem pembelajaran pada zaman pendudukan Jepang 1942 membawa kebebasan anak bumiputera dari penyakit diskriminasi kolonial.
Hal ini jelas terjadi karena Jepang menganggap rakyat Indonesia sebagai saudara tua di Asia. Jepang menganggap Indonesia saudara, begitupun Indonesia harus memiliki perasaan yang sama (menganggap Jepang sebagai saudara tua di Asia).
Akibatnya, hilanglah semua budaya yang bisa membuat rakyat Indonesia merasa rendah ketimbang tamu asingnya sendiri.
Pada zaman Jepang tidak ada batasan bergaul, siapapun, dari ras apapun, dan golongan apapun bisa duduk satu meja dengan orang Jepang.
Sebaliknya pada zaman itu, orang-orang Belanda menjadi sasaran amuk tentara Jepang. Mereka dikejar dan sebagian dibunuh karena melawan.
Saking tidak adanya batasan sosial yang bersifat mendiskriminasi, sampai di sekolah murid dan gurunya bertindak egaliter.
Ada kesepakatan yang tidak umum ditampilkan dalam sekolah masyarakat pribumi di zaman Belanda. Berbeda dengan masa pendudukan Jepang tahun 1942. (Erik/R3/HR-Online/Editor: Eva)