harapanrakyat.com,- Hasan Djafar adalah seorang arkeolog dan epigraf Indonesia yang sulit tergantikan. Pada Rabu 2 Agustus 2023 lalu, dunia arkeologi Indonesia berduka cita atas meninggalnya pria yang akrab dengan sapaan Mang Hasan itu.
Melansir dari berbagai sumber, Hasan Djafar wafat usai menjalani perawatan beberapa hari di Rumah Sakit Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat.
Kepergian Hasan menuai banyak ucapan belasungkawa dari berbagai golongan intelektual terkemuka di Indonesia.
Salah satunya dari pustakawan profesional, Aditiya Gunawan, melalui akun Instagram @manuskrip_aditya. “Pileuleuyan Mang Hasan Djafar, arkeolog dan epigraf Indonesia yang sulit tergantikan,” tulis Aditya Gunawan.
Begitu juga ucapan belasungkawa datang dari filolog tersohor Sinta Ridwan melalui akun instagram @sintaridwan. “Dua belas jam yang lalu dengar kabar berpulangnya Mang Hasan Djafar. Panutan arkeolog dan epigraf. Selamat jalan,” tulis Sinta Ridwan.
Bahkan, dalam ucapan belasungkawa Sinta kepada Hasan Djafar mengingatkan dengan risetnya dalam bidang filologi. Berikut cuplikannya:
“Mang terima kasih untuk segenap dedikasinya seumur hidup. Banyak hasil penelitian mang yang aku pakai dan pikir ulang. Terkhusus bacaan prasasti-inskripsi. Terutama pengungkapan kompleks percandian Batujaya di Karawang dengan sangat detail. Karyamu mang, sangat berguna buat peradaban bangsa ini. Bagi yang membacanya pun lanjut menelusuri. Semangatmu terus membara”.
Baca Juga: Penemuan Pedang Kuno di Jepang, Terbesar di Asia Timur!
Hasan Djafar, Arkeolog dan Epigraf Indonesia Pernah Terjemahkan Prasasti Sangguran
Tepatnya sekitar tahun 1984-1985 ketika Hasan Djafar kuliah di Leiden, Belanda, pria kelahiran 16 Februari 1941 di Pamanukan, Subang ini merupakan satu-satunya orang Indonesia yang pernah menerjemahkan Prasasti Sangguran.
Kala itu Hasan kuliah untuk mendalami ilmu epigrafi dan arkeologi di Instituut Kern, Rijks Universiteit, Leiden Belanda.
Karena dianggap punya keahlian khusus dalam bidang prasasti, Hasan Djafar dibimbing langsung pakar prasasti Indonesia di Belanda bernama J.G. de Casparis.
Dalam bimbingan Casparis, Hasan Djafar tertarik dengan Prasasti Sangguran. Terdapat beberapa hasil penerjemahan yang dilakukan ilmuwan Barat keliru dalam prasasti tersebut. Hasan pun hendak mengkaji ulang dan melengkapi beberapa kekurangan itu.
Karena Casparis mempercayai Hasan sebagai epigraf hebat, maka pembimbingnya itu mengizinkannya untuk mengkaji Prasasti Sangguran bersama beberapa kolega arkeolog dan epigraf lainnya di Belanda.
Memperbaiki Terjemahan Prasasti Sangguran
Baca Juga: Penemuan Artefak yang Membingungkan Sepanjang Sejarah
Tekad bulat Hasan Djafar menelusuri kembali isi Prasasti Sangguran membuat benda kuno itu semakin teruji dengan baik.
Pasalnya, Hasan sukses memperbaiki terjemahan Prasasti Sangguran yang terdapat beberapa kesalahan dari peneliti asal Belanda sebelumnya.
Hasan berhasil melengkapi kesalahan J.L.A. Brandes, H. Kern, N.J Krom, L.C. Damais, dan HB Sarkar.
Menurut Casparis, mereka semua mendapat kekeliruan dalam menerjemahkan Prasasti Sangguran.
Menurutnya, hanya Hasan Djafar orang yang bisa melengkapi kekeliruan itu dengan tepat. Dalam proses pengerjaan ini, Hasan menggunakan teknik Abklatsch.
Teknik tersebut adalah proses penelusuran aksara menggunakan bubur kertas untuk mencetak huruf dalam prasasti.
Dengan menggunakan teknik ini, Hasan berhasil melengkapi beberapa kekeliruan yang dilakukan oleh para ahli arkeolog dan epigraf asal Barat.
Dari peristiwa ini nama Hasan Djafar mulai dikenal banyak kalangan, baik di luar maupun di dalam negeri sebagai arkeolog sekaligus epigraf berintegritas.
Baca Juga: Penemuan Unik di Dunia Ini Masih Jadi Misteri
Ahli Prasasti Zaman Majapahit dan Sunda Kuno
Hampir seluruh intelektual budaya mengenal Hasan Djafar sebagai ahli prasasti zaman Majapahit dan Sunda kuno.
Mereka menganggap Hasan sebagai orang yang paling menguasai ketika ditanya berbagai macam penemuan dalam dua jenis prasasti tersebut.
Kendati begitu, Hasan Djafar tidak pernah membanggakan diri sendiri. Ia juga mengatakan, segala kemampuannya dalam ilmu arkeologi dan epigrafi bukan untuk mengejar jabatan semata. Namun karena ia benar-benar menyukai bidang tersebut sejak kecil.
Dalam perjalanan mempelajari prasasti zaman Majapahit dan Sunda kuno butuh waktu yang tidak sedikit.
Sepengakuan Hasan, ia membutuhkan 1-2 tahun untuk mempelajari 1 bahasa kuno. Oleh sebab itu, sebenarnya tak mudah menjadi seorang epigraf yang merangkap arkeolog.
Selain teliti memperdalam bahasa kuno, Hasan Djafar juga disinyalir suka blusukan mencari prasasti kuno.
Beberapa daerah yang pernah ia kunjungi untuk mencari prasasti kuno yaitu Pulau Weh, Aceh, Kalimantan, Sumatera, NTT. Serta beberapa daerah di Pulau Jawa.
Karena kebiasaan blusukan seperti ini, Hasan Djafar pun mendapat julukan Indiana Jones dari Pamanukan, Subang.
Dedikasinya yang all out dalam dunia epigraf dan arkeolog membuat semua orang teringat akan pemeran film action Hollywood tersebut. (Erik/R3/HR-Online/Editor: Eva)