harapanrakyat.com,- Bagi Jepang, golongan nasionalis di Indonesia merupakan penolong. Mereka bisa membuat penjajah Jepang memperoleh keuntungan dalam aspek pertahanan (militer).
Pemerintahan Jepang di Indonesia (1942) menggunakan kaum nasionalis untuk memperbudak bangsanya menjadi tenaga cadangan dalam Perang Dunia II.
Dengan demikian, Jepang merangkul orang-orang penting di Indonesia. Kebanyakan yang Jepang ajak kerjasama (kooperatif) adalah golongan nasionalis.
Golongan nasionalis itu Presiden Sukarno, Wakil Presiden Moh. Hatta, tokoh pendidikan Ki Hadjar Dewantara, dan drjumlsh figur nasional lainnya yang ada di Pulau Jawa.
Meski awalnya Jepang memberikan harapan manis kepada masyarakat luas, termasuk tokoh dari golongan nasionalis di Indonesia yang diajak kerjasama.
Namun, pada kenyataannya mereka tidak sesuai dengan fakta yang telah disepakati sebelumnya. Jepang ingkar janji membawa rakyat Indonesia sejahtera, yang ada mereka malah menyengsarakan rakyat.
Banyak rakyat bangsa Indonesia yang mengalami kemelaratan pada zaman pendudukan Jepang. Mereka kelaparan bahkan sulit untuk mendapatkan pakaian.
Akibatnya gelandangan dengan perut membusung kerap ditemui di sudut-sudut kota besar. Mereka sengsara dan tabah menunggu kematian.
Baca Juga: Manuskrip Kuno Babad Makukuhan, Cerita Kehidupan Masyarakat Agraris di Babakan Pangandaran
Rangkul Golongan Nasionalis di Indonesia, Masyarakat Wajib Latihan Militer
Pada masa pendudukan Jepang terdapat aturan yang membelit semua lapisan Masyarakat, sesuai dengan (kebijakan) khas negara fasis.
Jepang menuntut mereka wajib mengikuti pelatihan militer di masing-masing daerah tempat tinggalnya. Semua golongan dan pekerjaan wajib mengikut agenda tersebut.
Bahkan, para penghulu yang sehari-harinya mengurusi soal nikah, talak, dan rujuk harus ikut latihan militer.
Mungkin baru pertama kali itulah para penghulu yang kebanyakan dari kyai mendapat pendidikan politik secara resmi dari Jepang.
Jepang rangkul golongan nasionalis di Indonesia. Dalam dua sudut pandang, tentu latihan ini membawa dampak positif dan negatif. Adapun dampak positifnya bisa membuat bangsa Indonesia melek pengetahuan militer.
Mereka bisa memiliki jiwa nasionalis yang kuat dari pada zaman Belanda dulu. Sedangkan, dampak negatifnya yakni negara beresiko tumbuh menjadi negara fasis.
Jika itu terjadi, maka Jepang akan menggaet kita sebagai negara sahabat. Tentu kita tahu semua ciri khas negara fasis berambisi tinggi dalam menguasai dunia.
Baca Juga: Gerakan Bawah Tanah, Strategi Pemuda Usir Jepang dari Indonesia
Sulit membayangkan kalau ini terjadi pada bangsa Indonesia. Mungkin jika kita tumbuh menjadi negara fasis, maka akan banyak ditemukan berbagai peristiwa yang bisa merugikan bangsa lain hari ini.
Jepang Perlu Banyak Tenaga untuk Pertahanan Menghadapi Sekutu
Menurut Yasmin dalam Jurnal Sejarah Lontar, Vol. 4, No. (2) Juli-Desember (2007) berjudul, “Jepang dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia”.
Kebijakan wajib militer yang diterbitkan oleh pendudukan Jepang di Indonesia merupakan strategi mereka dalam menambah jumlah tenaga, untuk pertahanan menghadapi musuhnya (sekutu).
Dalam merealisasikan kebijakan ini Jepang membuka peluang sebesar-besarnya untuk pemuda Indonesia, agar mengikuti pelatihan militer.
Harapan dari kebijakan ini yaitu bisa menjadikan pemuda Indonesia terampil dalam bidang militer. Nantinya mereka akan digunakan sebagai tenaga cadangan untuk melawan Sekutu di Perang Dunia II.
Jepang membuat berbagai macam wadah kemiliteran seperti, Heiho, Seinendan, Keibodan, Fujinkai, Suisyintai dan PETA.
Baca Juga: Kasus Pembantaian Tionghoa di Pangandaran yang Tak Terpecahkan
Mereka sadar jika ingin lebih dekat dengan rakyat maka satu hal yang perlu diingat yaitu hidup lebih harmonis, dengan memperbaiki nasibnya.
Melalui wadah kemiliteran tersebut membuat Jepang merasa lebih intens beradaptasi dengan rakyat Indonesia.
Sebab dalam keorganisasian itu Jepang menjanjikan mimpi bangsa kita akan terwujud bila memenangkan Perang Dunia II. Jepang juga memberi harapan bahwasa mereka akan membantu kemerdekaan bangsa Indonesia.
Rakyat Indonesia Kelaparan dan Sulit Mendapat Pakaian
Kelaparan dan sulit mendapatkan pakaian merupakan salah satu dampak yang paling sering ditemui pada masa penjajahan Jepang.
Dalam sejarah Indonesia, rakyat sering mengalami busung lapar. Karena Jepang mengalihkan persediaan beras masyarakat untuk kebutuhan makan prajurit perangnya di barak-barak militer.
Akibat peristiwa ini, rakyat Indonesia menjadi geram. Awalnya mereka menyambut baik Jepang. Namun dalam perjalanannya malah berbalik arah.
Rakyat Indonesia saat itu bahkan menganggap Jepang sebagai salah satu penjajah yang paling sadis ketimbang negara Eropa yang pernah menduduki negaranya.
Namun, bukan bangsa Indonesia jika mereka tak terkenal dengan kreatifitasnya. Kendati Jepang menyulitkan mereka mendapat makan dan pakaian, rakyat mengganti kebutuhan itu dengan benda yang sama fungsinya namun beda bentuknya.
Misalnya mengganti beras dengan jagung, singkong, dan ubi. Sedangkan pakaian, mereka memanfaatkan kain karung goni untuk dibuat menjadi baju.
Bahkan di daerah Pekalongan terdapat batik pagi-malam yang mengganti fungsi pakaian selama pendudukan Jepang. (Erik/R3/HR-Online/Editor: Eva)