harapanrakyat.com,- Kebijakan Wijkenstelsel merupakan aturan kolonial Belanda yang membagi wilayah berdasarkan etnis. Artinya, mereka yang orang Tionghoa, Arab, Eropa, dan Inlanders (pribumi) harus dipisahkan.
Lantas, untuk apa aturan Wijken Stelsel itu? Tentu bukan hanya untuk pembagian wilayah belaka, namun pemisahan ini juga sarat akan unsur politik gelap kolonial.
Sebagian pendapat menyebut kebijakan Wijkenstelsel sebagai aturan kolonial yang bersifat licik. Bayangkan saja betapa liciknya Belanda dalam kebijakan tersebut. Mereka menggunakan aturan ini untuk mempersempit interaksi antara orang pribumi dengan asing.
Belanda khawatir jika interaksi antara pribumi dengan orang Tionghoa dan Arab bisa membawa keburukan terhadap administrasi kolonial.
Apalagi saat itu orang pribumi sudah menjadi salah satu korban penindasan secara ekonomi di zaman VOC.
Dengan demikian, pemerintah kolonial Belanda dengan cepat membenamkan kebijakan Wijkenstelsel supaya interaksi antara pribumi dan asing tidak tercapai dengan baik.
Demi memperlancar tujuan tersebut, bahkan kolonial suka mengadu domba golongan pribumi dengan orang Tionghoa. Parahnya, dampak dari kebijakan ini masih sering ditemui hingga zaman sekarang.
Baca Juga: Sejarah Pertempuran Leuwiliang, Detik-Detik Peralihan Kekuasaan dari Belanda ke Jepang
Selain terkenal dengan istilah Wijkenstelsel, kebijakan yang berfungsi mempersempit pergaulan pribumi dengan Tionghoa dan Arab ini juga tersohor dengan sebutan Beneden Stad.
Sebagian besar dampak yang dirasakan atas kebijakan Belanda yaitu berada di kota-kota besar, seperti Surabaya, Batavia, dan Semarang.
Selain Kebijakan Wijkenstelsel, Belanda Menerapkan Kebijakan Passenstelsel
Seperti belum puas dengan aturan Wijkenstelsel, pemerintah kolonial menerapkan kebijakan Passenstelsel bagi orang asing yang hendak keluar dari habitatnya di dalam benteng. Biasanya Passenstelsel diberikan untuk etnis Tionghoa yang hendak keluar dari benteng.
Sejumlah sumber sejarah menyebut Passen Stelsel sebagai peraturan yang mengharuskan orang asing (misalnya etnis Tionghoa) membawa kartu pass jalan, jika mereka hendak melakukan perjalanan keluar daerah.
Kebijakan ini berlaku sejak tahun 1816 sampai dengan awal abad ke-20 Masehi. Siapapun orang asing yang hendak bepergian harus memiliki surat jalan.
Jika tidak, maka mereka akan mendapatkan denda sebesar 10 gulden Belanda. Nilai ini sangat besar dan tentu memberatkan siapapun yang menjadi korbannya.
Baca Juga: Kisah PSK Saritem Jadi Mata-Mata Sukarno, Bantu Perang Lawan Belanda 1945
Kebijakan Passenstelsel membuat orang asing kesulitan bepergian. Sebab, pembuatan surat ini juga memerlukan biaya yang tak sedikit.
Jadi, jika mereka hendak pergi berobat ke luar daerah, maka perhitungan biaya yang harus dikeluarkan akan ditambah dengan biaya administrasi pembuatan surat jalan tersebut.
Orang Asing Harus Gunakan Pakaian Sesuai Budaya Masing-masing
Menurut Alif Akbar dalam Mozaik: Jurnal Ilmu Sejarah UNY, Vol. 14, No. (1) 2023 berjudul “Etnis Tionghoa di Surabaya: Kapasan sebagai Kawasan Pecinan Abad ke-19-20”, kebijakan Wijken Stelsel mengharuskan siapapun (orang asing) yang hidup di Hindia Belanda harus memakai pakaian sesuai dengan budayanya masing-masing.
Artinya, jika mereka orang Tionghoa maka pakaian yang dipakai sesuai dengan kostum yang digunakan oleh leluhur mereka di Tiongkok.
Begitupun dengan orang Arab, mereka tidak boleh memakai pakaian orang Eropa dan pribumi. Mereka harus menggunakan baju panjang dan bersorban.
Lalu, tujuan dari kebijakan ini untuk apa? Berdasarkan penelitian yang lebih dalam dari seorang peneliti Alif Akbar (2023), ia menemukan jika tujuan tersebut untuk menjaga stabilitas politik budaya di Hindia Belanda.
Baca Juga: Pembangunan Jalur Kereta Api Banjar-Parigi Terhenti 1912, Pengusaha Kopra dan Karet Merugi
Dengan kata lain, jika mereka mempertahankan pakaian sesuai dengan budaya masing-masing, maka kecil kemungkinan satu sama lainnya bisa bersatu untuk memberontak.
Pemerintah kolonial Belanda sampai memperhitungkan faktor budaya untuk menjaga stabilitas politiknya. Bagaimanapun faktor budaya bisa menentukan maju dan berhentinya peradaban, tak terkecuali dengan pemerintahan.
Akulturasi yang Tak Berjalan Sesuai Harapan
Upaya membendung akulturasi budaya asing dengan pribumi tampaknya tak berjalan sesuai dengan harapan Belanda. Sebab, tanpa Belanda sadari telah terjadi pernikahan antara laki-laki Tionghoa dengan wanita pribumi di Pulau Jawa.
Belanda tidak menyadari perkawinan itu bisa membawa dampak yang buruk pada sistem pemerintahannya. Dengan adanya perkawinan silang antara orang Tionghoa dengan pribumi bisa menghimpun kekuatan untuk menghancurkan ekonomi Belanda.
Apalagi orang Tionghoa terkenal dengan keterampilannya dalam berdagang. Mereka bisa saja berkolaborasi dengan istrinya (orang pribumi) untuk menjalankan roda perekonomian mandiri, tidak tergantung pada pemerintah kolonial.
Karena perkawinan ini, Belanda semakin putus asa untuk menerapkan kebijakan lain yang bisa mencegah interaksi pribumi dengan etnis Tionghoa.
Sejarah mencatat itu semua tidak bisa dilakukan. Sebab orang Tionghoa dan Arab lebih dulu datang ke Nusantara ketimbang orang Eropa, termasuk Belanda. Mereka sudah tahu titik celah mengambil hati masyarakat pribumi. (Erik/R3/HR-Online/Editor: Eva)