Masyumi merupakan salah satu partai Islam terbesar di Indonesia pada tahun 1950-an. Perjalanan partai Masyumi dalam pemerintahan republik tampaknya telah menghadapi berbagai lika-liku perjalanan yang terjal. Salah satu persoalan yang dihadapi adalah isu mengenai keterlibatan Masyumi dengan gerombolan DI/TII di Garut, Jawa Barat.
Akibat isu ini kaderisasi partai Masyumi cabang Garut mengalami kekacauan. Bahkan partai Masyumi di sana terancam bubar akibat peristiwa tersebut.
Isu yang mengancam kehancuran nama Masyumi di Garut karena telah ditemukannya setiap anggota DI/TII yang berasal dari Laskar Sabilillah (Hizbullah) memiliki kartu anggota Masyumi.
Hal ini yang membuat Presiden Sukarno marah. Ia geram dengan Natsir, kemarahan Sukarno memuncak dengan mengutus militer “mengkondisikan” Masyumi khususnya yang berada di daerah Jawa Barat.
Baca Juga: Sho Bun Seng, Seniman Tionghoa Pemberantas Gerombolan DI/TII di Ciamis
Akibat peristiwa ini Masyumi cabang Garut memutuskan untuk “membekukan” partainya. Partai kanan di kota tersebut tidak ingin dibubarkan oleh pemerintah. Lantas apakah benar Masyumi terlibat dengan gerombolan DI/TII di Jawa Barat?
Isu Masyumi dan Gerobolan DI TII Bikin Cabang Garut Membubarkan Diri
Mengutip surat kabar Algemeen Indisch Dagblad: De Preangerbode bertajuk, “Masyumi Garut Bevroren” yang terbit pada tanggal 16 Juni 1951, Masyumi cabang Garut telah membekukan diri dari kegiatan politik praktis sebuah partai.
Pernyataan ini dikeluarkan langsung oleh ketua Masyumi cabang Jawa Barat yang juga anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) –Kyai Isa Anshar. Menurut Anshar Masyumi telah “dibekukan” (red –tidak aktif sementara waktu) sejak bulan Desember 1950.
Keputusan ini dibuat dengan penuh pertimbangan. Selain karena adanya fitnah yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya –fitnah Masyumi terlibat dengan DI/TII, para petinggi partai Masyumi di Jawa Barat tidak ingin dibubarkan paksa oleh pemerintah pusat.
Pasalnya pembubaran paksa oleh pemerintah pusat bisa “mencederai” figur Masyumi yang sama sekali tidak bersalah. Wacana pembubaran paksa oleh pemerintah pusat hanya bisa membuat Masyumi menjadi korban politik adu domba yang berasal dari kekuatan kiri (PKI).
PKI membuat gaduh birokrasi dengan cara mengadu domba Presiden Sukarno dan Natsir. Kala itu Masyumi yang dipimpin oleh Natsir mempunyai massa yang banyak. PKI khawatir tidak bisa mengalahkan kekuatan Masyumi.
Baca Juga: Gerombolan DI/TII Mengamuk di Garut 1953, 113 Rumah Dibakar, 5 Warga Sipil Terbunuh
Ketika ada gerakan DI/TII 1949 meletus di Jawa Barat, mereka (PKI) langsung membuat isu keterlibatan Masyumi di dalam peristiwa tersebut.
Masyumi Pusat Membantah Keterlibatannya dengan DI/TII
Merespon sikap Kyai Isa Anshar di Garut, Menteri Keuangan yang juga anggota penting Masyumi di Jakarta bernama Jusuf Wibisono, membantah Presiden Sukarno yang menuduh Masyumi terlibat dengan gerombolan DI/TII. Ia kemudian mendeklarasikan perbedaan mengenai gerakan DI/TII dengan Masyumi.
Menurut Jusuf Wibisono, Masyumi berjuang dengan jalur parlementer untuk merealisasikan pemikiran, Masyumi juga menolak keras untuk membentuk negara dalam negara. Jusuf Wibisono menyatakan deklarasi ini pada tanggal 20 Januari 1951.
Selain untuk menyadarkan pemerintah akan perbedaan Masyumi dengan DI/TII, pernyataan Jusuf Wibisono juga bermaksud untuk membela Kyai Isa Anshar supaya tidak putus asa dan memilih membubarkan Masyumi di kota Garut.
Bagi Jusuf Wibisono Masyumi tidak salah, partai yang juga punya peran andil dalam kemerdekaan Indonesia ini hanya difitnah oleh sekelompok orang tak bertanggung jawab. Mereka mengaitkan Masyumi dengan DI/TII tanpa ada bukti nyata.
Masyumi Ingin Memberikan Solusi, Mendamaikan Pemerintah dengan Kartosoewiryo
Menurut Jusuf Wibisono jika ada kecenderungan Masyumi dekat dengan DI/TII bukan berarti partai tersebut ikut mendukung pihak gerombolan. Masyumi justru ingin menjadi pihak pendamai antara pemerintah dengan Imam Besar DI/TII –S. M. Kartosoewiryo.
Namun pemerintah tidak sepakat dengan apa yang dilakukan oleh Masyumi. Khususnya Presiden Sukarno menuduh Masyumi telah melanggar etika berpolitik. Hal ini karena Masyumi condong pada kelompok Kartosoewiryo.
Baca Juga: Sejarah DI/TII di Tasikmalaya, Kartosuwiryo Marah Disebut Gerombolan Separatis
Alasan apapun yang dikeluarkan oleh Jusuf Wibisono ditolak Sukarno karena alasan tersebut merupakan alat membela diri Masyumi. Presiden Sukarno tetap teguh pada pendiriannya, ia yakin kalau Masyumi benar-benar terlibat dengan DI/TII.
Maka dari itu Presiden Sukarno memberikan penawaran untuk bubar atau membubarkan diri kepada Masyumi. Karena Masyumi tidak salah dan memilih jalan tengah, akhirnya Jusuf Wibisono memerintahkan kadernya untuk membubarkan diri.
Bagi kader Masyumi membubarkan diri dari dunia politik praktis merupakan pilihan terbaik daripada dibubarkan oleh pemerintah.
Sikap ini dipilih karena Masyumi tidak merasa bersalah, bukan berarti Masyumi mengiyakan tuduhan jika partainya terlibat gerombolan DI/TII. Akhirnya Masyumi membubarkan diri sejak 17 Agustus 1960. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)